Ada Implikasi Ekonomis, TPE 2020 Tinggal Dilaksanakan, Perlu Pengembangan Inkulturasi Liturgi

478
Ketua KWI, Ignatius Kardinal Suharyo (ketiga dari kanan) saat peluncuran TPE 2020 di Toko Rohani OBOR, Jakarta, pada Jumat, 7/5/2021. (Foto: Ist.)
5/5 - (1 vote)

DENGAN tegas, Romo Emanuel Pranawa Dhatu Martasudjita mengatakan, Tata Perayaan Ekaristi (TPE) 2020 sudah diputuskan, tinggal dilaksanakan, tidak usah didiskusikan lagi. “Yang pantas didiskusikan adalah upaya pengembangan inkulturasi liturgi, dan bahkan inkulturasi teologi dan bidang lainnya,” ujar Guru Besar Fakultas Teologi, Universitas Santa Dharma, Yogyakarta dalam webinar Motu Proprio “Tradisiones Custodes dan Tata Perayaan Ekaristi 2020″ yang digelar oleh Alumni Institut Filsafat Teologi/Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta  (Alumni IFT/FTW-USD-Jogja) Minggu, 22/8/2021. Dalam webinar ini, hadir sebagai penanggap, Uskup Agung Samarinda, Mgr. Yustinus Harjosusanto, MSF dan Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Romo H. Sridanto Aribowo.

Romo Emanuel P.D. Martasudjita
Mgr. Y. Harjosusanto,MSF
Romo H. Sridanto Aribowo

TPE 2020 diluncurkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada Jumat, 7 Juni 2021 di Jakarta oleh Ketua KWI, Ignatius Kardinal Suharyo. Pada kesempatan peluncuran ini, Kardinal menegaskan, TPE yang dipakai saat ini adalah TPE 2005 karena dinyatakan resmi dipakai tahun 2005 sesuai pentunjuk Missale Romanum (MR) 2002 dan disesuaikan dengan MR 2008 sebagai tanda kesatuan umat dalam Gereja Katolik Roma dengan Ritus Latin. “Jadi TPE 2020 ini adalah TPE yang lahir dari TPE 2005 dan didasarkan pada MR 2002, disesuaikan dengan MR 2008 sehingga jadilah TPE 2020 ini,” kata Kardinal saat itu.

Kardinal juga menegaskan, bahwa TPE 2020 ini butuh usaha pendistribusian dan pemahaman pembaharuan di tengah para pelayan pastoral (para pastor) dan tanggapan-tanggapan yang datang dari umat dalam liturgi Ekaristi. “Silakan para uskup menentukan kapan persis TPE 2020 ini mulai berlaku. Tetapi waktu tidak berlakunya lagi TPE 2005 dipilih November 2021. Jadi silakan menyesuaikan dengan kebutuhan pastoral di keuskupan masing-masing,” pesan Kardinal (Lihat. Majah HIDUP, Edisi No. 23/2021, halaman 8).

Dalam webinar yang diikuti 183 orang melalui zoom ini, Romo Martasudjita mengemukakan, TPE 2020 tentu merupakan hasil proses panjang yang melibatkan banyak pihak dan tim, yang dikemudian disetujui dan disahkan oleh KWI menurut ketentuan Motu Proprio Magnum Principium (2017).

“TPE 2020 berubah dalam teologinya, pada perumusan sebagian doa pada imam, penghilangan Doa Syukur Agung (DSA) untuk anak-anak, tetapi untuk yang dibawakan umat diusahakan tetap. Yang paling mencolok berubah adalah teks aklamasi anamneses,” ujar Romo Martasudjita.

Dalam tanggapanya, Mgr. Harjosusanto, antara lain mengatakan, umat kebanyakan dan kebanyakan umat tidak mempertanyakan perubahan  dalam TPE, apalagi jika perubahan itu menyangkut bagian imam dan dengan taat mengikuti. “Pertanyaannya adalah apakah umat mengikuti teks dan mengerti dan mengikuti ketika bukan bagiannya, khususnya Doa Syukur Agung? Atau masih beranggapan bahwa yang paling penting ketika mengikuti Ekaristi adalah Liturgi Sabda, Konsekrasi dan Komuni, (syukur2 homilinya menarik). Lebih parah lagi jikalau mengikuti Ekaristi untuk mencari hiburan yang diterima dari khotbah yang kocak,” ujarnya.

Akan tetapi, para pemerhati liturgi dan sejumlah umat yang tahu tentang liturgi, menurut Mgr. Harjosusanto,  mempertanyakan sejumlah hal berkenaan dengan perubahan teks TPE, khususnya dari segi  bahasa yang masih sangat bernuansa bahasa Latin. “Selain itu, juga kembalinya ke teks asli meyebabkan alternatif atau opsi berkurang. Waktu terbitnya TPE 2020 yang hanya berselang 15 tahun dengan TPE 2005 dirasa terlalu dekat yang selain perlu penyesuaian lagi, juga berimplikasi ekonomis,” tuturnya.

Romo H. Sridanto Aribowo menyampaikan pandangannya dari pelbagai dimensi. Salah satunya dari dimensi katekese liturgi, khususnya orang muda.  “Di dunia milenial, di mana umat beriman milenial sudah sangat familiar dengan aneka informasi di sekitarnya melawai gawai, maka katekese liturgi mendapatkan aneka tantangan. Tantangan terkait dengan anak muda yang lebih familiar dengan e-book, e-library, streaming mass, dan aneka pewartaan dalam media sosial,  katekese liturgi harus berubah menjadi lebih signifikan, relevan, dan meaningful. Tanpa ini, orang orang muda Katolik akan berbondong-bondong hijrah meninggalkan imannya.  At least jika masih beriman Kristiani, mereka akan kehilangan makna dan relevansinya dalam hidup,” paparnya.

“Peran pastor paroki tetap amat penting. Ia adalah wakil resmi Gereja yang paling dekat dengan kebanyakan kaum beriman. Pendidikan liturginya, gagasan-gagasan dan cara dia merayakan Misa, sakramen, dan kegiatan liturgi lainnya, sangat berpengaruh kepada umatnya,” harapnya.

Alumni IFT/FTW

Webinar ini digelar dalam rangka ‘pendeklarasian’ terbentuknya paguyuban Alumni IFT/FTW.  Uskup Agung Jakarta/Ketua Konferensi Waligereja Indonesia, Ignatius Kardinal Suharyo, yang juga alumnus dan pernah menjadi tenaga pengajar di sini, menyambut gembira terbentuknya paguyuban Alumni IFT/FTW. Kardinal langsung mengajak paguyuban ini melakukan sesuatu yang konret untuk Gereja, bangsa, dan masyarakat.

Alumni IFT/FTW peserta webinar (Foto: Ist.)

Hal senada diungkapan Uskup Banjarmasin, Mgr. Piet Boddeng Timang. Ia berharap wadah ini menjadi saluran berbagai aspirasi dari para alumni yang sudah dan akan bergabung.

Piet Lomena yang didapuk menjadi Ketua Alumni mengatakan, tiga tujuan dibentuknya wadah ini. Pertama, mengumpulkan para alumni IFT/FTW yang tersebar ke seluruh dunia, dengan berbagai status dan profesi. Ada yang masih setia di jalan panggilan imamat atau biarawan/wati, ada yang kemudian terpanggil menjadi rasul awam dalam keluarganya.

Kedua, membuat kegiatan bersama. Selain reuni, juga mengadakan diskusi dan tukar pikiran berdasarkan pengalaman hidup sesudah meninggalkan IFT/FTW.

Ketiga, memberikan kontribusi kepada Gereja dan Negara, terutama kepada Alma Mater IFT/FTW, sesuai dengan bidang profesi masing-masing. Para alumni merasa ikut bertanggung jawab membentuk dan meningkatkan kualitas pembinaan para mahasiswa Filsafat-Teologi saat ini.

Alumni IFT/FTW peserta webinar (Foto: Ist.)

Dulu IFT salah satu jurusan dari IKIP Sanata Dharma. Kampusnya terletak di Desa Kentungan. Kongregasi Urusan Pendidikan Katolik (Prot.N.489/82/48) tertanggal 1 November 1984, mengakui Institut Filsafat Teologi Jogja sebagai Fakultas Teologi Kepausan, dengan nama Fakultas Teologi Wedabhakti (FTW). Wedabhakti berarti cinta terhadap kenyataan. Sejak 20 April 1993 (SK Mendikbud No. 46/D/O/1993), IKIP Sanata Dharma menjadi Universitas Sanata Dharma (USD). Maka ada alumni yang mengalami IFT, ada yang FTW, semuanya bagian dari IKIP atau Universitas Sanata Dharma Jogjakarta saat ini.

Alumni IFT/FTW peserta webinar (Foto: Ist.)

Adapun susunan pengurus Alumni sebagai berikut:
Penasehat: Mgr. Agustinus Agus (Uskup Agung Pontianak), Romo Agustinus Purnama, MSF (Superior Jenderal MSF), Romo Stefanus Gitowiratmo (dosen FTW USD).
Ketua: Piet Lomena
Wakil Ketua: H. Kasyanto
Sekretaris: Thomas Suhardjono
Bendahara-1: Yoseph Gunarto
Bendahara-2: Laurentius Suryoto
Anggota: Andre Sumariyatmo, RD John Turing, Ag Kunarwoko, Haryanto Yuwono, Paul Subiyanto, Bambang Kussriyanto, FA Wiyono, Mathias Hariyadi, Alex Soesilo Wijoyo, Sr. Yosita, CB.

Alumni IFT/FTW peserta webinar (Foto: Ist.)

(fhs)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here