HIDUPKATOLIK.COM – KETUA Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC menceritakan pengalamannya ketika di tengah Sinode Para Uskup di Vatikan pada bulan Oktober 2024 lalu. Ia mengatakan, ia bertemu dengan Paus Fransiskus di Wisma Santa Marta, kediaman Paus.
Dalam pertemuan itu, Paus mengungkapkan kekagumannya terhadap Indonesia setelah ia mengadakan kunjungan apostolik pada tanggal 3-6 September 2024. Ini rangkaian lawatannya ke Asia-Pasifik yang meliputi, Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura.
Menurut Uskup Antonius, Paus sangat terkesan dengan Indonesia. Kehangatan dan antusiasme masyarakat, Pemerintah dan umat Katolik masih terngiang-ngiang di kepada pengganti Santo Petrus tersebut.
Salah satu dari rangkaian acara Paus di Indonesia tentu saja momentum kunjungannya ke Masjid Istiqlal. Selain bertemu dengan para tokoh agama, peresmian Terowongan Silaturahim, Paus menandatangani sebuah dokumen bersejarah yang kini dikenal dengan Deklarasi Istiqlal. Deklarasi yang disebut-sebut sebagai “Deklarasi Jilid II” dari Deklarasi Abu Dhabi.
Deklarasi Abu Dhabi ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Muhammad Ahmad Al-Thayyeb tahun 2019. Deklarasi ini antara lain menyerukan bahwa umat manusia dari latarbelakang apapun adalah sama saudara (ciptaan Allah) dan keprihatinan kepada krisis lingkungan hidup.
Hal senada pun diartikulasikan kembali dalam Deklarasi Istiqlal. Dua hal ditegaskan yang intinya menyebut, adanya fenomena global dehumanisasi dan eksploitasi manusia atas ciptaan, rumah bersama. Terhadap dua situasi itu, diserukan tiga hal.
Pertama, nilai-nilai yang dianut oleh tradisi agama-agama kita harus majukan secara efektif untuk mengalahkan budaya kekerasan dan ketidakpedulian yang melanda dunia kita.
Kedua, para pemimpin agama khususnya, terinspirasi oleh narasi dan tradisi rohani masing-masing, harus bekerja sama dalam menanggapi krisis tersebut atas, mengidentifikasi penyebabnya dan mengambil tindakan yang tepat.
Ketiga, oleh karena terdapat satu keluarga umat manusia di seluruh dunia, dialog antarumat beragama harus diakui sebagai sebuah sarana yang efektif untuk menyelesaikan konflik-konflik lokal, regional, dan internasional, terutama konflik-konflik yang dipicu oleh penyalahgunaan agama.
Bila dilihat dari sisi waktu penandatangan hingga tulisan ini diturunkan, memang masih terlalu dini untuk melakukan semacam “evaluasi” atas tindaklanjut aksi konkret dari Deklarasi Istiqlal. Namun demikian, kita ingin melihat sudah sejauh manakah gema Deklarasi tampak dalam rencana-rencana ke depan dalam membumikan esensinya. Bahwa gerakan kepedulian terhadap lingkungan sebagaimana disinyalir dalam Deklarasi, yang sebetulnya telah ditegaskan pula dalam Ensiklik Laudato Si’ semakin tampak gaungya. Aksi konkretnya tampak dari relawan-relawan Laudato Si’. “Pasukan” Laudato Si’ hadir dalam event besar, terbaru dalam penahbisan Uskup Surabaya (22/1/2025) di Surabaya.
Media ini, kita, berharap, perwujudan Deklarasi Istiqlal akan terus bergulir ke depan mengingat fenomena global dehumanisasi dan krisis bumi kita yang terus mendera kita bersama. Tanpa aksi-aksi konkret, menyalakan lilin-lilin kecil di tempat masing-masing, pesan Deklarasi akan menguap atau hanya menjadi dokumen atau arsip di laci.
Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No.05, Tahun Ke-79, Minggu, 2 Februari 2025