Pertimbangan Liturgis dan Kebutuhan Gereja Menjadi Dasar Perubahan TPE

1117
Pastor Hieronymus Sridanto Ariwibowo, Ketua Komisi Liturgi KAJ (Foto: Dokpri)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – KONFERENSI Waligereja Indonesia (KWI) meluncurkan buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE) 2020 di Aula Wisma Penerbit dan Toko Rohani Obor, Jumat, 7/5/2021. TPE ini menggantikan TPE 2005. Sehubungan dengan perubahan ini, terbetik pertanyaan,  apa pertimbangan liturgis atau kebutuhan Gereja sehingga TPE diperbaharui? Apa prinsip-prinsip menerjemahkan sebuah teks liturgi? Siapa yang berwewenang untuk mengubah atau membaharui TPE?

Terkait dengan hal ini, HIDUP mewawancarai Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Agung Jakarta, Pastor Hieronymus Sridanto Aribowo, Rabu, 26/05. Berikut petikannya:

 Apakah TPE merupakan bagian dari sebuah proses inkulturasi liturgi di Indonesia?

Salah satu pokok pastoral liturgi Gereja Katolik Indonesia yang mendesak dewasa ini adalah inkulturasi liturgi. Kemendesakan masalah inkulturasi liturgi ini sebenarnya telah lama digaungkan oleh para uskup Indonesia. Dalam Anjuran Apostolik Ecclesia in Asia, Paus Yohanes Paulus II menegaskan kemendesakan masalah inkulturasi ini. Begitu juga dalam Anjuran Apostolik Pasca Sinode Para Uskup, Sacramentum Caritatis, Paus Benediktus XVI menegaskan pentingnya inkulturasi khususnya pada Perayaan Ekaristi. Sekarang ini, kita bisa melihat inkulturasi liturgi terjadi di Gereja Indonesia seperti nyanyian liturgi inkulturatif, gedung-gedung gereja inkulturatif, tari-tarian daerah dalam Ekaristi, termasuk Tata Perayaan Ekaristi (TPE) 2005 yang memperoleh pengesahan dari Takhta Suciyang masih sangat setia dengan Missale Romanum (MR) 2002. Sekarang TPE 2005 mendapat perubahan dengan hadirnya TPE 2020 yang didasarkan pada MR 2008.

Apa yang menjadi tujuan utama menerjemahkan sebuah teks liturgi dalam Ordo Missae?

Tahun 1955, para uskup Indonesia membuat keputusan untuk menerjemahkan buku Rituale Romanum ke dalam bahasa Indonesia, walau saat itu bahasa resmi liturgi adalah bahasa Latin. Ada pertimbangan para uskup bahwa betapa umat perlu mengerti dan memahami apa yang mereka rayakan dalam liturgi. Sebab saat sebelum Konsili Vatikan (KV) II, liturgi dirasa menjadi “asing” bagi umat. Misa dengan bahasa Latin, nyanyiannya Gregorian, imamnya membelakangi umat. Pastornya mengerti dan menjawab sendiri dibantu petugas misdinar, dan lain sebagainya. Dengan pembaharuan dalam Gereja, juga keputusan luar biasa datang dari KV II yang memperkenankan usaha penyesuaian liturgi ke budaya setempat bahkan hingga hari ini dengan keluarnyaTPE 2020 sesuai MR 2008.

TPE 2020 (kiri) dan TPE 2005 (Foto: HIDUP/Yusti H. Wuarmanuk)

Apa prinsip saja yang harus dibuat ketika hendak menerjemahkan sebuah teks liturgi?

