web page hit counter
Sabtu, 21 Juni 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mahakarya Kapel Sistina: Dari Benteng Paus Menjadi Tempat Suci Konklaf

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Kini, umat Katolik dan seluruh dunia mulai menanti dengan penuh harap asap putih (Latin: fumus albus; Italia: fumata bianca) mengepul dari cerobong Kapel Sistina yang menandakan terpilihnya Paus baru.

Suasana tegang di Kapel Sistina pada 18 April 2005. Asap hitam (Latin: fumus niger; Italia: fumata nera) telah dua kali membubung dari cerobong kecil, menandakan kegagalan para kardinal memilih Paus baru. Di dalam, 115 kardinal dari seluruh dunia duduk melingkar di bawah sorotan lukisan “Pengadilan Terakhir” karya Michelangelo. Tampak wajah-wajah mereka tegang menanti hasil pemungutan suara. Di antara mereka, dua nama bergema: Joseph Ratzinger, sang “Panzer Kardinal” dari Jerman, dan Jorge Mario Bergoglio, seorang Jesuit dari Argentina yang dijuluki “Kardinal Orang Miskin”.

Bergoglio, yang diam-diam telah meraih 40 suara dalam beberapa putaran awal (The Jesuit, 2016), nyaris menghentikan laju Ratzinger menuju dua pertiga suara yang dibutuhkan. Saat desas-desus tentang “kandidat kompromi” bergulir, Kardinal Claudio Hummes dari Brasil berbisik kepada Bergoglio, “Jangan lupakan orang miskin” (Vatican News, 2022). Malam itu, di bawah langit-langit penuh lukisan adegan Penciptaan, Bergoglio memilih untuk mendukung Ratzinger — sebuah keputusan yang mengantarkan dunia pada Paus Benediktus XVI, dan mengubah jalan hidupnya menuju takhta Petrus delapan tahun kemudian.

Di jantung Vatikan inilah, selama berabad-abad tersembunyi sebuah mahakarya yang menjadi sakral bagi Gereja Katolik, Kapel Sistina. Bagaimana sebuah kapel yang awalnya dibangun sebagai benteng abad ke-15 berubah menjadi panggung sejarah Gereja?

Warisan Abadi

Kapel Sistina dibangun pada tahun 1477–1480 atas perintah Paus Sixtus IV. Kata “Sistina” berasal dari nama “Sixtus”. Sebelum Kapel Sistina dibangun, di lokasi yang sama sudah berdiri Cappella Magna, sebuah kapel tua yang besar tapi hampir rubuh. Menurut sumber Musei Vaticani, Paus Sixtus IV ingin merenovasinya dan membangun tempat yang lebih megah, “seperti Bait Suci yang didirikan Salomo”, sekaligus berfungsi sebagai benteng pertahanan bagi Paus jika terjadi serangan.

Arsitek Giovannino de Dolci diperintahkan merancang struktur persegi panjang (40,9 x 13,4 meter) dengan dinding setebal tiga meter—cukup kuat untuk menahan serangan. Langit-langitnya dibuat melengkung dan lantainya dihiasi mosaik bergaya Cosmatesque (seni marmer dan batu berwarna) yang indah.

Tapi Sixtus tak juga puas. Sumber Britannica mencatat, ia mengundang seniman terbaik dari Florence, yakni Botticelli, Ghirlandaio, dan Perugino, untuk melukis dinding dengan kisah Musa (bagian selatan kapel) dan kisah Yesus (bagian utara). Dalam dua tahun (1481–1483), lahirlah 16 lukisan dinding (fresco) yang menjadi “Alkitab visual” bagi yang buta huruf.

Namun, pada 1508, Paus Julius II — seorang paus yang visioner dan ambisius — memanggil Michelangelo Buonarroti, seorang pematung muda berbakat, untuk melukis langit-langit kapel. Michelangelo awalnya enggan karena menganggap dirinya bukan pelukis, melainkan pemahat. “Aku bukan pelukis! Aku pemahat dari Florence!” protes Michelangelo (Britannica: The Sistine Chapel, 2025). Ia juga curiga pada besarnya proyek yang ditawarkan kepadanya oleh orang-orang yang dianggap musuh-musuhnya sebagai sebuah jebakan agar ia gagal. Namun, Paus Julius II bersikeras. Akhirnya, Michaelangelo mengerjakannya selama empat tahun (1508-1512).

Bagi dirinya, pengerjaan langit-langit Kapel Sistina adalah tugas yang sangat berat, baik secara fisik maupun mental. Ia harus bekerja dalam posisi yang tidak nyaman, berbaring di atas perancah kayu setinggi 20 meter untuk melukis bagian atas kapel. Tantangan ini membuat Michelangelo mengalami kelelahan fisik yang parah, dengan sakit punggung dan leher yang berkepanjangan (website Musei Vaticani: Storia della Cappella Sistina).

Meskipun demikian, hasil karyanya terbukti luar biasa, menampilkan keindahan, detail, dan emosi yang membuatnya menjadi salah satu mahakarya seni terbesar dalam sejarah. Di sana terpampang lukisan menakjubkan seperti “Penghakiman Terakhir”, dan 343 figur Alkitab yang hidup, termasuk lukisan “Penciptaan Adam”, yang ikonik — jari Tuhan dan Adam yang nyaris bersentuhan menjadi simbol Renaisans. Untuk lukisan “Penghakiman Terakhir” di dinding belakang altar, ia kerjakan antara tahun 1535 sampai 1541, berdasarkan tugas dari Paus Paulus III.

Lukisan-lukisan ini bukan sekadar dekorasi, melainkan khotbah visual yang mengisahkan penciptaan, kejatuhan manusia, dan penghakiman terakhir. Lukisan itu menjadi mahakarya Renaisans yang mengubah Kapel Sistina menjadi museum seni yang sakral.

Saat itu, Michelangelo dibayar 3.000 dukat (setara Rp6 miliar hari ini), tapi ia mengeluh, “Aku kehilangan kesehatan dan masa mudaku di sini.”

Tempat Konklaf

Lalu, bagaimana Kapel Sistina menjadi tempat Konklaf? Awalnya, pemilihan Paus oleh para kardinal dilakukan di Basilika Santo Yohanes Lateran atau bahkan di kota lain seperti Viterbo atau Avignon jika terjadi ketegangan politik.

Namun, pada tahun 1274 Paus Gregorius X menetapkan aturan ketat untuk Konklaf (dari bahasa Latin cum clave, “dengan kunci”). Ia membuat aturan baru tersebut setelah sebelumnya menyadari kekosongan kepausan selama tiga tahun (1268–1271). Para kardinal mulai dipaksa memilih dalam ruang tertutup sampai terpilih Paus yang baru. Sejak saat itu, Kapel Sistina diputuskan sebagai lokasi resmi Konklaf (bdk. dokumen Universi Dominici Gregis atau UDG yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II tahun 1996, Bagian II, Bab 1, Nomor 50).

Alasan pemilihan Kapel Sistina sebagai lokasi Konklaf antara lain karena desain akustik kapel yang sempurna yang memastikan bisikan tidak terdengar keluar; simbolisme teologis dari lukisan “Penghakiman Terakhir” yang mengingatkan kardinal akan tanggung jawab mereka; dan tingkat keamanan yang terjamin dengan jendela tinggi yang mencegah penyusup.

Sejak 1996, para kardinal yang ikut Konklaf juga ditetapkan menginap di Domus Sanctae Marthae, sebuah rumah tamu di Vatikan, untuk kenyamanan, yang tak jauh dari Kapel Sistina.

Pada 7 Mei 2025 ini, sebanyak 135 kardinal dari seluruh dunia akan berkumpul di Kapel Sistina untuk memilih Paus ke-267. Mereka akan duduk di bawah lukisan “Penghakiman Terakhir”, seolah diingatkan bahwa pilihan mereka akan dihakimi oleh Tuhan dan sejarah.

Kitab Hukum Kanonik (Kanon 349) menegaskan bahwa hanya kardinal di bawah umur 80 tahun yang boleh memilih paus (kardinal elektor). Selama Konklaf, kardinal didampingi paling banyak dua asisten dan tidak boleh membawa alat komunikasi apa pun dan tidak boleh berkomunikasi keluar dengan siapa pun. Setelah Misa di Kapel Sistina, asisten kardinal diminta keluar dan kapel pun dikunci. Para kardinal kemudian mengadakan pemilihan secara rahasia.

Terkait prosedur pemilihan, dokumen UDG menyatakan bahwa pemungutan suara hanya dilakukan melalui surat rahasia dan menghapus metode kuno seperti pemilihan “dengan teriakan” (per acclamationem) atau aklamasi.

Dalam Normas Nonnullas (2013), Paus Benediktus XVI kembali menguatkan aturan UDG dengan menambahkan sanksi ekskomunikasi otomatis bagi siapa pun yang melanggar kerahasiaan Konklaf di Kapel Sistina.

Mukjizat Demokrasi Suci

Kapel Sistina bukan hanya tempat pemilihan Paus atau museum seni. Ia adalah simbol iman, seni, dan kekuatan Gereja yang bertahan selama berabad-abad. Setiap goresan Michelangelo, setiap doa yang terdaras dalam Konklaf, dan setiap Paus yang terpilih di sana — semuanya mengukuhkan Kapel Sistina sebagai jantung spiritual Vatikan.

Pada 30 Maret 2015, Paus Fransiskus pernah menyambut tunawisma di Kapel Sistina dan menyatakan, “Ini adalah rumah bagi semua orang, ini adalah rumah Anda. Pintu selalu terbuka untuk semua” (UCANews, 2015).

Kini, umat Katolik dan seluruh dunia mulai menanti dengan penuh harap asap putih (Latin: fumus albus; Italia: fumata bianca) mengepul dari cerobong Kapel Sistina yang menandakan terpilihnya Paus baru. Ketika asap putih mengepul nanti, dunia kembali akan menyaksikan bagaimana sebuah kapel yang dibangun sebagai benteng pada abad ke-15 menjadi panggung bagi mukjizat demokrasi suci.

“Di bawah langit-langit Michelangelo, bahkan yang paling perkasa pun harus berlutut”, kata Giorgio Vasari (1511-1574), seorang sejarawan seni dan Gereja.

Febry SilabanPemerhati Gereja, tinggal di Paroki Laurensius, Tangerang Selatan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles