Belajar Menghargai Perbedaan Pilihan Politik

931
5/5 - (4 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – TELAH terjadi dialog yang menarik antara Romo Dony Kleden, CSsR dengan tulisan di Majalah HIDUP, 3 Maret 2024 berjudul “Gereja Pasca Pilpres” dengan Yanuar Nugroho dengan tulisan “Gereja yang Harus Berpihak” (HIDUP, 10 Maret 2024). Kedua tulisan itu merupakan bukti bahwa di dalam kehidupan bersama Gereja Katolik antara imam dengan awam diizinkan perbedaan pendapat apalagi dalam hal tata dunia khususnya politik dalam konteks pilpres 2024.

Terima kasih dan penghargaan kepada Majalah HIDUP yang berani membuat kedua tulisan tersebut yang secara jelas memperlihatkan perbedaan pandangan antara seorang imam dengan seorang awam dalam sikap Gereja Katolik saat pilpres 2024. Yang dimaksud sikap Gereja Katolik agaknya merujuk kepada sikap beberapa uskup dan imam sebagai hierarki, meskipun sebenarnya Gereja Katolik adalah kita semua baik hierarki maupun awam.

Pilhan Berbeda

Saya kira Romo Dony mewakili sebagian imam dan awam yang mengamati bahwa seruan moral dan etis yang disampaikan beberapa uskup dan imam yang dimaksudkan untuk memberikan panduan bagi kaum awam dalam mengikuti pilpres ternyata bisa ditafsirkan sebagai mengarahkan umat untuk memilih figur capres tertentu dan tidak memilih figur capres yang lain meskipun tidak menyebut nama capres tertentu.

Dalam pilpres 2024 ternyata faktanya kita menyaksikan betapa pilihan politis para imam dan umat Gereja Katolik bisa berbeda-beda. Perbedaan pilihan politis tersebut mengandaikan adanya keberanian sebagian imam dan awam untuk tidak mengikuti arahan memilih figur tertentu, melainkan dengan bebas sesuai hati nurani masing-masing untuk memilih figur lain dengan berbagai alasan.

Di sisi lain saya kurang setuju dengan Romo Dony yang mengatakan bahwa “Gereja sedang salah dalam memaknai sebuah informasi yang masih blur, problematis, dan debatable” dan bahwa ini “sikap yang tidak bijak” bahkan dianggap “kealpaan Gereja.” Dalam hal ini saya berpendapat bahwa Gereja tidak salah dan tidak alpa serta sudah memilih sikap yang bijak ketika menyampaikan seruan moral dan etis sehubungan pilpres 2024. Gereja memang harus berpihak dan berani menyampaikan pandangan moral dan etis termasuk dalam masalah-masalah kemasyarakatan. Hanya saja saya berpendapat bahwa dalam Gereja sebaiknya kita tetap bisa menghargai pilihan politis yang berbeda.

Saya setuju dengan pendapat Yanuar Nugroho bahwa Gereja justru harus berpihak pada keadilan, kesetaraan, serta penghormatan penuh pada harkat dan martabat manusia sebagai inti Ajaran Sosial Gereja.

Di tulisan yang sama Yanuar Nugroho menyimpulkan bahwa “Gereja memang menyampaikan seruan moral yang implikasinya bisa dibaca jelas untuk tidak memilih pasangan ini (Prabowo-Gibran) karena persoalan pelanggaran HAM di masa lalu, proses pencalonan yang melanggar etika dan hukum, dan ketidaknetralan serta berbagai pelanggaran penyelenggaraan pemilu — termasuk intimidasi dan tekanan pada budayawan, aktivis, dan masyarakat sipil– yang justru dilakukan aparat pemerintahan Presiden Jokowi.” Yanuar Nugroho juga menyimpulkan bahwa “Dalam Pemilu 2014 dan 2019  ada seruan moral Gereja untuk tidak memilih pelanggar HAM: Prabowo. Prabowo kalah. Tahun  2024, Gereja secara konsisten menyerukan seruan moral yang sama untuk menolak orang yang sama dengan alasan yang sama- Gereja konsisten.” Kedua kesimpulan Yanuar Nugroho tentang sikap Gereja Katolik terhadap Prabowo-Gibran tersebut agaknya bukan sikap seluruh Gereja Katolik karena sebagian imam dan umat Katolik ternyata memiliki pendapat berbeda dalam hal pilihan politis yang diperlihatkan dari hasil exit poll “Kompas”.

Di sisi lain saya kurang setuju dengan Yanuar Nugroho yang seolah-olah menyimpulkan bahwa “64% umat Katolik memilih pelanggar HAM, hukum, dan etika sebagai presiden dan wakil presiden” serta bahwa64,9% umat Katolik memilih Prabowo-Gibran karena sindrom ketakutan minoritas”. Mohon maaf bahwa saya kurang setuju dengan kedua kesimpulan Yanuar Nugroho tersebut yang memang disampaikan Yanuar Nugroho masih dalam bentuk pertanyaan refleksi.

Sesuai Hati Nurani

Dalam hal ini saya berpendapat bahwa 64,9% umat Katolik yang memilih Prabowo-Gibran bukan karena sindrom ketakutan minoritas dan juga bukan karena mau memilih pelanggar HAM, hukum, dan etika. Hasil exit poll “Kompas” memperlihatkan bahwa 64,9% umat Katolik agaknya tidak mengikuti arahan sebagian hierarki Gereja Katolik lewat surat gembala pemilu untuk tidak memilih Prabowo-Gibran yang dianggap melanggar HAM, hukum, dan etika. Mereka tetap memilih Prabowo-Gibran dengan berbagai alasan sesuai hati nurani mereka masing-masing. Saya yakin ada berbagai alasan yang melatarbelakangi pilihan politik kaum awam dalam memilih paslon mana yang sesuai dengan hati nuraninya. Mereka berharap bahwa pilihan politis mereka juga dihargai dan tidak dilecehkan oleh sebagian imam dan umat lainnya.

Saya berjumpa dengan cukup banyak umat Katolik termasuk imam Katolik yang merasa sedih dan kecewa karena sebagian imam bahkan dalam khotbah dan berbagai kesempatan secara terus terang mengarahkan umat memilih figur capres tertentu dan menolak figur capres yang lain yang tentu saja dengan berbagai alasan yang umumnya dikatakan alasan moral dan etis.

Saya memperhatikan bahwa cukup banyak umat memilih Prabowo-Gibran bukan karena takut dan bukan karena tidak tahu sejarah dan rekam jejak. Cukup banyak umat berharap bahwa para uskup dan imam bersedia mendengarkan, memahami, dan menghargai pilihan politis mereka untuk memilih Prabowo- Gibran dengan berbagai alasan yang sesuai hati nurani mereka sendiri. Mereka sedih ketika dianggap tidak pakai akal sehat, tidak punya hati nurani, dan bodoh karena memilih Prabowo-Gibran. Mereka berharap bahwa mereka tidak dilecehkan karena tidak mau mengikuti kebijakan dan seruan etis dan moral KWI dan para uskup, melainkan memilih mengikuti suara hati mereka sendiri. Mereka berharap hirarki dan umat Gereja Katolik bisa menghargai pilihan politis yang berbeda-beda.

Berbagai Pertimbangan

Berikut ini beberapa alasan mengapa cukup banyak imam dan umat memilih Prabowo-Gibran. Ada  yang tidak mau terjebak dalam rekam jejak masa lalu. Mereka melihat bahwa Prabowo sudah berubah. Mereka berharap bahwa Gereja Katolik justru seharusnya mengajarkan cinta kasih dan tidak terus-menerus melemparkan batu kepada orang yang dianggap bersalah. Mereka berharap bila memang Prabowo bersalah seharusnya dibawa saja ke pengadilan untuk membuktikan siapa yang sesungguhnya bersalah dalam berbagai peristiwa 1998. Mereka berharap bahwa Gereja lebih mengajarkan  pengampunan dan bukan terus-menerus mengajarkan kebencian.

Ada juga yang memperhatikan dan merasakan adanya ketulusan dari pihak Prabowo-Gibran dan yakin bahwa Prabowo sudah berubah. Ada juga yang memilih Prabowo-Gibran karena Gibran sebagai figur kaum muda yang meskipun diejek dan dihina dianggap samsul, belimbing sayur, dan songong, ternyata tidak membalas. Ada juga yang memilih Gibran karena melihat kemampuannya sebagai cawapres saat debat dan prestasinya sebagai Wali Kota Solo. Banyak juga yang memilih Prabowo-Gibran karena mereka sungguh ingin ada yang melanjutkan program Presiden Jokowi yang selama ini dianggap baik dan bagus untuk masyarakat. Mereka tidak bisa menerima paslon lain yang terus menyerang Jokowi dan program-program pembangunan yang mereka anggap baik untuk masyarakat.

Banyak yang memilih Prabowo-Gibran karena justru mereka sering dihina dan dilecehkan namun tidak membalas. Mereka memilih Prabowo-Gibran karena ketika Prabowo-Gibran diejek, diberi rapor merah, dihina, dan ditertawakan, Prabowo-Gibran tidak membalas. Mereka memilih Prabowo-Gibran karena merasa kasihan dan simpati. Mereka paham dan bisa memaklumi bahwa Prabowo bisa emosional dan marah karena perilaku tidak sopan dan menghina paslon lain kepada Prabowo-Gibran.

Selain alasan-alasan memilih Prabowo-Gibran karena hal yang positif dalam diri Prabowo-Gibran, banyak juga yang tidak memilih Ganjar-Mahfud karena kesombongan Ganjar dan PDIP serta tidak suka terhadap figur dan sikap ibu Megawati terhadap Presiden Jokowi dan ungkapan serta sikap ibu Megawati lainnya termasuk pandangan negatif terhadap kaum millennial. Mereka juga tidak senang capres yang jadi boneka atau hanya petugas partai. Bahkan terbukti cukup banyak simpatisan PDIP dan bahkan penduduk Bali dan Jawa Tengah yang tidak memilih Ganjar dan Mahfud. Tentu saja bisa saja ada alasan-alasan lainnya. Misalnya saja sebagian besar penduduk Manado memilih Prabowo karena Prabowo adalah anak orang Manado.

Bersikap Bijak

Romo Dony  mungkin keliru bila bilang Gereja salah, tidak bijak, dan alpa ketika memberikan seruan moral dan etis dalam hal pilpres 2024. Yanuar Nugroho memang benar ketika menyatakan Gereja justru harus berpihak dalam hal hukum, moral, dan etis. Tapi Yanuar Nugroho juga mungkin tidak benar bila menduga bahwa mereka yang memilih Prabowo-Gibran karena takut dan karena sindrom minoritas serta tidak tahu rekam jejak dan sejarah serta tidak paham hukum, moral, dan etik.

Ada banyak pemilih Prabowo-Gibran mempunyai alasan lain dan juga sudah berusaha menggunakan akal dan hati nurani mereka ketika menentukan pilihan politis. Yang diharapkan dari Gereja Katolik dalam hal ini dari para uskup dan imam serta rekan awam lainnya adalah apakah kita bisa saling menghargai pilihan politis masing-masing.

Barangkali lebih bijaksana bila dalam hal tata dunia khususnya politik termasuk pilpres sebaiknya kaum awamlah yang lebih banyak bicara sesuai dengan tugas khas dan khusus kaum awam dalam tata dunia. Kaum awam yang berbeda-beda pilihan politisnya berharap lebih didengarkan, dipahami, dan dihargai karena dalam Gereja kita semua bersaudara.

“Barangkali lebih bijaksana bila dalam hal tata dunia khususnya politik termasuk pilpres sebaiknya kaum awamlah yang lebih banyak bicara sesuai dengan tugas khas dan khusus kaum awam dalam tata dunia.”

Ferry Sutrisna Wijaya, Imam Diosesan Keuskupan Bandung

Majalah HIDUP, Edisi No. 11, Tahun Ke-78, Minggu, 17 Maret 2024

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here