Secara garis besar Indonesia menggunakan teks dalam bahasa Indonesia belum lama ini. Harus disadari bahwa terjemahan teks liturgi itu sangat sulit dan butuh waktu lama. TPE 2005 adalah terjemahan dari MR 2002. Untuk menerjemahkan teks liturgi tentu terjemahannya harus terukur dan setia untuk menghindari persoalan. Ada dua prinsip yang digunakan dalam menerjemahkan teks-teks liturgi. Pertama, menggunakan prinsip ad litteram (secara harafiah) untuk menerjemahkan MR versi bahasa Latin. Prinsip ini diterjemahkan secara harafiah, kata per kata kata, kalimat per kalimat sesuai teks asli. Prinsip ini sesuai Dokumen Liturgiam Authenticam (2021) yang menuntut terjemahan harafiahnya tetap mempertahankan sturktur dan tanda baca teks Latin. Andaikata terjemahan harafiah ini dirasa kaku atau kurang lancar maka bisa menggunakan prinsip ad sensum (berdasarkan makna) yakni kata-kata dalam teks bisa diubah agar lebih mudah dipahami. Prinsip ad sensum itu lebih soal rasa bahasa yang lebih mudah diterima dan dihayati umat beriman.

Di antara dua prinsip “ad litteram” dan “ad sensum”, manakahyang harusnya digunakan?

Dalam menerjemahkan sebuah teks liturgi misalnya TPE 2020, para penerjemah adalah para liturgis (dibedakan dari liturgos: petugas liturgi) yaitu para pastor yang studi tentang liturgi dan paham tentang bahasa Latin. Para liturgis ini difasilitasi oleh KWI untuk menerjemahkan sebuah TPE yang baru. Dengan latar belakang pendidikan itu, mereka mencoba menerjemahkan lebih setia dan mendekati bahasa aslinya (lingua sacra) dengan menggunakan prinsip ad litteram. Setelah proses terjemahan selesai, naskah atau teks itu dikembalikan ke KWI karena yang berwenang untuk memutuskan adalah KWI. Di sinilah ada semacam tarik ulur dengan para uskup yang banyak berhubungan dengan pastoral konkret di tengah umat. Para uskup dengan banyak pertimbangan mencoba mendekatkan TPE yang baru itu dengan kebutuhan umat sendiri. Sudah pasti para uskup biasanya menggunakan prinsip ad sensum. Ad litteram sudah pasti tata bahasanya betul dan sesuai dengan teks bahasa Latin, tetapi “rasa-rasanya” aneh (rasa bahasa) tidak menjawab kebutuhan umat. Untuk mengatasi tarik ulur ini, maka para uskup bisa menimbang-nimbang sehingga teks dari para liturgicus belum tentu semuanya diterima. Satu juga adalah penyesuian teks dan tata gerak liturgis harus dipertimbangkan. Jadi para uskup tidak saja mempertimbangkan ad litteram tetapi juga ad sensum. Jadi kalau ditanya prinsip mana yang digunakan? Sudah tentu dua prinsip ini harus digunakan dalam penerjemahan sebuah TPE.

Apa persoalan utama ketika menerjemahkan MR berbahasa Latin ke bahasa Indonesia?

Dalam peluncuran buku TPE 2020, Kardinal Ignatius Suharyo menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam proses penerjemahan teks liturgi khususnya TPE 2020 itu hal yang wajar. Dalam istilahnya, Kardinal Suharyo mengatakan, itulah pengorbanan-pengorbanan yang ingin menyatukan kita sebagai satu kesatuan Gereja. Kardinal ingin menjembatani Gereja Universal yang menggunakan bahasa Latin sebagai lingua sacra (bahasa suci) dalam peribadatan resminya dengan Gereja Indonesia yang bahasanya sangat terbatas. Kalau harus menerjemahkan bahasa Latin ke bahasa Indonesia itu bisa dikatakan banyak kendala karena dalam bahasa Indonesia tidak dikenal jenis kelamin suatu kata benda, perubahan waktu (tenses) kata kerja, perubahan bentuk kata kerja terkait dengan pluralitasnya, dan sebagainya. Tapi kita bersyukur bahwa lewat proses yang panjang jadilah sebuah terjemahan TPE baru 2020. Ini sesuai dengan harapan Gereja Universal.

Menurut Pastor, bagian mana pada TPE 2020yang lebih banyak mengalami perubahan?

Sebenarnya perubahan itu tidak terlalu banyak. Saya sudah membaca buku TPE yang baru dan kalau melihat pada setiap rubrik, perubahan lebih banyak ditujukan kepada para pastor. Khusus untuk umat pun lebih banyak pada bagian Anamnese. Misalnya, pada buku lama dan baru itu berbeda. Pada Anamnese TPE 2005, ada 6 Anamnese dengan setiap Anamnese ada ajakannya (6 ajakan). Sedangkan TPE 2020 lebih sederhana ada 3 Anamnese dengan masing-masing ajakan (3 ajakan). Ada juga pola-pola lagu yang baru sehingga umat perlu melatihnya. Rubrik yang lebih sederhana lagi misal pada Aklamasi sesudah Injil. Pada TPE 2005 ada 3 cara. Pertama, Demikianlah Injil Tuhan (U: Terpujilah Kristus). Kedua, Berbahagialah orang yang mendengarkanSabda Tuhan, dan tekun melaksanakannya (U: Sabda-Mu adalah jalan, kebenaran, dan hidup)

Kami. Ketiga, Inilah Injil Tuhan kita (U: Sabda-Mu sungguh mengagungkan). Pada TPE 2020, lebih sederhana lagi yaitu ada satu aklamasi saja:Demikianlah Sabda Tuhan

(U: Terpujilah Kristus).

Manakah bahasa liturgi yang sesuai dengan kebutuhan Gereja?

Saya mengutip lagi pernyataan Bapak Kardinal dalam launching TPE 2020 pada 7 Mei 2021 lalu bahwa bahasa liturgis itu bahasa yang harusnya bisa diterima oleh semua orang. Walaupun tata bahasa (ad litteram) sudah sesuai teks suci, tetapi harus juga mempertimbangkan rasa bahasa yang dipahami umat. Maka bahasa liturgi itu harusnya bahasa yang diterima semua orang. Karena bahasa itu adalah sebuah komunikasi, relasi dengan semua orang dan relasi dengan Allah dalam Ekaristi. Bahasa terjemahan sebuah TPE tidak serta merta fokus pada tata bahasa saja tetapi nilai dan rasa bahasa harus diterima semua orang. Sebuah bahasa itu harus dirasakan oleh pendengarnya agar relasi dengan Allah makin terjalin. Allah tidak sekadar menjadi Allah yang transenden tetapi Allah yang imanen, terlibat dalam kehidupan umat sehari-hari.

Bila terjadi perubahan TPE lagi, siapa yang lebih wewenang untuk mengubahnya?

Wewenang perubahan ini sudah tentu berasal dari Gereja Universal sebagaimana sifat Gereja yaitu Gereja yang satu. Misalnya, Kongregasi Suci dan Tata Tertib Sakramen dikemudian hari mengganti MR 2008 lagi atas persetujuan Paus, maka Gereja Indonesia juga harus mengikutinya dan menerjemahkan lagi sesuai MR yang baru. Jadi kewenangan untuk merubah TPE itu datang dari Gereja Universal. Tetapi Kongregasi Suci dan Tata Tertib Sakramen sudah tentu berjalan dalam kolegialitas dengan Paus sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik. Dalam suatu terjemahan Konferensi Waligereja setempat memberi aprobasi, sebelum nantinya Kongregasi Suci memberi recognisi. Di sini ada dialog. Walaupun terjemahannya berubah tetapi tetap memperhatikan kebutuhan pastoral yang terwakili dalam terjemahan yang bersifat ad sensum.

 Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, No. 23, Tahun ke-75, Minggu, 6 Juni 2021

1 COMMENT

  1. Bagi kami perubahan buku TPE tidak terlalu menimbulkan masalah.
    Yang menimbulkan masalah adalah perubahan Mazmur.
    Mazmur dalam TPE lama sudah menyatu dengan emosi umat.
    Dalam notasi mazmur TPE 2020 terkesan banyak notasi yang meliuk-liuk sulit dinyanyikan.

    Butuh waktu lama bagi umat untuk bisa menyanyikan dan menyatukan hatinya dengan mazmur baru.

    Usul untuk KWI sebaiknya mazmur dari TPE lama tetap boleh dinyanyikan.

    Terimakasih.

Leave a Reply to Bambang Suworo Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here