Susuk

288
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – DALAM kondisi separuh sadar, bola mataku menatap samar sosok Romo Owi.  Rambutnya yang jabrik masih mirip brokoli. Ia berdiri sekitar dua jengkal dari sisiku. Ia hendak memberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit kepadaku. Sejak semalam, aku terpasak di ranjang ICU sebuah rumah sakit umum di kotaku. Sebagian tubuhku kebas. Sebelumnya, aku sempat didera sakit kepala hebat hingga kesadaranku sirna.

Suara Romo Owi menyelonong di telingaku kendati aku tak sanggup lagi menjawab pertanyaannya. Aku benar-benar kehilangan daya. Tubuhku lunglai, semangatku terkulai.

“Semoga Tuhan berkenan mengampuni segala dosa Ibu Maria,” ujar Romo Owi sembari memberi berkat di keningku.

“Amin,” jawabku di dalam hati.

Ini kali kelima aku menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit setelah didera penyakit serupa, stroke. Biasanya serangan pertama atau kedua sudah mengantar penderitanya menghadap Sang Khalik. Nyatanya, Saudara Maut masih enggan menjemputku. Barangkali hutang kehidupanku masih bertumpuk hingga tak kunjung lunas. Begitulah, hidup bukan matematika; tak selalu tepat sesuai rumus. Tak semuanya bisa ditakar dengan nalar. Padahal dokter sudah angkat tangan.

“Pak Hendri, kemungkinan Ibu bisa pergi malam ini,” kata dokter Aris mengingatkan.

“Ajak putri Bapak mendampingi Ibunya,” saran dokter Aris.

Malam ini, kudengar lagi Hendri mengikhlaskan aku untuk berpulang.

“Kalau Mami mau pergi, pergilah… kami ikhlas,” ucap Hendri terbata dengan tatapan lengang.

Sementara Elena, putri tunggal kami yang mulai beranjak remaja, mengelus-elus tanganku. Sorot matanya tajam mencermatiku. Tiada lagi air mata duka berderai di parasnya. Aku memahaminya.

Pundi-pundi dana kami telah melompong, membuat rumah tangga kami doyong. Hingga dengan berat hati, Hendri mengagunkan kediaman kami guna membiayai pengobatanku. “Supaya kamu sembuh,” ujarnya memelas.

Aku tidak tega, namun apa daya…

Aku didera rasa bersalah yang tak bermuara. Kondisi ini menyodorkan lingkaran setan yang seakan berputar tak kunjung henti. Hingga jiwa ragaku penat. Sejujurnya, aku ingin pulang…

Hidup senantiasa menyunggi misteri. Aku tak pernah bertanya mengapa peristiwa ini harus terjadi…. Kutahu tiada jawaban yang sanggup memuaskan dahaga keingintahuanku.

Ketika Romo Owi beranjak dari ICU, sejenak kelegaan menyelinap di bilik dadaku. “Semoga masih ada kesempatan. Aku ingin menerima Sakramen Tobat,” harapku di dalam hati.

Malam yang menegangkan itu terlintasi.

Tatkala fajar mulai merayap, tekanan darahku yang sempat anjlok perlahan menanjak; nyaris menggapai angka normal.

***

Waktu terasa menghantui.

Ia tak sekadar bergulir namun berlari maraton sekaligus menakut-nakuti aku. Aku kerap terengah-engah dikejarnya, bahkan kemudian diperangkapnya. Betapa waktu membawaku segera tiba di usia yang tak lagi belia.

Sementara itu, aku bagai terperosok ke dalam kubangan sepi. Tak kunjung ada lawan jenis yang berkenan singgah di pelataran hatiku. Mengapa kesendirian terasa mengerikan sebagaimana waktu?

“Carilah pasangan,” cecar ibuku, mengingatkan. Tak terhitung kali aku resah setiap kali mendengar lontaran senada dari mulut perempuan yang melahirkanku itu.  Padahal telah kubuka pintu hati selebar samudra. Malangnya, tak kunjung ada lelaki yang menghampiri sementara aku hanya bisa memeram kecewa.

“Barangkali aku tidak menarik bagi laki-laki,” keluhku kepada Nadya, teman karibku.

“Mungkin auramu kurang bersinar,” balas Nadya dengan mimik sungguh-sungguh.

Kalimat itu menghunjamku.

“Bagaimana caranya supaya auraku bersinar?”

“Aura setiap orang berbeda. Ada yang bersinar terang sehingga mudah memikat banyak orang,” lanjut Nadya.

“Sebenarnya wajahku tidak jelek ‘kan? Sifatku juga lumayan baik,”  sergahku.

“Ini bukan sekadar soal wajah dan sifat. Ini soal aura,” tandas Nadya yakin.

Lantas, aku mulai mendulang informasi tentang cara membuka aura. Hingga langkahku tersesat di belantara fana. Keinginan memikat lawan jenis menyorong imanku yang tiada kokoh, hingga tergelincir bahkan terjerembab. Hidup memang soal pilihan dan aku tak peduli lagi bahwa pilihanku melenceng.

“Aku akan berupaya agar auraku memancar,” tekadku mulai nekad.

Sebelum waktu menggiringku menuju senja, kuputuskan untuk memasang susuk. Konon, susuk sanggup membuka aura; membuatnya bercahaya. “Terpaksa kutempuh cara ini supaya ada pria yang naksir aku. Dikejar deadline… bisa keburu keriput,” ucapku kepada diri sendiri.

Selanjutnya, aku mencari tukang pasang susuk yang tersohor. Harga bukan persoalan, yang penting ampuh. Segala persyaratan segera kupenuhi, terutama dana untuk membeli susuk kencana yang terbuat dari emas murni. Benda sangat mungil dan tipis yang berharga aduhai itu dipasang di daguku. “Banyak orang akan mengasihimu,” kata si pemasang mengumbar janji dengan mimik meyakinkan.

Waktu yang kemudian membuktikannya. Satu per satu lelaki mulai mendekatiku. Ada yang sekadar singgah, ada yang berniat menjalin relasi lebih lanjut. Hendri yang paling terimbas oleh auraku yang mendadak kinclong. Ia ketoyong-toyong padaku; terjerat perangkap auraku.

Meski amat terlambat, pada akhirnya cinta seorang lelaki berlabuh di hatiku.

Susuk kencanaku mujarab.

***

Hingga tak lagi kuratapi angan yang membubung.

Semua membujur nyata.

Perkawinan yang pernah kudamba nyatanya tiada seindah mimpi-mimpi beliaku. Aku dan Hendri tak senantiasa bersulang asmara. Banyak drama mewarnai perjalanan kami.   Terlebih –setelah menikah– emosiku mudah membara.

“Persoalan begini saja, kamu ngamuk,” ucap Hendri gusar dengan bibir meliuk kesal. Lantas, kudengar sembur makiannya. Konflik demi konflik ibarat toksin yang berkelindan dengan aliran darah di sekujur tubuhku; dari yang sepele hingga yang pelik dengan segala pernik cerita kelabu. Semua bisa menjadi bara yang siap melumat aku dan dia. Emosi kami pun memuncak bersama.

Semula kutuding hipertensi sebagai biang kerok yang membuat amarahku gampang meledak.

“Jangan lupa minum obat darah tinggi, Mami,” kata Elena mengingatkan setiap kali benakku mulai meradang.

Setelah berulang kali nyaris mati dihajar stroke, aku teringat kembali akan susuk kencana yang tertanam di daguku.  Ya ampun… keberadaan barang keramat itu tersisihkan dari benakku. “Barangkali benda itu yang membuatku susah mati dan mudah sekali emosi,” pikirku.

Lantas, benda yang dulu seakan rahmat –yang ternyata laknat– itu diangkat dari daguku. Aku tak ingin jalan ajalku terhalang oleh susuk. Aku tak mau hidupku berujung sekarat dan bersimbah nestapa.

“Sudah dibersihkan, Bu. Semoga selanjutnya berkah,” kata si pemasang susuk seakan mengejekku.

Sekian lama aku laksana robot tak bernurani. Kini, penghalang di wajahku itu telah luruh berganti dengan kedamaian yang mulai bertakhta di hati. “Toh aku sudah mulai berumur. Tak perlu lagi pengasihan,” kataku menghibur diri.

Lalu, segalanya lekas berganti…

Tak seperti biasa, Hendri tak peduli lagi terhadapku. Dengan seenaknya, ia melenggang di hadapanku sementara tubuhku tengah terhuyung hendak menerjang kursi. Giliranku menuai mudarat.

Tak ada lagi susuk hari ini.

Oleh Maria Etty

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here