Suster Bene Xavier, MSsR: Semua Berawal dari Mimpi

1283
Suster Bene Xavier, MSsR (kakan) bersama seorang temannya sedang bekerja di toko fashion, Vinzshop, di Wina. (Dokpri)
3.7/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – “Saya terbatas, tetapi impian saya tidak terbatas. Untuk mewujudkannya saya perlu dukungan penguasa alam semesta, Kristus Raja Semesta Alam.

KONGREGASI Missionsschwestern vom Heiligsten Erloser (MSsR) atau Suster-suster Misi Sang Penebus Mahakudus belum banyak dikenal umat Indonesia. Ada seorang anak bangsa yang telah bergabung dalam kongregasi ini. Namanya adalah Suster Bene Xavier, MSsR (41) yang kongregasinya berkantor pusat di Stadl, Jerman. Fokus pelayanan kongregasi yang berdiri tahun 1957 itu adalah bidang pastoral orang sakit, orang miskin, keluarga, anak-anak, lansia dan lain-lain. Bukan kongregasi yang besar, wilayah pelayanannya saat ini baru ada di enam negara (Austria, Jepang, Ukraina, Jerman, Bolivia, Chile), dan belum ada anggota lain yang berasal dari Indonesia. “Sayalah orang Indonesia pertama,” cetus Suster Bene. Kekhasan kongregasi ini, selain karyanya, juga seluruh anggotanya tidak mengenakan pakaian biara. Hanya suster-suster di Ukraina yang mengenakan habit (jubah panjang dan kerudung berwarna hitam).

Kehadiran Suster Bene mengesankan peserta Extension Course online Teologi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Pusat, semester genap 2020/2021, Februari-Mei 2021 yang berlangsung setiap Senin, pukul 18.00-20.00 itu. Ia selalu hadir yang pertama, paling lambat 20 menit sebelum mulai, aktif bertanya, menyelesaikan tugas membuat paper yang paling dulu selesai, dan tinggal di Wina, Austria sejak beberapa tahun lalu, sebuah negara yang hampir seluruh penduduknya Katolik.

Dari Mimpi

Kami belum saling kenal dan belum pernah bertemu sebelumnya. Hanya kenal nama, wajah dan bertegur sapa sebelum dan sesudah kursus, sebatas sesama peserta bersama 75 lainnya. Para peserta tidak hanya terkesan pada kehadiran dan pertanyaan-pertanyaan yang tangkas diajukan, tetapi juga tulisan-tulisan channel pribadinya blok InBene (dalam kebaikan) tentang kegiatan gereja-gereja di Austria dan video kisah para orang kudus bersama Katolika Channel lewat program youtube CITATO (Cerita Santa Santo).

Suster Bene Xavier, MSsR sebagai Lies (ketiga dari kiri), istri Thomas dalam salah satu pentas Teater Bejana lakon “Nonton Cap Go Meh” di Gedung Kesenian Jakarta. (Dok. Kompas)

Lewat sarana digital kami bertemu, terbentang kisah panjang dan berliku perjalanan panggilan hidupnya sebagai biarawati, bahwa dia punya pengalaman kuat dengan mimpi dan impian. Baginya apa yang dialami saat ini adalah perwujudan mimpi dan impiannya bertahun-tahun sebelumnya. Ia merasa memiliki banyak keterbatasan, tetapi merasa punya Tuhan Kristus Raja Semesta Alam yang kuasaNya tak terbatas. Maka ia benar-benar mengandalkan Tuhan, berdoa dan berbuat baik, dua perbuatan yang baginya adalah ungkapan syukur. Lewat mimpi dan impian disertai doa, ia merasa mengalami berbagai keajaiban.

Lahir bungsu dari 10 bersaudara, ayahnya meninggal ketika ia berumur 10 tahun, warga Paroki Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini memilih dan terpanggil hidup membiara. Ini berawal dari mimpi ketika berumur 11 tahun. “Mimpi di masa kecil itu yang selalu ‘mengejar’ selama hidup saya untuk menjawab panggilan Tuhan.” Dia ulangi doa yang nyaris jadi nazar. “Ya Tuhan, saya hanya mau menyerahkan hidup saya bagi-Mu. Ke mana pun jalan yang Kau tunjukkan, saya akan pergi.”

Perwujudannya. Suatu kali, tahun 2017, ada dua suster MSsR Jepang datang ke Indonesia. Mereka bercerita, sejak 20 tahun terakhir tidak ada calon yang masuk ke kongregasi mereka. Ia tertarik. Meninggalkan pekerjaan berbagai bidang yang sudah dijalani selama 15 tahun, 6 tahun di antaranya manajer di Kidzania Jakarta, InBene – nama yang dia pakai sebelum bergabung MSsR yang berkarya di Jepang—ia pun melamar. Diterima. Ditempatkan di Jepang sebagai pemandu wisata. “Saya tahu akan menghadapi kesulitan dua kali lipat, bukan hanya beradaptasi hidup di biara, tetapi juga bahasa, kebudayaan, tata cara hidup di negara orang. Namun saya yakin dan percaya pada pertolongan Tuhan.”

Sampai saat ini Suster Bene masih dalam proses pendidikan. Masih butuh waktu ekstra panjang karena harus studi bahasa Jepang dan bahasa Jerman sebagai salah satu persyaratan dasar bergabung dengan kongregasi—selain Inggris, Italia dan Spanyol yang sudah dikuasai—juga berbagai studi lain seperti teologi yang diikutinya secara online dari Austria, Indonesia, Jerman, Inggris, dan Indonesia. Selain itu harus bekerja. Sebelum pandemi ia menjadi guru di sebuah SD alternatif di Wina, namun sejak pandemi hanya guru utama yang dipekerjakan. Ia beralih kerja di sebuah toko fashion, Vinzishop, yang memiliki konsep dan pesan sosial. Seluruh hasil penjualan diberikan untuk membangun dan menyelenggarakan rumah singgah bagi gelandangan.

Suster Bene yang sebelum masuk biara bernama Irene Maria Alberta Ratih Perwita Kusumawidaty, putra pasangan F.X. Soemedi dan Elizabeth Soelastri. Sejak kecil wilayah bermainnya di sekitar gereja: Legio Maria, putra altar, paduan suara, lektor, berbagai kegiatan bersama anak-anak dan OMK. Semasa mahasiswa di STF Driyarkara, masuk 1998 dalam usia 18 tahun lulus 2004 setelah diancam di-DO karena asyik bekerja, aktif sebagai aktris profesional dengan nama InBene, naik pentas dalam berbagai pementasan di antaranya Perempuan di Titik Nol, Vagina Monolog bersama Teater Bejana. Bersama grup teater ini, InBene berperan dalam lakon Boenga Ros dari Tjikembang, Nonton Cap Go Meh, pentas di Gedung Kesenian Jakarta atau Graha Bhakti Budaya TIM Jakarta, dan pernah menjadi pimpinan produksi pementasan kolosal Jesus Christ Super Star.

Studi sambil bekerja dijalani penuh kegembiraan, konsekuensi  membiayai sendiri untuk mewujudkan impiannya. Sebab begitu lulus SMA Alyosius Gonzaga Jakarta, ibunya minta dia  kuliah hukum, uang kuliah sudah dibayar lunas selama satu tahun di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, ia mundur dan masuk filsafat. Mengapa filsafat? “Saya rasa itulah jalan saya hidup sebagai biarawati.” Konsekuensinya saya harus cari biaya sendiri untuk kuliah, kos dan berbagai kebutuhan lain. Oleh karena itu, selain berteater juga bekerja yang sama-sama mendatangkan uang untuk biaya hidup.

Menuju “Nang, Ning Nung”  

Sukses dalam karier, InBene selalu “dihantui” panggilan Tuhan yang dialaminya sejak kecil. Berawal dari mimpi. Baginya ada dua jenis mimpi. Pertama, mimpi yang datang saat orang tidur, artinya di luar kendali atau para psikolog menyebutnya dari bawah sadar. Kedua, mimpi yang diciptakan di saat orang sadar yang dia sebut impian. “Saya mengalami kedua jenis mimpi itu.”

Sr. Margreth Obereder (Mother General MSsR), Sr. Bene Xavier (Indonesia), dan Sr. Oksana Pelekh (Ukraina)

Ketika berusia 12 tahun, InBene bermimpi berjumpa dengan sosok Yesus yang menyampaikan pesan. Romo Krismanto, Pr (alm), pastor parokinya, mengartikan mimpi InBene pesan Yesus yang harus diikuti.  Sejak saat itu, ia yakin dengan apa yang Tuhan rencanakan dalam hidupnya. Mimpi ini hanya diceritakan pada orang-orang terdekat. Dan, ketika membuka-buka diary yang secara rutin ditulisnya, ternyata pada usia 7 tahun, ia menulis “saya ingin menjadi biarawati”. Ajaib memang, padahal dalam perjalanan tahun-tahun berikutnya pernah ingin menjadi astronot.

Nama Bene bukanlah nama santa yang biasa dipakai sebagai nama biarawati. Dia pakai nama Bene yang sudah dipakai, dan pimpinan kongregasi mengizinkan. Xavier dipilih karena dia pengagum St. Fransiskus Xaverius, teman Ignatius Loyola misionaris Eropa yang melakukan karya misi di Asia. Tokoh lainnya St. Benediktus dari Nursia, pelindung benua Eropa dan pendiri Ordo Benediktin; Santo Agustinus pujangga Gereja dan Uskup yang memberi contoh tentang pertobatan. Siapa lagi? Bapa Abraham, bapa kaum beriman yang setia menunggu panggilan Tuhan dan percaya pada kehendak-Nya.

Apa yang diharapkan untuk kongregasi? Dalam irama kehidupan serba digital, sehingga berkembang manusia digitalis, menurut Suster Bene kongregasinya perlu melaksakan misi digitalis. Ketika irama kehidupan manusia adalah “tang-ting-tung” (cenTang, denTing, hiTung), dalam karya pelayanan Gereja perlu membuat pewartaan yang bisa membawa manusia masuk dalam dunia digital untuk kehidupan spiritualnya, menuju irama kehidupan yang “nang-ning-nung” (teNang, heNing, reNung).

St. Sularto, Wartawan Senior, Kontributor

HIDUP, Edisi No. 38, Tahun ke-75

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here