web page hit counter
Sabtu, 21 Juni 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Saat Gereja Meniup Lilin: Sebuah Cerita tentang Dua Hari Lahir

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Pagi ini saya duduk di bangku kayu gereja, menatap altar yang didekorasi merah menyala. Hari ini adalah Pentekosta. Seperti biasa setiap tahun, umat Katolik di seluruh dunia merayakan Hari Raya Pentekosta — 50 hari setelah Paskah. Liturginya meriah: warna merah menyala, lagu-lagu penuh semangat, dan bacaan Injil tentang turunnya Roh Kudus atas para rasul. Bahkan, dalam banyak homili, para imam menyebut hari Pentekosta sebagai “ulang tahun Gereja.”

Tapi… apakah benar Gereja lahir pada hari Pentekosta? Bukankah fondasi Gereja justru diletakkan saat Kristus wafat di kayu salib pada Jumat Agung? Pertanyaan ini ternyata bukan hanya bahan diskusi teologis, tapi juga menyimpan makna rohani yang mendalam bagi umat Katolik.

Tentu kita masih ingat suasana Jumat Agung: langit gelap, Yesus tergantung di kayu salib, dan dari lambung-Nya yang tertikam mengalir darah dan air. “Permulaan dan pertumbuhan Gereja ditandakan dengan darah dan air, yang mengalir dari lambung Yesus yang terluka di kayu salib,” tulis Katekismus Gereja Katolik (KGK 766). Para Bapa Gereja awal (misalnya Santo Agustinus dan St. Ambrosius) menyatakan bahwa Gereja lahir dari lambung Kristus yang tertusuk tombak, ketika darah dan air mengalir keluar (Yoh 19:34), melambangkan sakramen Ekaristi dan Baptis — fondasi Gereja.

Santo Ambrosius bahkan menggambarkannya seperti kisah Adam dan Hawa: “Seperti Hawa diciptakan dari rusuk Adam yang sedang tidur, demikian pula Gereja dilahirkan dari hati tertembus Kristus yang mati di salib.”

Momen ini adalah fondasi teologis Gereja. Di kayu salib, Yesus menyerahkan diri sepenuhnya untuk keselamatan kita, dan Ekaristi—sakramen yang mempersatukan kita—diprakirakan saat Perjamuan Terakhir.

Tapi, apakah Gereja sudah “aktif” saat itu? Belum. Para rasul masih ketakutan, bersembunyi, dan belum memahami sepenuhnya misi mereka. Gereja bagai janin yang sudah dikandung, tapi belum “lahir” ke dunia.

Saat Gereja “Menangis Pertama Kali”

Lima puluh hari setelah Paskah, Roh Kudus turun seperti lidah api (Kis 2:1–13). Peristiwa ini dianggap sebagai momen kelahiran Gereja karena sejak saat itu para rasul mulai mewartakan Injil secara terbuka dan dalam berbagai bahasa, membaptis ribuan orang, serta membentuk komunitas umat beriman pertama.

Para rasul yang sebelumnya gemetar kini berani berkhotbah, dan 3.000 orang dibaptis (Kis 2:41). Petrus pun berdiri, berhati membara, dan berkata, “Hasrat itu membara dalam diri kita untuk mewartakan Injil kepada segala bangsa”. Inilah hari di mana Gereja mulai bernapas, berbicara, hidup, bergerak, dan membuka diri untuk dunia.

Liturgi Pentekosta menyebutnya “awal kelahiran Gereja”. KGK juga menegaskan: “Dengan pencurahan Roh Kudus, Gereja dinyatakan pada hari Pentekosta” (KGK 1076). Roh Kudus mengubah para rasul dari sekelompok penakut menjadi pewarta yang tak kenal lelah. Jika Jumat Agung adalah “kelahiran dalam diam”, Pentekosta adalah “kelahiran dalam gegap gempita”.  Dari sisi Kristus yang wafat, Gereja dibentuk. Namun, dari napas Roh Kudus, Gereja dilahirkan.

St. Yohanes Paulus II, dalam homilinya pada Pentakosta 1998, menyebut Pentakosta sebagai “hari lahir Gereja”. Dalam dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium 4, “Gereja dilahirkan pada saat Roh Kudus turun atas para rasul.”

KGK 767 kembali menegaskan: “sesuai tugas yang diberikan Bapa kepada Putera untuk ditunaikan di dunia, diutuslah Roh Kudus pada hari Pentekosta, agar Ia senantiasa menyucikan Gereja.” Ibarat bayi yang dikandung dengan kasih, tapi baru menangis dan disambut dunia saat dilahirkan — demikian pula Gereja.

Pesta Panen dan Kue Ultah Gereja

Pentekosta awalnya adalah pesta panen bagi bangsa Yahudi. Kata Yunani pentêkostê berarti “hari kelima puluh” setelah Paskah. Dalam tradisi Israel, setelah 7 kali 7 tahun (49 tahun), maka tahun ke-50 akan menjadi tahun Jobel, saat terjadi pembebasan total bagi mereka yang menjadi budak atau mengalami pendudukan. Dalam hitungan hari, setelah 7 kali 7 hari (49 hari), hari Pentekosta (hari ke-50) biasanya dirayakan juga (Im 23:15-21; Ul 16:9-11).

Namun, dalam terang Perjanjian Baru, hari itu menjadi perayaan baru: panen rohani pertama, ketika Gereja menuai ribuan jiwa yang menerima pewartaan para rasul. Dari situ, Gereja berkembang lintas bangsa dan budaya, disatukan oleh satu Roh.

Jadi, kapan kita tiup lilin? Lalu, yang mana ulang tahun sebenarnya? Pertanyaan itu bukan soal memilih hari Jumat Agung atau Pentekosta, melainkan dengan menghidupi keduanya. Karena rupanya, Tuhan tidak melahirkan Gereja dalam satu hari.

Seperti bayi yang dikandung dengan kasih, lalu dilahirkan dengan sukacita, Gereja juga lahir dua kali. Lilin yang ditiup dua kali. Pertama dari Kristus dan kedua dari Roh Kudus. Jumat Agung adalah saat cinta itu mulai membentuk tubuh-Nya, seperti bayi yang kepalanya muncul lebih dulu. Pentekosta adalah saat tubuh itu bernapas, bersuara, dan berjalan. Tanpa salib, tidak ada Ekaristi; tanpa Ekaristi, tidak ada Gereja.

Kini, setiap kali merayakan Jumat Agung, kita melihat darah dan air itu dengan mata baru — bukan hanya tanda penderitaan, tapi juga tanda awal mula kita sebagai bagian dari Gereja. Dan setiap Pentekosta, ketika lilin-lilin menyala dan umat bernyanyi penuh semangat, kita tahu: ini bukan sekadar pesta. Ini adalah ulang tahun Gereja — ulang tahun kita semua.

Tahun ini, Hari Raya Pentekosta jatuh pada pada hari Minggu, 8 Juni 2025.  Setelah perayaan Misa pagi tadi, putraku Steve, yang masih berumur empat tahun, bertanya padaku, “Papa, kalau Gereja ulang tahun dua kali, kapan kita bagi kue ulang tahunnya?”

Aku pun tertawa sambil memeluknya, “Nak, kita rayakan setiap Misa: kue itu adalah Ekaristi. Dan setiap kali kita datang, kita ucapkan, ‘Selamat ulang tahun, Gereja!’”

Selamat merayakan dua kelahiran dalam satu iman. Selamat ulang tahun, Gereja—yang lahir dalam diam di salib, dan yang bersorak dalam lidah api Pentakosta!

Febry Silaban
Penulis seorang pemerhati Gereja, tinggal di Paroki St. Laurensius, Alam Sutera, Serpong

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles