HIDUPKATOLIK.COM – DALAM homili vigili Paskah 2025, Paus Fransiskus mengutarakan kisah Petrus, Maria Magdalena dan murid lain yang bergegas ke makam, mencari Yesus. Itulah langkah hidup kita: memcari Tuhan, karena di dalam Dia ada segalanya.
Kiranya itulah yang ditapaki Paus Frransiskus. Setelah menyelesaikan rangkaian Trihari Suci, sempat muncul di Lapangan Santo Petrus dan bahkan juga di Loggia Basilika Santo Petrus. Hari Senin Oktaf Paskah (21 April 2025), pagi hari waktu Roma, Paus Fransiskus bergegas mencari Tuhan untuk menjumpai Dia yang bangkit. Kematian itu tiada, sebab yang ada adalah kehidupan di dalam Tuhan yang bangkit.

Paus Fransiskus telah menyelesaikan pertandingan hingga akhir. Bahkan di saat terakhir masih sempat pula bertemu sebentar dengan Wakil Presiden Amerika Serikat, J.D. Vance. Kita semua berduka, namun apakah artinya duka bagi pemenang sejati, petarung bingga akhir. Hingga skjir dalam pesan Urbi et Orbi (Bagi Kota dan Dunia), dia masih menyerukan humbauan perdamaian dan gencatan senjata di Gaza. Memang Gaza menjadi tatapan perhatiannya, juga di saat dirawat di Rumah Sakit Gamelli.

Hidup adalah perjalanan. Demikian dikatakannya tanggal 19 Maret 2013 saat resmi memulai pelayanan sebagaia Paus. Di akhir masa penggembalaannya pun, dia masih mengajak Gereja menapaki perjalanan dalam sinodalitas dan penziarahan pengharapan dalam Yubileum 2025. Penziarahan kita menuju Tuhan ditapaki di tengah luka dan kerapuhan dunia. Saat Paus sakit, dia masih menuntun penziarahan Gereja, dan bahkan dunia ini, di tengah kenyataan sakit dan kerapuhannya, sehingga muncul istilah Magisterium of Fragility. Dalam kerapuhanlah kita dikuatkan. Demikian Fransiskus mengatakannya. Tentu di saat kepulangnnya, dia pun akan mengatakan dalam kematian kita diselamatkan. Kalau kita hidup dalam Kristus, kita pun mati dalam Dia, sebab baik hidup atau mati kita milik Tuhan, bukankah itu pesan Kitab Suci yg kita pegang.

Saat dia terpilih banyak yang terkejut, tidak menyangka. Datang dari ujung dunia, demikian dia menggambarkannya. Bahkan Paus Benediktus XVI pun tidak menduga dia yang terpilih. Tetapi itulah kehendak Tuhan, bukan perhitungan manusia. Demikian pula saat wafat, kita semua terkejut. Semua masih berjalan seperti biasa, masih muncul dan berkeliling dan bertemu orang. Memang kelihatan rapuh, sungguh in fragility. Tapi itulah realitaitas hidup.
Gereja tidak diajak untuk berpusat pada diri sendiri, memancarkan terang dirinya sendiri,melainkan memancarkan terang Tuhan. Maka dia menyebutkan sebelum terpilih dia mengatakan, Paus yang saya inginkan adalah seseorang yang berkat kontemplasinya akan Yesus Kristus membawa Gereja keluar mewartakan Injil. Kiranya itu yg mendasari alasan terpilihnya. Gereja yang mewartakan Injil, mewujudkan Kerajaan Allah, itulah gambaran penggembalaannya. Dalam visi penggembalaan itu, Fransiskus, dalam semangat nama pelindungnya, Santo Fransiskus dari Assisi, menyuarakan gema dorongan bagi terwujudnya persaudaraan sejati dan terpeliharanya rumah kita bersama. Maka penggembalaannya pun melintasi batas ruang Gereja. Deklarasi Abu Dhabi, yang dilanjutkan dengan Fratelli Tutti, demikian pula Laudato Si’, pun Laudate Deum, gemanya sampai berbagai penjuru bumi.
Dalam Ensiklik terakhir Dilexit Nos, Paus menyebut dunia sedang menghadapi krisis, kehilangan hati. Dunia perlu kembali kepada hati, terlebih hati Tuhan yg lambung-Nya ditikam. Itulah hati yg tidak takut terluka, tidak ragu mengorbankan diri. Di masa akhir hidupnya Paus memberikan diri sampai akhir. Sakit dan kerapuhannya bukan alasan untuk menutup diri. Di tengah dunia yg cenderung memuja kehebatan dan kebesaran, Dia berani tampil dan hadir rapuh. Itulah hati yg berkorban, hati yang memberikan diri, pemberian diri sampai purna.
Harapan dan kesabaran berjalan beriringan. Paus sudah bersabar dengan perjalanan Gereja.
Terima kasih Paus Fransiskus atas 12 tahun penggembalaan. Tuhan memberikan istirahat dalam damai-Nya.
Kini Paus telah meninggalkan kita. Takhta kosong. Namun Gereja tetap berjalan. Kita berdoa bagi perjalanan Gereja selanjutnya, menanti pengganti Petrus, sebab percaya Tuhan menyertai Gereja hingga akhir zaman.

Pastor Dr. T. Krispurwana Cahyadi, SJ (Doktor Teologi, Tinggal di Girisonta)






