web page hit counter
Minggu, 16 Maret 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menanggapi Perpindahan Agama dengan Kasih: Sikap Umat Katolik dalam Terang Iman

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Perpindahan agama selalu menjadi topik yang sensitif, terutama dalam lingkungan keluarga dan komunitas iman. Beberapa selebritas seperti Bobon Santoso, dr. Richard Lee, dan Celine Evangelista yang dulunya Katolik kemudian memutuskan menjadi mualaf menambah perbincangan di ruang publik mengenai fenomena ini. Namun, bagaimana seharusnya umat Katolik menyikapi kenyataan ini, terutama jika yang berpindah adalah saudara, teman dekat, atau bahkan anak sendiri?

Dalam kehidupan beragama, ada kecenderungan untuk menghindari pembicaraan tentang perpindahan keyakinan. Seolah-olah membahasnya adalah sebuah aib atau hal tabu yang harus disembunyikan. Padahal, justru dengan membuka ruang diskusi yang sehat dan penuh hormat, kita dapat memahami bahwa perjalanan iman setiap individu tidaklah selalu linear. Membicarakan perpindahan agama tidak berarti meragukan keyakinan kita sendiri, tetapi bisa menjadi kesempatan untuk semakin memahami iman Katolik dan bagaimana kasih Kristus tetap hadir di tengah perbedaan.

Dalam dokumen Dignitatis Humanae (Deklarasi tentang Kebebasan Beragama) dari Konsili Vatikan II, Gereja Katolik menegaskan bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan menjalankan agamanya tanpa paksaan. Gereja mengakui bahwa iman sejati harus datang dari hati yang bebas, bukan karena tekanan sosial atau keluarga. Paus Benediktus XVI pernah menyatakan, “Iman tidak dipaksakan, melainkan diwartakan dalam kebebasan dan diterima dalam kebebasan.” Artinya, sebagai umat Katolik, kita diajak untuk tetap teguh dalam iman tanpa mengabaikan kebebasan orang lain, termasuk ketika ada saudara atau anak yang memilih jalan berbeda.
Bagi seorang orang tua Katolik, melihat anaknya berpindah agama tentu bukan hal yang mudah. Timbul perasaan sedih, kecewa, bahkan mungkin rasa bersalah. Apakah ini berarti mereka telah gagal sebagai orang tua? Apakah semua didikan iman yang telah ditanamkan sejak kecil sia-sia? Namun, apakah tugas orang tua adalah memastikan anak tetap berada dalam agama yang sama, ataukah mendidik mereka menjadi pribadi yang mencari kebenaran dengan hati yang tulus?

Baca Juga:  Uskup Bogor, Mgr. Paskalis Bruno Syukur OFM: Mencari Kebahagiaan Hidup

Katekismus Gereja Katolik (KGK) No. 2104–2109 menegaskan bahwa Gereja percaya pada kebenaran Injil, tetapi juga mengakui kebebasan hati nurani setiap individu. Jika seorang anak memilih jalan yang berbeda, bukan berarti pendidikan iman yang diberikan selama ini tidak berbuah. Sebaliknya, mungkin benih iman itu tetap ada, hanya tumbuh dalam bentuk yang berbeda. Seorang anak yang telah diajarkan tentang kasih, kebaikan, dan nilai-nilai Kristiani sejak kecil tetap akan membawa nilai-nilai itu dalam kehidupannya, meskipun dalam konteks yang berbeda.

Menghadapi kenyataan bahwa seseorang berpindah agama membutuhkan sikap yang penuh kasih. Menghindari sikap menghakimi menjadi langkah pertama, karena dalam Yohanes 13:34 Yesus sendiri berkata, “Kasihilah seorang akan yang lain seperti Aku telah mengasihi kamu.” Meskipun mungkin ada rasa kecewa atau sedih, panggilan utama seorang Katolik tetaplah mengasihi.

Baca Juga:  MAJALAH HIDUP EDISI TERBARU, No. 11 TAHUN 2025

Tetap menjalin hubungan baik dengan orang yang berpindah keyakinan menunjukkan bahwa kasih Kristiani tidak bergantung pada kesamaan iman. Jangan sampai perbedaan agama merusak ikatan keluarga. Sikap terbuka dan respek akan menunjukkan bahwa kasih Kristiani tetap hidup dalam diri kita.

Mendoakan dengan setia adalah cara terbaik bagi seorang Katolik untuk merespons situasi ini. Santa Monika menjadi contoh nyata bagaimana doa seorang ibu bisa membawa perubahan besar dalam hidup anaknya, Santo Agustinus. Doa bukan untuk “memaksa” seseorang kembali, melainkan sebagai bentuk penyerahan kepada Tuhan.

Dialog yang sehat juga lebih bermanfaat daripada konfrontasi. Jika ada kesempatan berbicara, lakukan dengan rendah hati dan penuh kasih. Alih-alih memperdebatkan perbedaan, lebih baik menunjukkan kebaikan iman Katolik melalui teladan hidup.
Sebagaimana dikatakan Paus Fransiskus, “Lebih baik mewartakan iman dengan kasih daripada dengan paksaan. Sebab Tuhan sendiri adalah kasih.”

Baca Juga:  Pengurus PUKAT Keuskupan Purwokerto 2025-2028 Dilantik: Melatih diri dalam Pelayanan

Priya Husada (Pemerhati Sosial Gereja saat ini bekerja di Agensi Komunikasi)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles