HIDUPKATOLIK.COM – Menjadi penulis bukan perkara ringan. Apalagi jika suara yang ditulis adalah suara dari pinggiran, dari belantara yang jauh dari pusat kuasa dan sorotan. Saya tidak menulis untuk pujian. Saya menulis karena saya harus. Karena ada suara di dalam diri saya yang terus berteriak: tentang ketidakadilan, tentang konflik, tentang keresahan rakyat kecil yang terlalu lama ditutup-tutupi.
Saya lahir dan tumbuh di tanah Kalimantan, di antara sunyi yang kaya makna. Di sana saya belajar bahwa suara sekecil apa pun bisa mengguncang, bisa mengubah, bisa menyadarkan. Tapi saya juga belajar, bahwa kebenaran sering kali dianggap ancaman. Dan ketika seseorang mencoba menyuarakannya, maka ia harus siap menerima tekanan, ancaman, bahkan teror.
Saya pernah mengritik soal jalan rusak. Hanya soal infrastruktur dasar yang seharusnya menjadi hak rakyat. Tapi akibatnya, saya ditegur, diintimidasi, dan bahkan dituduh “macam-macam”. Itulah risiko menjadi penulis di negeri sendiri. Salah sedikit bicara, dianggap provokator. Salah memilih kata, dianggap menyerang. Padahal yang saya suarakan adalah kepedulian, bukan kebencian.
Di Antara Teror dan Iman
Menulis, bagi saya, adalah bentuk doa. Saat tangan saya bergerak di atas papan ketik, saya sedang berkontemplasi. Saya sedang berhadapan dengan Tuhan dan nurani saya sendiri. Apalagi saya adalah pengikut Kristus. Iman saya bukan hanya dibawa ke gereja, tapi juga ditulis dalam setiap kalimat yang saya bagikan.
Tapi menjadi minoritas juga punya risiko tersendiri. Ketika saya menulis sesuatu yang dianggap menyentil kelompok tertentu, saya langsung diberi label. Saya pernah diancam akan dilaporkan karena dianggap menyinggung. Padahal, tidak ada niat buruk. Saya hanya menyuarakan realita yang memang sedang terjadi.
Iman saya tidak membolehkan saya diam. Karena dalam Kitab Suci pun, Tuhan mengajar kita untuk menyampaikan kebenaran, meski itu pahit. Karena itu, saya memilih tetap menulis, walau kadang harus dengan rasa takut. Saya percaya, hidup dan mati adalah untuk Kristus. Maka jika saya mati karena kebenaran, itu pun bagian dari panggilan.
Lelah Akan Janji, Rindu Akan Tindakan
Rakyat sudah lelah dengan janji-janji. Lelah dengan pertengkaran politik yang tidak pernah selesai. Energi bangsa ini terlalu banyak dihabiskan untuk konflik personal, urusan elite, dan perebutan kekuasaan. Sementara rakyat hanya ingin hidup layak. Kami hanya ingin makan, sekolah, dan jalan yang tidak rusak. Kami tidak peduli siapa partainya, siapa pejabatnya, siapa agamanya selama dia bekerja nyata.
Bangsa ini tidak butuh drama baru. Yang kami butuhkan adalah negarawan sejati. Mereka yang mampu keluar dari kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka yang menempatkan bangsa dan rakyat di atas ego dan kuasa. Sudah terlalu lama rakyat dijadikan korban dari konflik elite. Sudah terlalu banyak sumber daya bangsa dihabiskan untuk menyelesaikan masalah pribadi yang dibungkus dengan alasan “kepentingan negara”.
Menulis di tanah Borneo bukan perkara aman. Tapi suara saya tidak akan saya bungkam. Karena suara saya adalah suara hutan, suara sungai, suara petani dan guru, suara anak-anak yang ingin sekolah, dan suara ibu-ibu yang menunggu janji-janji ditepati.
Saya sadar, tidak semua orang berani bersuara. Banyak yang diam karena takut. Tapi karena itulah saya menulis. Untuk mereka. Untuk suara-suara yang tak terdengar. Untuk keresahan yang terlalu lama dipendam. Untuk keadilan yang terlalu sering dilupakan.
