web page hit counter
Sabtu, 21 Juni 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Uskup Agung Medan Mgr. Kornelius Sipayung OFM Cap: Jadilah “Influencer” Injil

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 1 Juni 2025 Minggu Paskah VII (Hari Minggu Komunikasi Sedunia) Kis 7:55-60; Mzm 97; Why 22:12-14.16-17.20; Yoh 17:20-26

PADA Minggu Paskah VII ini, kita berdiri di ambang dua peryaan besar: Hari Raya Kenaikan Tuhan Yesus yang baru saja kita rayakan, dan Hari Raya Kedatangan Roh Kudus pada Hari Pentakosta yang segera tiba. Di tengah-tengah kedua momen agung itu, kita diundang oleh liturgi Sabda hari ini untuk merenungkan suara-suara yang paling dalam dari hidup Kristiani: suara Yesus yang berdoa bagi kesatuan, suara Stefanus yang berseru dalam pengampunan, dan suara Gereja yang menyerukan harapan: “Maranatha! Datanglah, Tuhan Yesus!”

Semua bacaan hari ini berbicara tentang komunikasi, bukan dalam arti teknis atau sekadar pertukaran pesan, tetapi sebagai pengungkapan terdalam dari iman yang hidup. Maka tidak heran bahwa Minggu ini juga ditandai oleh peringatan Hari Komunikasi Sosial Sedunia, di mana mendiang Paus Fransiskus melalui suratnya mengajak kita untuk merenungkan kembali peran komunikasi dalam membangun persaudaraan, menegakkan kebenaran, dan menyembuhkan luka dunia.

Injil Yohanes 17 mengabadikan doa Yesus yang paling intim dan mendalam, yang sering disebut sebagai Doa Imam Agung. Di dalamnya, Yesus berdoa bukan hanya bagi para rasul yang hadir di hadapan-Nya, tetapi juga untuk kita semua (Yoh 17:20).

Yesus tahu bahwa dunia ini mudah terpecah oleh kebencian, oleh perbedaan, bahkan oleh kata-kata yang menyakitkan. Karena itu, Ia tidak hanya menyerahkan pesan-Nya, tetapi juga menyerahkan kita semua ke dalam pelukan kasih Bapa-Nya, agar “mereka semua menjadi satu.”

Kesatuan bukan berarti keseragaman, tetapi kebersamaan dalam cinta yang mendengarkan, menghargai, dan membuka diri. Dalam pesannya pada Hari Komunikasi Sosial, Paus Fransiskus menekankan pentingnya mendengarkan secara mendalam sebagai dasar komunikasi sejati. Tanpa mendengarkan dengan hati, kata-kata kita kosong. Sebaliknya, mendengar dengan cinta menghasilkan kata-kata yang menyembuhkan.

Lalu kita mendengar suara Stefanus, sang diakon dan martir pertama Gereja. Ia tidak hanya mati karena mengaku iman, tetapi meninggal dengan kata pengampunan di bibirnya (Kis 7:60).

Di dunia yang sering merespons luka dengan kekerasan, dan balas dendam dianggap wajar, suara Stefanus adalah komunikasi yang melampaui akal sehat manusia. Ia menunjukkan bahwa komunikasi bukan soal menang-berdebat, tetapi soal menyerahkan diri pada kasih Allah yang tak terbatas.

Paus Fransiskus berkali-kali mengingatkan: “Kata-kata kita bisa menjadi senjata yang memecah atau menjadi minyak yang menyembuhkan.” Dalam era digital, dengan media sosial yang cepat dan sering tak terkontrol, betapa mudahnya kita menghakimi, menyerang, atau menyebarkan fitnah. Tetapi Stefanus mengajarkan, bahwa suara orang benar bukanlah suara kebencian, melainkan seruan kasih dan pengampunan.

Maranatha: Komunikasi sebagai Seruan Pengharapan

Dalam bacaan dari Kitab Wahyu, kita mendengar suara lain: “Datanglah, Tuhan Yesus!” Inilah doa Gereja sepanjang masa, yang menanti bukan dalam pasif, tetapi dalam pengharapan aktif. Komunikasi iman kita tidak hanya berkisah tentang masa lalu, tetapi mengarahkan hati kepada kedatangan Tuhan di masa kini dan masa depan.

Seruan ini, Maranatha, adalah inti dari hidup kristiani. Ini juga adalah jiwa dari komunikasi Gereja: menyerukan harapan di tengah dunia yang semakin lelah, patah, dan bingung oleh arus informasi. Di tengah berita bohong, ujaran kebencian, dan narasi pesimisme, kita diundang untuk menjadi suara yang membawa terang, bukan kegelapan.

Dalam terang bacaan ini dan pesan Paus Fransiskus, kita diajak untuk merefleksikan beberapa sikap konkret: Belajar mendengarkan lebih dari berbicara. Dunia butuh Gereja yang punya telinga, bukan hanya mulut. Menyampaikan pesan dengan kejujuran dan kelembutan. Jangan biarkan kata-kata kita menyakiti, tetapi sembuhkan. Menggunakan media sosial untuk evangelisasi dan membangun harapan. Jadilah “influencer Injil” yang menyampaikan kasih dan sukacita sejati.

Menjadi komunikator Roh Kudus: artinya berkomunikasi dengan hikmat, kelembutan, dan kebenaran, bukan dengan emosi, nafsu, atau keinginan menguasai. Suara Yesus adalah Doa, Suara Stefanus adalah Pengampunan, Suara Gereja adalah Harapan.

Ketiga suara ini—Yesus, Stefanus, dan Gereja—harus menjadi dasar suara kita sebagai murid-murid Kristus. Jangan biarkan dunia mencuri suara kasih dari hati kita. Jangan biarkan media sosial menciptakan jurang dalam Gereja. Mari kita jawab seruan Paus Fransiskus: menjadikan komunikasi sebagai sarana persaudaraan, bukan permusuhan. Maranatha! Mari kita menantikan Tuhan, sambil menjadi suara yang membangun kesatuan, menyembuhkan luka, dan mewartakan pengharapan. Amin.

 “Kesatuan bukan berarti keseragaman, tetapi kebersamaan dalam cinta yang mendengarkan, menghargai, dan membuka diri.”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles