web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Pastor Simon L. Tjahjadi: In Memoriam Sutopanitro, Pejuang Kaum Tertindas

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK. COM – PASTOR Stanislaus Suharsoyo Sutopanitro — akrab disapa Romo Suto —  lahir di Klaten, 16 Mei 1934. Karena terlambat mendaftarkan diri di Seminari Mertoyudan, Suto kecil diajak oleh kakaknya, seorang karyawan Departemen Pendidikan, tinggal bersamanya di Jakarta, untuk nanti diperkenalkan dengan P. Looymans SJ yang katanya akan menyiapkan Suto masuk seminari nantinya. Tapi ternyata Suto diminta belajar di SMA biasa dulu, yakni di SMA Budaya.

Penulis (kanan) mendiskusikan tulisan almarhum. (Foto: Dokpri)

Setelah sempat satu tahun bersekolah di sini, Suto yang tujuannya ke Jakarta adalah untuk masuk seminari dan menjadi imam itu, merasa tidak cocok dengan sekolah umum ini. Ia pun keluar dari situ, dan masuk ke seminari menengah Jakarta yang baru saja diselenggarakan di kompleks Gereja Paroki Tangerang sekarang, setelah sebelumnya diadakan secara agak darurat di dekat pastoran Katedral, yakni di tempat berdirinya aula paroki Katedral sekarang ini. Seminari Tangerang yang didirikan 1952 oleh Mgr. Willekens ini, ditutup oleh Mgr. Djajasepoetra — keduanya Uskup Jakarta — setahun sesudahnya, antara lain lantaran jumlah seminarisnya hanya sedikit. Suto dkk. lalu dipindahkan ke Seminari Mertoyudan dengan status sebagai “seminaris Jakarta“.

Seminaris Suharsoyo (Suto, tanda X) saat di Seminari St. Pius X, Tanggerang, 1952.

Maka setelah tamat dari Seminari Menengah Mertoyudan dan mau melanjutkan formasinya menjadi imam, Suto dikembalikan oleh P. van der Putten SJ, Rektor Seminari Mertoyudan saat itu, kepada Keuskupan Agung Jakarta lagi dan menjadi calon imam KAJ yang menempuh studi filsafat dan teologinya di Seminari Tinggi, Yogyakarta. 2 Juli 1963, Suto ditahbiskan imam di Yogyakarta, lalu kembali ke Jakarta menjadi pastor rekan di Paroki Katedral.

Namun sejarah hidupnya berjalan lain, tatkala pada tahun 1967 Mgr. Djajasepoetra menugaskan dirinya menjadi pastor untuk melayani tentara. Semula ia amat keberatan dengan penugasan itu, sebab katanya, “Saya ini orang keras, dan hati saya dari batu. Saya tidak mau bahwa pelayanan untuk kalangan tentara malahan akan memperparah sikap keras saya.“

Namun demi ketaatan, ia menerima tugas itu juga pada akhirnya. Tapi siapa menyangka. Justru lewat ketaatan pada penugasan ini, Romo Suto malahan berkenalan dengan nasib buruk para tapol, khususnya dari keluarga (mantan) tentara yang dipenjarakan sebagai tahanan politik (tapol) lantaran tersangkut perkara G30S. “Lewat pelayanan terhadap mereka dan keluarganya, saya malahan mengalami banyak peristiwa yang membuat hati saya terhenyak dan tersentuh. Saya kini melihat bahwa ketaatan pada penugasan dari Uskup dahulu merupakan providentia Dei (penyelenggaraan ilahi) yang malahan mengubah kekerasan hati dan pribadi saya,“ kata Romo Suto.

Romo Suto menjadi pastor tentara dari tahun 1967-1992, memiliki pangkat tituler terakhir Letnan Kolonel. Sekarang beliau menjadi pastor rekan di Paroki St. Yakobus, Kelapa Gading, suatu paroki padat dan dinamis yang kelahirannya ikut ia bidani bersama alm. RD. Wiyanto pada tahun 1976-1977.

Awal: Program Sosial Kardinal

Kesadaran bahwa Gereja tidak boleh tinggal diam terhadap nasib para tapol dan keluarga mereka yang distigmatisasi, mendorong Romo Suto yang saat itu menjabat sebagai pastor tentara, membicarakan persoalan ini kepada (alm.) Justinus Kardinal Darmojuwono, Uskup ABRI (kini: TNI) dan atasan Romo Suto juga saat itu.

Sebagai pastor tentara yang bertugas pada pembinaan rohani para anggota ABRI, termasuk juga anggota ABRI yang berada dalam Rumah Tahanan Militer (RTM), Romo Suto tahu betul nasib memprihatinkan dari para tahanan politik itu. Hasil dari pembicaraan itu adalah dibentuknya Program Sosial Kardinal (dulu disingkat: PSK) pada tahun 1971 yang tugasnya antara lain memberikan pelayanan pastoral kepada para tapol.

Kendati tidak secara langsung, program ini nyatanya mendapat gayung bersambut dari pihak Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang waktu itu dikepalai oleh Jendral Soemitro. Jendral ini menunjuk Romo Suto secara khusus sebagai kordinator tim “pembina mental para tapol”. Dengan demikian, ia bisa leluasa keluar-masuk berbagai penjara dan Instansi Rehabilitasi (Inrehab), nama buatan pemerintah untuk tempat penahanan para tapol, dan memberikan pelayanan kepada mereka dan keluarganya juga yang berada di rumah. “Karena karya saya seperti ini, banyak tentara dan rekan sekantor menjuluki saya ‘Pastor Tapol’, bahkan ‘Pastor Komunis’, – tentu sambil bergurau,” kata Romo Suto dengan senyuman.

Romo Suto dalam pelbagai ekspresi wajah. (Dok Romo Lili)

Namun kepada para tapol, Romo Suto lebih menampilkan diri sebagai imam, hal yang diakui olehnya bukan perkara mudah. “Mereka takut dengan seragam tentara yang saya kenakan”, katanya.

Posisi ini dirasakan Romo  Suto sungguh sulit: “Seperti telur di ujung tanduk. Salah sedikit bisa bahaya.” Akan tetapi imam diosesan, yang saat memulai karyanya sebagai pastor muda pernah dihina sebagai tweede klas priester (imam kelas dua, bhs. Belanda, – ini sebutan Gereja Kolonial terhadap imam diosesan pribumi saat itu) oleh para pastor kulit putih, tapi juga “Belanda kulit hitam” waktu itu, terkenal pantang menyerah dan kehendaknya sekeras baja.

Dengan penuh kesabaran dan ketulusan hati, sambil tetap waspada akan persoalan yang bisa datang dari posisinya ini, Romo Suto lama kelamaan mendapatkan hati dari para tapol dan keluarganya di satu pihak, dan keleluasaan dari pihak militer terhadap pelayanannya pada pihak lain. “Ada sembilan penjara di Jakarta yang saya layani, belum termasuk yang di luar Jakarta atau luar pulau,“ kata Romo Suto.

Pelayanan PSK, utamanya dengan perayaan Ekaristi, mulanya memang diberikan kepada para tapol beragama Katolik. Setelah itu ia mulai menjadi penghubung antara para tapol di penjara dan keluarga mereka di luar yang selama ini saling kehilangan jejak satu sama lain. Lama kelamaan, pelayanan Romo Suto jadi meluas dan merangkul semua tapol, tidak ekslusif lagi untuk pihak Katolik. Di Jakarta saja waktu itu ada sekitar 20.000 keluarga. Problem mereka dan keluarganya amat kompleks menyangkut ekonomi, kesehatan, pendidikan dan terutama soal psikologis. „Mereka itu kan dianggap sampah masyarakat yang harus dijauhi dan dimusuhi“, jelas Romo Suto.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Untuk membantu para keluarga tapol yang hidup hariannya mencekam, Romo Suto – kali ini sudah mendapatkan bantuan dari para suster dan awam – mengumpulkan mereka seminggu sekali agar bisa melakukan sharing satu sama lain, mulanya di salah satu susteran di Jakarta Barat, lalu karena jumlahnya yang makin banyak, pindah ke aula Katedral. Selain itu, pada pekan yang lain ia mengajak keluarga tapol mengunjungi Kebun Binatang di Ragunan atau Taman Ria di Senayan. Romo Suto pernah juga menampung 39 bayi yang sebagian besar lahir di penjara-penjara perempuan, dan merawat bayi ini selama beberapa waktu pada semacam rumah penampungan di bilangan Tebet. “ Malam hari saya bangun, membuatkan susu dan mengganti popok mereka,” ceritanya sambil tersenyum.

Sebagian imam seusai Ibadat Arwah Sabtu pagi, Sabtu, 19/4/2025 pukul 09:00 WIB. Tampak Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo (tengah)

Ada dua hal yang membuat Romo Suto merasa terinspirasi dan bangga bercampur haru dari pengalaman pelayanannya selama ini. Pertama, kesetiaan para istri tapol menunggu suami mereka yang tengah mendekam di penjara, bahkan juga di daerah pembuangan seperti Nusa Kambangan atau P. Buru. Kendati kepastian bahwa mereka pulang terasa amat tipis, para keluarga tapol ini tidak sirna harapannya bahwa kelak mereka akan bersatu kembali. Hal yang sama diperlihatkan oleh para tapol sendiri di berbagai tempat penahanan.

Kendati diperlakukan kasar secara fisik dan mental, banyak dari mereka mempunyai ketabahan dan daya juang untuk tetap hidup yang tinggi dengan melakukan aktivitas fisik bahkan intelektual, misalnya dengan bertani atau membuat alat pertukangan, bermain musik, bahkan mengarang. Solidaritas di antara sesama tapol amat kuat. Hal kedua yang membuat haru hati Romo Suto adalah pengakuan tulus dari pihak tapol dan keluarga mereka bahwa mereka sungguh mengalami “ diwongke” (dimanusiakan, bhs. Jawa) melalui pelayanan ini. Ini jelas pengakuan yang diarahkan bukan saja kepada Rm. Suto secara pribadi, namun juga kepada Gereja Katolik yang mengutus imamnya dengan tugas ini!

Namun demikian Romo Suto menolak kalau ia dituduh mau melakukan kristenisasi dengan memancing di air keruh. Dia sendiri jarang sekali membaptis mereka. Romo Suto berkeyakinan bahwa pelayanan yang diberikan harus dilakukan tanpa pamrih kepada semua orang demi kebahagiaan orang itu, bukan pertama-tama demi mendapatkan pengikut, juga kalau itu berarti menambah jumlah baptisan. Kalau pun para tapol atau keluarganya mau menjadi Katolik, ia memberikan syarat tinggi untuk menguji kesungguhan motivasi mereka. „ Saya pernah menetapkan tujuh tahun(!) masa katekumen kepada mereka yang mau jadi Katolik. Saya mau tahu apakah mereka sungguh-sungguh mau jadi Katolik dari keyakinannya sendiri, atau demi alasan politik tertentu.“ Salah seorang tapol yang dibaptis oleh Romo Suto adalah Bp. Oei Tjoe Tat, mantan Menteri Negara dan anggota Kabinet Dwikora zaman Soekarno.

Kehadiran dan kunjungan Romo Suto di berbagai penjara dan Inrehab tidak disukai oleh pihak-pihak tertentu, baik di kalangan para tapol yang mencurigai dia sebagai mata-mata, maupun di dalam tubuh tentara yang menganggapnya sebagai pelapor. Pernah ada seorang tapol yang mau membacok Rm. Suto dari belakang dengan parang. Ada juga tentara yang terang-terangan memaki-maki Rm. Suto, bahkan mencoba membunuhnya dengan pembuangan dari helikopter, mungkin lantaran takut dilaporkan kepada atasannya di Pusat. Tapi syukur kepada Allah, Romo Suto luput dari semua rencana jahat itu. Berdasarkan pengalaman kunjungannya di sana-sini, Romo Suto lantas memberikan masukan secara tertulis kepada Pangkopkamtib tentang bagaimana selayaknya memperlakukan para tapol.

Disidang di Belanda

Tatahun 1974 Romo Suto berangkat ke Belanda dengan satu tujuan: liburan musim panas! Namun rencana ini belakangan terbukti kandas. Di bandara Amsterdam Schiphol, Romo Suto ditunggu oleh seorang penjemput yang memasang tulisan “Mr. SUTOPANITRO“ pada dadanya. Ternyata orang ini mengaku anggota dari Amnesti Internasional cabang Belanda dan mempunyai hubungan dengan Tweede Kamer (semacam DPR Belanda), yang mau berdiskusi dengan Romo Suto. Setelah sepakat waktunya untuk esok hari, orang ini mengantarkan Romo Suto menginap pada sebuah keluarga, sambil berpesan bahwa nanti malam Romo Suto hendaknya menonton acara dari “Programa 9”. “Malamnya. saat menonton program itu, saya kaget sekali. Sebab ternyata di sana ada siaran tentang saya yang tengah mendampingi para tapol dengan bimbingan rohani,… ada tayangan, saya sedang menomori kursi-kursi untuk suatu pertemuan, dll,“ kenang Romo Suto. Rupanya kehadirannya sudah ditunggu-tunggu oleh politisi-politisi tertentu yang memesan tayangan itu.

Keesokan harinya, Romo Suto dibawa ke gedung DPR Belanda dan bertemu dengan 5-6 orang anggotanya. Diskusi berjalan menarik. Alhasil, Romo Suto diminta kesediaannya untuk berbicara lagi, kali ini dalam lingkaran yang lebih besar dan penting, di-mana terdapat J. Pronk, Menteri Kerajaan Belanda untuk urusan Kerjasama dan Pengembangan waktu itu.

Akhirnya, terjadilah bahwa di dalam ruang sidang Tweede Kamer yang nyaris penuh itu, Romo Suto berbicara secara terbuka apa-adanya tentang keadaan tapol, kebijakan pemerintah Indonesia dan keadaan politik di masa Perang Dingin itu. Dalam pertemuan itu ada seorang peserta dari Partai Komunis, yang antara lain mengritik secara tajam Demokrasi Indonesia sebagai demokrasi semu alias hanya nama saja.

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Agak marah akibat mendengar tuduhan ini, Romo Suto balik menanggapi dengan pertanyaan yang menampar anggota Partai Komunis Belanda itu sendiri, katanya, “Lho apa tidak sebaliknya Anda malahan sedang berbicara tentang gaya partai Anda? Manakah negara yang lebih demokratis: Jerman Barat atau Jerman Timur?“. Pertanyaan ini retoris sifatnya, sebab semua orang tahu bahwa –berbeda dari Jerman Barat yang demokratis – Jerman Timur yang menamakan dirinya sendiri DDR (Deutsche Demokratische Republik: Republik Demokratis Jerman) itu adalah negara komunis yang sama sekali tidak demokratis, melainkan represif dengan menginjak-injak kebebasan warga di bawah diktator Partai Komunis.

Mendengar jawaban ini, anggota-anggota dari partai lain bertepuk tangan dengan meriah. Tetapi yang mengesankan Romo Suto bukanlah jawabannya, melainkan reaksi emosionalnya, “Saya heran juga saat menyadari, bahwa Bahasa Belanda saya ternyata jadi lancar ya kalau saya sedang marah atau memaki-maki pihak lain“, kenang Romo Suto sambil tertawa terbahak. Romo  Suto tinggal sekitar sebulan di Eropa, bahkan sempat diajak ke London untuk mengunjungi Pusat Amnesti Internasional. Liburan yang direncanakannya akan berjalan santai, tanpa terasa sudah berubah menjadi semacam studi banding.

Namun sepulang dari Eropa, Romo Suto merasa gusar juga saat mendarat di bandara Kemayoran. Bukankah ia sudah bicara blak-blakan dan kritis tentang pemerintah Indonesia, khususnya kebijakan pemerintah dalam masalah tapol? Apakah ia tidak kebablasan dalam memberikan informasi? Amankah dia kini? Romo Suto ketakutan, sebab katanya: “Situasi saat itu sangat rawan, kekuasaan Presiden Suharto yang bagi tentara merupakan Panglima Tertinggi, adalah tangan besi. Maka siapa berani menyatakan sesuatu yang tidak senada dengan policy Panglima Tertinggi, bahaya besar mengancam dirinya.“

Keesokan paginya, hari pertamanya masuk kantor seusai liburan, Romo Suto lalu memberitahukan kepada pegawainya, bahwa bila ia nanti siang tidak pulang, mohon pegawai itu lekas menyampaikan berita ini pada Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ. Itu tanda bahwa ia dipanggil oleh panglimanya, Jendral Soemitro, dan mungkin sekali akan ditahan.

Dan betul! Hari itu juga ia dipanggil dengan amat segera menghadap Jendral Soemitro. Romo Suto bergegas menuju markas pusat, memasuki kantor sang Jendral, dan memberi hormat padanya. Jendral Soemitro yang kala itu sedang ditemani oleh beberapa perwira lain, berkata, “Silakan kemari dan dengarkanlah ini!“, sambil meminta ajudannya menyetel kaset. Kaset itu diputar. Dari situ ternyata terdengarlah rekaman pembicaraan antara Romo Suto dan pihak asing di Tweede kammer.

Merasa bahwa dirinya akan dipersalahkan, Romo Suto diam dan siap mendengarkan kata-kata apa yang akan keluar dari mulut panglimanya, sambil terbersit dugaan jelek di benaknya bahwa ia akan ditahan. Namun, alih-alih dijatuhi hukuman, Romo Suto malahan diberi selamat dan dipuji oleh Jendral Soemitro, sebab sudah berani memperjuangkan sikap pemerintah Indonesia di hadapan parlemen asing di Belanda. Romo Suto terkesima, hatinya lega dan gembira.

Awan Gelap: Difitnah Melawan Gereja

Namun karya Romo Suto di kalangan militer tak sepenuhnya membawa pengalaman enak. Pernah ia “disidang” di Majelis Agung Waligereja Indonesia (sekarang: KWI). Pasalnya, ia pernah diisukan oleh seorang imam yang bekerja di institusi gereja ini, bahwa ia mau mendirikan semacam Gereja Tandingan di Timor Timur. Sebagai akibat itu, dana yang ia peroleh dari Misereor Jerman untuk PSK tidak sampai kepadanya, melainkan tertahan di tempat imam itu.

Romo Suto pun dipanggil ke kantor MAWI dan ditanyai oleh Mgr. Hadisumarto OCarm, Ketua MAWI saat itu. Romo Suto terkejut dan merasa dirinya difitnah. Ia menyangkal semua tuduhan, sebab memang tak ada bukti apa pun yang mendukung itu. Jendral Benny Moerdani waktu itu bahkan membela posisi Romo Suto dan ikut menyangkal isu demikian yang datangnya entah darimana itu.

Malam setelah berbicara dengan Mgr. Hadisumarto itu, Romo Suto merasa susah hatinya. Dia merasa sudah menempatkan dirinya secara hati-hati, justru demi kepentingan Gereja Katolik Indonesia. Dia sendiri merasa bahwa hidup pribadinya sendiri sering dipertaruhkan dalam tugas-tugas berbahaya di dalam kalangan militer. Kini dia kok malah dipertanyakan oleh pihak pimpinan Gereja yang ia bela! Dalam hatinya muncul hasrat, dendam dan amarah untuk menghancurkan pastor anggota MAWI dan membuka borok-borok institusi ini yang telah memfitnah dan menahan dana dari Misereor itu!

Romo Suto jadi tak bisa berdoa. Dalam kekesalan hatinya itu, ia melemparkan buku doa (brevir) yang tengah ia pegang. Namun apa yang terjadi? Ketika dilempar, brevir ternyata mengena Kitab Suci yang jatuh ke bawah meja. Romo Suto segera mengambil Kitab Suci yang terbuka itu. Namun tiba-tiba ia merasa di sambar petir. Pasalnya, Kitab Suci yang terbuka itu ternyata menunjukkan Mazmur 22: “Allahku, ya Allahku, mengapa Kau tinggalkan daku?”. Ini adalah mazmur yang didoakan Yesus juga saat ia sendirian di kayu salib. Ini adalah doa orang yang percaya bahwa pada saatnya Allah akan bertindak, meskipun sekarang ia menderita.

Romo Suto bergidik membaca teks itu. Dia menginsafi, bahwa inilah cara Tuhan menguatkan dia. Salib fitnah itu harus ia tanggung dengan sabar, niat menghancurkan teman imamatnya hilang, berganti sukacita dan kemerdekaan hati. Ia berlutut dalam doa. Menangis.

Kesusahan Dobel

Pendampingan yang dilakukan Romo Suto lewat PSK terhadap para tapol dan keluarganya berlangsung belasan tahun, sampai tahun 1982, ketika para tapol dilepas dari Inrehab atau penjara. Dengan segera mereka menimbulkan masalah baru. Banyak dari mereka sudah tak ada kontak sama sekali dengan keluarganya. Pihak Koramil (Komando Rayon Militer) yang sebenarnya harus menangani mereka, menyerahkan para tapol ini kepada Rm. Suto.

Baca Juga:  Hari Studi Struktural 2025: Penguatan Supervisi Formal dan Informal untuk Meningkatkan Pelayanan Pendidikan

Untuk menampung mereka, Romo Suto mengontrak sebuah rumah plus sebuah bedeng di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Dari sini PSK perlahan-lahan mengatur pertemuan mereka dengan keluarganya masing-masing. Memang tidak mudah mem-persatukan mereka yang sudah berpisah belasan tahun. Mereka sudah seperti orang lain.

Masalah baru lain muncul dengan “hidup baru“ para eks tapol yang mau dimulai dengan sebuah pekerjaan. Sulit sekali mencarikan pekerjaan buat mereka. Mereka bukan tenaga trampil lagi, usia pun sudah tidak muda. Tambahan lagi –ini masalah pokoknya– Pemerintah Soeharto masih menghukum mereka dengan memberi tanda ET (= eks tapol) pada KTP mereka. Dengan cap negatif ini, mereka praktis tak bisa mendapatkan akses untuk bekerja, lantaran benak masyarakat sendiri masih terisi penilaian negatif terhadap mereka akibat indoktrinasi ideologis mengenai bahaya laten PKI dari pihak Pemerintah selama bertahun-tahun.

Menurut pengalaman Romo Suto, mencarikan pekerjaan bagi eks tapol yang beragama Katolik atau eks-tapol beragama lain yang ia dampingi itu, agak sedikit lebih mudah dengan memanfaatkan jalur paroki-paroki. Namun lain halnya dengan para eks tapol yang tersebar di sana-sini. Mereka terblokir dalam pencarian nafkah hidupnya, dimusuhi dan sering dikafirkan. Dengan begini sesungguhnya mereka telah mati di dalam hidup.

Sampai tahun 1986, PSK masih menampung beberapa mantan tapol yang sudah tua dan cacat. “Tapi sekarang ini sebagian besar dari mereka sudah meninggal, sementara sebagian lainnya bisa survive dengan bekerja seadanya”, jelas Romo Suto. Namun terkadang datang satu-dua mantan tapol yang minta bantuan pada PSK, kendati bantuan-bantuan untuk PSK sebenarnya sudah dihentikan oleh pihak donatur, sebab masalahnya dianggap sudah selesai dengan tak adanya lagi tahanan G30S. Sekarang ini PSK praktis sudah tidak berfungsi lagi, kendati secara formal sebenarnya tidak pernah dinyatakan saat selesai atau penutupannya.

Setelah selama 40-an tahun dibungkam, peristiwa G30S memang sudah lama beranjak. Namun luka-luka batin dari mereka yang terkait, utamanya para mantan tapol dan keluarganya, tidak mudah sembuh akibat beban sejarah dan cap buatan rezim Orde Baru atas mereka. “Penyembuhannya bisa jadi butuh waktu sampai satu generasi,“ kata Romo Suto dengan tatapan yang menerawang jauh menahan haru dan pilu.

Pendidikan Untuk Orang Miskin

Dalam karyanya pada langkah berikut, tekad Romo Suto untuk membantu orang susah dan tertindas keadaannya tidak pernah padam. 1973 ia mendirikan Yayasan Esti Bakti yang menangani bidang pendidikan dalam arti luas, misalnya sekolah SD-SLP untuk anak-anak miskin. Asal-usul Yayasan ini pada mulanya masih dalam rangka PSK di atas, yakni untuk membantu pendidikan bagi anak-anak tapol atau eks tapol yang mengalami represi dan trauma psikologis berat akibat perlakuan atas mereka baik saat di penjara atau stigmatisasi orangtua mereka kelak. “Di antara mereka ada anak-anak yang termasuk pada 39 bayi yang saya rawat di Tebet dulu, setelah dilahirkan oleh ibu mereka di penjara. Sebelumnya, perlakuan terhadap mereka di penjara itu mengerikan. Saya pernah mengalami, ada bayi yang dijemur di halaman pada tengah hari bolong oleh penjaga penjara, agar bisa mengorek informasi dari ibunya yang dipaksa menyaksikan itu sambil ditanyai, apakah ia PKI atau bukan,“ ceritanya.  “Kita harus tahu, waktu itu para tapol dipenjara dulu, lalu baru ditanyai. Bukan ditanyai dulu, lalu dipenjara!“ tandas Rm. Suto dengan nada tinggi.

Di sekolah ini mereka mendapatkan pendampingan psikologis, selain belajar secara formal agar memiliki akses ke luar yang lebih luas. Untuk mendukung kesehatan dan gizinya, mereka mendapatkan makan secukupnya. Romo Suto berharap dengan adanya instansi pendidikan ini, suatu generasi baru bisa bangkit dari reruntuhan traumatisnya, untuk memulai masa depan yang lebih cerah baik bagi mereka maupun bagi bangsa Indonesia yang sejarahnya terisi dengan penindasan atas orangtua dan leluhur mereka. Arah Romo Suto jelas: perdamaian dan rekonsiliasi.

Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1976, Yayasan Esti Bakti “memperanakkan“suatu yayasan lain, yakni yayasan “Murakabi“ (= “bermanfaat”, bahasa Jawa) yang sekaligus mendapat tugas operan dari yayasan „ibu“-nya, yakni pendidikan anak-anak tapol itu. Sedangkan Yayasan Esti Bakti sendiri membuka pelayanan baru yang bidangnya memang tetap pada pendidikan, tapi tidak ekslusif lagi untuk anak-anak tapol, melainkan terutama untuk anak-anak miskin. Letaknya di Kapuk. Apa alasan Romo Suto? “Saya dulu pernah ditolak menyekolahkan anak tapol, miskin lagi, pada suatu sekolah Katolik milik tarekat suster tertentu. ‚Kalau tidak bisa bayar, ya jangan bersekolah di sini!‘ kenang Romo Suto.

“Diperlakukan secara demikian, saya meninggalkan tempat itu sambil bernazar: Saya mau mendirikan sekolah untuk orang miskin!“ Sekarang sementara yayasan “Murakabi“ praktis sudah tidak ada lagi, Yayasan Esti Bakti masih berjalan sebagai sekolah untuk anak miskinnya di daerah Kapuk. Romo Suto bukan saja sudah membayar nazarnya dahulu, melainkan menjaga nazar itu pula sampai kini.

Pada hari Jumat Agung, 18 April 2025 Romo Stanislaus Sutopanitro, pastor pejuang untuk orang miskin ini, meninggal dunia pada usia 90 tahun 11 bulan dalam kepercayaannya kepada Tuhan yang akan memberikan kebahagiaan abadi baginya, seperti tertulis dlm doa ibadat brevir hari Minggu yang sering ia daras: In Te Domine speravi, non confundar in aternum! (KepadaMu ya Tuhan, aku telah berharap; selamanya aku tak akan mendapat malu!)

Pastor Simon L. Tjahjadi, diosesan KAJ/Ketua STF Driyarkara, Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles