HIDUPKATOLIK.COM – Mgr. Agustinus Tri Budi Utomo akan menerima tahbisan episkopal pada hari Rabu, 22/1/2025. Menjelang tahbisan ini, kontributor HIDUP di Malang, Johanes Chrysostomus Warjoko mewawancarai secara khusus Mgr. Tri, sapaanya, di Pusat Pastoral, Surabaya, Sabtu, 4/1/2025. Berikut petikannya:
Apakah benar Monsinyur dari keluarga muslim?
Iya. Saya sebenarnya di Katolik bukan karena kehendak pribadi. Keluarga kami keluarga muslim. Bapak dari Karangjati, Ngawi. Ibu dari Sine, Ngawi, tempat keluarga kami sekarang. Kakek (dari Ibu) saya kepala desa. Adik tiri Ibu, tante saya, yang menjadi Katolik pertama. Setelah lulus STM di Madiun, tante saya ini semula kerja di Surabaya lalu pindah ke Jakarta. Di Jakarta Tante menikah secara Katolik dengan pria Katolik. Bapak saya mewakili keluarga datang di Misa perkawinan mereka tahun 1970-an. Sepulang dari Misa itulah, Bapak memutuskan pindah katolik. Bapak minta semua keluarganya ikut Katolik. Jadi, kami semua “dipaksa pindah Katolik”.
Mengapa masuk Seminari Garum?
Semula karena diajak teman di SMAK St Louis Madiun. Aktivitas saya di SMAK di bidang seni dan pengisi vignette sebuah majalah. Saya aktif di dunia seni gambar. sablon, fotografi (cetaknya), dan pecinta alam (naik gunung). Koordinator pecinta alam kami namanya Antonius Kasmanto, punya obsesi masuk Seminari Mertoyudan. Dia aktif di gereja. Saya tidak. Saya suka baca dari dulu. Juga dunia kebatinan.
Di kelas III awal kami naik Gunung Lawu bersama Anton dan kawan-kawan. Naik sampai puncak. Pas turunnya saya berdua dengan Kasmanto tersesat. Kami berada di suatu tempat, mungkin pertapaan, tapi bukan candi. Tempatnya bersih tapi kosong tidak ada orang. Berbentuk gua, merupakan sungai kering. Untuk kembali naik awang-awangen. Di samping kami ada tebing. Saat itu sudah sore. Anton sempat putus asa. Dia berdoa, saya disuruh doa enggak mau. Waktu itu bagi saya tak ada hubungannya antara mencari jalan dan berdoa. Sehabis doa, Anton minta saya menggambar dan mengajak mengingat rutenya perjalanan dengan mengira-ngira jalan yang sebenarnya. Setelah saya menggambar di pasir, kami putuskan naik ke atas lagi. Anton naik duluan, saya di bawahnya. Ndilalah Anton menginjak batu sebesar meja kerja. Berbunyi kratak dan batu itu lepas. Saya yang sekitar 10 m di bawahnya, spontan loncat ke samping. Terus berpegangan semak-semak. Batu sebesar meja itu jatuh di samping saya sekitar 15 cm. Saya langsung deleg-deleg, mati aku (gumam saya. Lalu saya pelan-pelan naik ke atas. Sampai di atas, saya masih deleg-deleg dan di situ saya baru mau berdoa. Dalam arti kemauan dari dalam diri sendiri karena bersyukur. Sejak itu bagi saya, bersyukur itu mendasar. Rasa berterima kasih itu sangat mendalam pada waktu itu. Lalu Anton setelah mengajak berdoa dia ngomong “Dik, ini rasanya memang panggilanku.” Saya tanya panggilan itu apa? “Sebenarnya saya itu pengin masuk seminari, sekolahnya calon romo. Kalau kamu apa?” Tanya Anton. Saya jawab, “Aku sekarang mau membayar hidup. Seharusnya aku mati.”
Setelah peristiwa itu Anton makin rohani. Ia semakin bulat masuk seminari. Saya diajak mau karena “aku mau membayar hidup”. Motifnya itu. Dibantu kakaknya, lalu saya mengisi formulirnya, menghadap romo paroki. Romo menandatangani dan memberitahu saya harus minta izin orang tua.
Saya naik bis dari Madiun ke Ngawi membawa map berisi formulir yang sudah ditandatangani pastor paroki. Dari terminal Ngawi ganti bis mini jurusan Sragen, turun di Gendingan terus naik dokar ke Walikukun. Dari Walikukun naik colt bak terbuka ke Ngrambe. Dari Ngrambe naik colt lagi ke Sine. Dari Sine jalan kaki menuju rumah saya. Saya naik colt ke jurusan Sragen turun di Gandingan lalu naik dokar ke Walikukun. Sampai Walikukun saya ngudut (merokok) dulu. Usai udut pengin soto. Pas makan soto di warung itu baru sadar bhwa map saya ketinggalan di colt jurusan Sragen tadi. “Aduh ini tanda-tanda, firasat pancen saya enggak boleh di tempat calon romo yang katanya enggak kawin itu”… “Tapi kok ada rasa lega, jalanku bukan itu”. Ya berarti saya harus kuliah. Jelas enggak mungkin kan wong sudah hilang mapnya.
Saya lanjutkan beli soto. Nanti saya tidak jadi pulang, tapi kembali lagi ke sekolah. Selesai makan soto saya rokokan lagi, duduk-duduk di trotoar jalan. Habis rokokan dan mau cari dokar ke Gendingan, ada mobil lewat dan dari dalam mobil itu ada yang teriak “Lha itu bocah yang punya map tadi.” Mobil itu dari Sragen dicarter orang ke Walikukun. Jadi itu sebuah kebetulan yang sangat spektakuler bagi saya. “Waduh ini firasat berarti saya terus, ini tanda-tanda saya harus terus.” Akhirnya saya naik colt ke Ngrambe lalu pulang ke rumah untuk minta tanda tangan orang tua. Seandainya Bapak-Ibu tidak mengizinkan, saya akan cerita “map ketinggalan yang kembali lagi” itu. Bapak saya tandatangan.
Terus saya kembali ke Madiun. Pas diwawancarai di Garum saya ditanya, “Apa motivasimu masuk seminari?” Saya bingung. Kalau ditanya alasanmu apa mungkin mengerti. Lalu saya bertanya motivasi itu apa? Bagi saya motivasi benar-benar kata baru. Romo Vincentius Sutikno Wisaksono (kemudian menjadi Uskup Surabaya, Red.) jelaskan apa alasanmu di hati masuk seminari? Saya ceritakan riwayat tadi. Lalu saya kembali ke Madiun. Sesudah itu ada pengumuman ternyata saya lulus. Jadi jawaban atas pertanyaan Romo Sutikno adalah “membayar hidup”.
Mengapa pilih projo, tidak lainnya?
Ketika membaca buku kenangan trapis Rawaseneng, saya langsung sreg. Naluri kebatinan itu muncul: kakek saya, ajaran kebatinan, semedi, Itu semua saya kira cara membayar hidup. Cocok. Maka saya mencoba hubungi lewat surat alamat itu. Yang menjawab rahib imam, Mikael Santana. Dia yang terus korespondensi. Saya sudah KPA 2. Sering saya berkirim surat dengannya secara intens. Di titik terakhir dia katakan sepetinya saya akan sangat dibutuhkan untuk romo projo. Talenta-talenta saya akan berguna untuk umat. Kalau saya jadi pertapa saya tidak bisa melayani umat. Kalau saya jadi projo saya bisa menghidupi gaya hidup trapis. Lalu saya ikuti itu. Jadi pilihan saya sesudah trapis ya projo, tak ada terbesit tarekat atau ordo.
Bagaimana di Seminari Tinggi?
Sejak frater daftar nama-nama paroki Keuskupan Surabaya saya tempelkan di depan meja belajar saya. Untuk ingatkan bahwa nanti aku akan diutus ke sini. Mengapa? Karena keprojoan. Saya fokus ke keprojoan sejak tingkat 1. Obsesi saya itu yang kontekstual, keparokian. Tak punya obsesi target nilai. Yang penting lulus. Ketika diakonat saya cari motto dari Lukas kisah Yesus menangis saat melihat Yerusalem. Tema tesis saya syalom. Maka motto diakonat saya dulu itu. Motto tahbisan berubah ke Yoh. 17: 26b. Doa wasiat Yesus untuk kesatuan Gereja, “supaya kasihmu ada di dalam mereka. Kasih jadi pergulatan saya sejak moto tahbisan.
Sebagai gembala baru, apa preferensi panggilan?
Bapak uskup atau romo uskup. Bukan monsinyur. Pada Temu Pastores, pertemuan semua pastor paroki yang lalu saya umumkan ke para room, “Tolong, ini bukan sebuah keharusan, tidak. Tapi bahwa dari saya, saya mohon kalau panggil saya bukan monsinyur. Lebih baik romo uskup atau bapak uskup. Karena ada 3 jenjang tahbisan. Ada diakon, ada romo, ada uskup. Ketika romo, ada romo rekan, romo paroki. Saya itu romo uskup. Jadi lebih baik sama-sama romonya. Hanya saya romo uskup atau bapak uskup. Lebih egaliter. Kalau sapaan monsinyur itu rasanya kok saya sendiri tidak terlalu nyaman. Uskup itu adalah penilik. Imam/romo itu pelayan tertahbis. Disebut uskup itu karena kepenuhan tahbisan imamat sebagai pelayan tadi. Tapi sekaligus dia diangkat menjadi penilik. Dia sebenarnya seorang bapak yang mengunjungi para anak-anaknya. Itu yang di disposisi batin saya. Uskup itu penilik yang atas nama para rasul meneruskan untuk mengunjungi jemaatnya.
Pastinya akan meneruskan ardas. Ada harapan apa?
Harapan itu ada jangka pendek, menengah, dan panjang. Jangka pendek itu setahun. Setahun ini konsolidasi dan melanjutkan agenda-agenda yang sudah ditetapkan untuk tahun ini. Salah satunya Ardas. Lalu ada agenda-agenda yang tertunda akibat sede vacante (takhta lowong) Semua agenda dilanjutkan tahun ini. Nanti tanggal 23 Januari ini saya akan umumkan dan lantik Kuria dan para vikep agar supaya langsung jalan.
Jangka menengahnya menyelesaikan Ardas sampai 2030. Jangka menengah awal, artinya dua tahun awal, tahap kedua konsolidasi paroki sampai dengan tahun 2026, lalu 2027-2030 kehadiran Gereja di tengah masyarakat. Ini semua tetap dilanjutkan.
Jangka Panjang, 2029 harus siapkan Mupas baru untuk arah Gereja ke depan. Hal-hal yang memang jangka pendek, mungkin tahun ini sampai tahun depan banyak urusan yg belum tertangani secara khusus, misal JPIC. Juga pematangan Laudato Si’. Lalu juga untuk kesetaraan jender dan perlindungan anak.
Bagaimana dengan saudara-i non-Katolik?
Nampaknya saya jadi uskup itu kabar gembira bagi saudara-i non-Katolik. Itu terungkap dari berbagai orang. Ada semacam kelegaan dan optimisme untuk kerukunan umat beragama ke depannya.
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 03, Tahun Ke-79, Minggu, 19 Januari 2025