Seminari Petrus van Diepen, Sebuah Karya “Masterpiece”

306
SMA Seminari Petrus van Diepen (HIDUP/Katharina Reny Lestari)
5/5 - (2 votes)

Seminari didirikan hanya selang dua tahun sejak Mgr. Hilarion Datus Lega diangkat sebagai Uskup Manokwari-Sorong. 

KETIKA Mgr. Hilarion Datus Lega memulai karya penggembalaan di Keuskupan Manokwari-Sorong pada tahun 2003, jumlah imam yang berkarya di sana hanya 28 orang. Lima di antaranya imam diosesan. Dua tahun kemudian, seorang imam diosesan meninggal dan seorang lainnya mengundurkan diri. Sungguh suatu keprihatinan mendalam baginya.

Dan tak lama kemudian, ia mendirikan seminari. Tepat dua tahun setelah ia diangkat sebagai uskup. Peletakan batu pertama dilakukan pada tanggal 29 Juni 2005 di atas lahan seluas sekitar 21 hektar yang terletak di Aimas, ibukota Kabupaten Sorong. Duta Besar Vatikan untuk Indonesia saat itu, Mgr. Albert Malcolm Ranjith, hadir.

Nama uskup pertama, Petrus van Diepen, dipilih sebagai nama Seminari. Pertimbangannya, ia telah memberi kenangan abadi bagi banyak orang. Ketika keputusan itu dibuat, ia masih hidup. Ia meninggal tak lama kemudian pada usia 87 tahun di Belanda.

Ide mendirikan Seminari sebenarnya sudah mengemuka sebelum Mgr. Datus Lega memulai karya penggembalaannya. Hanya kesempatan untuk mewujudkannya ada padanya. Ia berpegang pada Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Pembinaan Imam dan Situasi Zaman Sekarang, Pastores Dabo Vobis (Gembala-gembala Akan Kuangkat Bagimu). Menurut dokumen ini, seminari adalah jantung keuskupan.

Atas rekomendasi Duta Besar Vatikan untuk Indonesia saat itu, Mgr. Datus Lega menulis proposal kepada Conferenza Episcopale Italiana (CEI) untuk mendapatkan bantuan guna membangun Seminari. Bantuan pun diperoleh, sebesar 10.000 Euro, atau sekitar satu miliar rupiah waktu itu. 

Tahun berikutnya, proyek pembangunan seminari yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) milik Keuskupan dimulai. Diawali dengan gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Proyek tersebut juga melibatkan umat awam. Mereka membersihkan lahan dan menebang pohon. Juga berkontribusi dalam pendanaan. Misalnya, mereka mengumpulkan kolekte selama bulan Mei dan Oktober setiap tahun. Hal ini berlanjut hingga kini. Nominal yang diperoleh cukup fantastis. Bisa menembus 500 juta rupiah.

Awalnya sejumlah imam Ordo St. Agustinus (OSA) membantu mengelola Seminari. Bahkan rektor pertama adalah Romo Anton Bartolomeus Maria Tromp, OSA. Ia berkarya sejak awal hingga tahun 2010. Ia meninggal pada 8 Mei 2023 pada usia 78 tahun dan dimakamkan di Manokwari. 

Seiring berjalannya waktu, sejumlah imam diosesan dari beberapa keuskupan mulai mengelola Seminari. Juga beberapa imam Serikat Sabda Allah (SVD) dan Ordo Karmel (OCarm).

Sejak awal Seminari memberi kuota 60 persen untuk orang asli Papua. Mgr. Datus Lega menginginkan semakin banyak orang asli Papua menjadi imam agar dapat mengurus Gereja Katolik di Tanah Papua. Mereka harus menjadi tuan di negeri mereka sendiri.

Baginya, pendidikan adalah pembentukan manusia yang harus dimulai sejak awal. Maka pendidikan penting dalam sebuah keluarga. Orang tua bukan hanya bertanggung jawab atas kebutuhan makan anak, tapi juga memberi nilai (values) dan keutamaan (virtues). Jika tidak, anak tumbuh sehat tetapi jiwanya kering.

Berkonsep Asrama

Menurut Rektor Seminari Petrus van Diepen, Romo Adrianus Tuturop, komplek Seminari memiliki gedung dua lantai untuk SMP dan gedung dua lantai untuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Ada pula kapela, pastoran, mes guru, dan asrama.

Romo Adrianus Tuturop, Pr (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Jumlah siswa dan siswi SMP dan SMA yang terdaftar saat ini sekitar 600 orang. Mereka berasal dari berbagai latar belakang agama. Untuk staf pengajar, 26 orang mengajar murid SMP dan 23 orang mengajar murid SMA. Sementara mata pelajaran khas mencakup liturgi, sejarah Gereja,  Kitab Suci, dan bahasa Latin.

Ada pula Kelas Persiapan Bawah (KPB) selama satu tahun dan Kelas Persiapan Atas (KPA) selama sekitar dua tahun. KPB disediakan untuk tamatan SMP lain, sementara KPA untuk tamatan SMA lain. KPA saat ini memiliki delapan siswa.

Juga tersedia fasilitas bus sekolah untuk keperluan antar-jemput siswa dan siswa yang tidak tinggal di asrama.

Kegiatan belajar-mengajar dimulai pukul 07.00 WIT dan berakhir pukul 13.00 WIT. Untuk hari-hari tertentu dilanjutkan dengan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan beragam kegiatan di asrama, yang bisa menampung sekitar 450 orang.

“Kami mengikuti kurikulum nasional. Kami punya panduan di asrama. Ada juga program unggulan. Untuk konteks Papua, banyak anak sebenarnya mampu, tapi sistem membuat mereka tidak mampu. Di sekolah mengejar kurikulum, sementara di asrama lebih pada pendalamannya,” kata Romo Adrianus, ketika ditemui HIDUP di kantornya.

Relasi Personal

Di mata staf pengajar seminari dan KPA, Romo Adrianus Bon, Seminari  memiliki keunikan. Ada interaksi yang cukup intens antara staf pengajar dan para siswa dan siswi.

Romo Adrianus Bon, Pr (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

“Di sekolah-sekolah lain, staf pengajar langsung pulang setelah selesai mengajar. Di seminari ini, kami mengajar pagi di sekolah dan setelah itu kami lanjut dengan anak-anak di asrama. Jadi ada interaksi,” ujar guru sosiologi itu.

Keunikan lainnya adalah relasi personal. Ini bermanfaat untuk membangun komunikasi yang baik antara staf pengajar dan para siswa dan siswi. Misalnya, bermain bersama, rekreasi bersama, dan makan bersama.

“Saya selalu mengatakan Seminari adalah sebuah proyek besar dari Bapak Uskup. Waktu saya datang, Seminari baru setahun dibuka. Saya melihat ini sebagai mahakarya, investasi pembangunan manusia. Nilainya tidak kecil ketika akhirnya bisa melihat hasilnya. Apalagi tujuan awal Seminari dibuka untuk memperbaiki mutu pendidikan di Papua,” tuturnya. 

Pertumbuhan Psikologi

Bukan hanya mutu pendidikan yang ditekankan di Seminari, tetapi juga pertumbuhan psikologi yang sehat di kalangan para siswa dan siswi.

“Seminari ini moderen. Membuka akses untuk anak-anak, bukan hanya Katolik tapi juga agama lain. Teristimewa lagi, putri-putri juga ikut sekolah di sini. Jadi dalam pikiran Bapak Uskup, anak-anak (laki-laki) ini bisa menjadi imam, tetapi juga secara psikologis bertumbuh secara sehat,” kata Romo Januarius Vaenbes, mantan Kepala SMP dan SMA Seminari Petrus van Diepen. 

Romo Januarius Vaenbes, Pr (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

“Sehingga jika memutuskan menjadi imam, ini bukan karena dikondisikan sendiri. Bapak Uskup pada prinsipnya membuka akses pencerdasan manusia supaya anak-anak Papua yang lahir dan besar di Papua bisa mengakses pendidikan yang baik. Menurut saya, hatinya itu menaruh energi positif pada anak-anak.”

Baginya, seminari tersebut merupakan perwujudan dari apa yang diimpikan oleh Mgr. Datus Lega, yang ingin melihat anak-anak yang lahir dan besar di Papua berjalan keluar-masuk lorong di Kota Roma.

“Kota Roma hanya sebutan saja. Tapi lorong-lorong ini adalah seluruh sekolah yang berkualitas. Tamatan Seminari ini menyebar di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Perkembangan Signifikan

Sejak berdiri hampir 18 tahun lalu, Seminari mengalami perkembangan signifikan. Terlebih soal output. Beberapa tamatan melanjutkan pendidikan di Seminari Tinggi Inter-Diosesan Yerusalem Baru di Jayapura, Papua. Hasilnya, setiap tahun selalu ada tahbisan imam. Banyak pula yang dapat menembus perguruan tinggi terkemuka di dalam dan luar negeri.

Para siswa SMA Seminari Petrus van Diepen (HIDUP/Katharina Reny Lestari)

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Seminari ini disebut sebagai karya masterpiece. Ada nilai strategis. Misalnya, sebuah perkumpulan alumni sudah terbentuk atas inisiatif para alumni. Perkumpulan ini memberi sumbangan gagasan, ide dan pemikiran. 

Mgr. Datus Lega berharap uskup dan rektor Seminari selanjutnya memgikuti grand design yang sudah ada jika ingin mengembangkan insfrastruktur di komplek ini.      

 

Katharina Reny Lestari (Dari Sorong, Papua Barat Daya) 

HIDUP, Edisi No. 25, Tahun Ke-77, Minggu, 18 Juni 2023

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here