Menjadi seorang penulis, jurnalis, atau pewarta bukanlah pekerjaan yang ringan. Bagi sebagian orang, menulis mungkin tampak sederhana sekadar merangkai kata demi kata, menumpahkan gagasan, lalu mengunggahnya ke publik. Tapi bagi saya yang menjadikan tulisan sebagai bentuk perlawanan, sebagai cermin keresahan, dan sebagai doa dalam senyap, menulis bukan sekadar pekerjaan ia adalah panggilan yang penuh risiko dan kerasulan.
Menulis bagi saya bukan soal sensasi. Ini adalah kontemplasi. Sebuah keheningan batin yang sering kali lebih kuat daripada orasi. Setiap kali saya menulis, saya berdoa. Saya menimbang. Saya mencari kebenaran di antara kata. Tapi tetap saja, tak jarang saya ditegur, diintimidasi, bahkan diteror. Kadang hanya karena salah satu kalimat yang dianggap “keseleo”salah bicara sedikit, langsung dianggap melawan. Kadang hanya karena mengomentari jalan rusak, saya bisa menerima ancaman. Apa itu adil? Tidak. Tapi itulah kenyataan yang harus saya hadapi sebagai orang yang memilih jalan sunyi: menulis dari kebenaran hati.
Saya tahu, tidak semua orang akan mengerti niat tulus saya. Tapi di negeri yang masih sensitif akan perbedaan, kejujuran kadang dibalas kebencian. Saya, sebagai seorang Katolik, pengikut Yesus Kristus, tahu betul bagaimana rasanya ditekan karena identitas. Sekali saya menyuarakan keresahan yang menyinggung pihak tertentu, saya sudah dianggap salah total. Diancam dilaporkan, diintimidasi.
Tapi saya tidak akan berhenti. Karena saya percaya, hidup dan mati adalah untuk Kristus. Saya tahu bahwa jika saya mengetahui suatu hal kebenaran yang sesungguhnya maka saya punya tanggung jawab untuk menyampaikannya. Diam berarti ikut bersalah. Menutup mata berarti mengingkari iman. Iman saya tidak mengajarkan untuk tunduk kepada ketakutan, tetapi untuk bersaksi, walau harus dibayar mahal.
Ada kalanya saya merasa sendiri. Tapi dalam keheningan, saya sadar, suara saya adalah suara dari banyak orang yang tidak bisa berbicara. Mereka yang tidak punya akses, mereka yang takut, mereka yang hanya bisa mengeluh di dalam hati. Menulis bagi saya adalah menjadi juru bicara bagi mereka. Meski kecil, meski lirih, suara itu harus tetap terdengar.
Banyak penulis, jurnalis, dan aktivis di negeri ini yang mengalami nasib serupa. Mereka dikriminalisasi karena tulisan. Dituduh menyebar kebencian hanya karena mengungkapkan fakta. Mereka diancam, diteror, bahkan ditangkap. Lalu siapa yang akan menyuarakan suara rakyat jika semua pewarta dibungkam?
Menjadi penulis adalah menjadi saksi. Saksi atas ketidakadilan. Saksi atas janji-janji kosong. Saksi atas suara rakyat yang terlupakan. Maka dari itu, setiap kali saya mengangkat pena, saya sadar bahwa saya sedang bertarung. Tapi saya juga sadar bahwa saya tidak sendiri karena ada Tuhan yang menyertai. Selama itu pula, saya akan terus menulis. Untuk rakyat. Untuk keadilan. Untuk Kristus.
Jalan Sunyi Seorang Rasul Zaman Ini
Menjadi pewarta tidak selalu berarti harus berdiri di mimbar atau berkotbah di altar. Pewartaan adalah bagian dari kerasulan, dan jalan kerasulan bisa bermacam-macam termasuk melalui tulisan.
Menulis adalah bentuk pewartaan yang sering kali sunyi, tapi sangat dalam. Saat seseorang menuangkan kebenaran, menyuarakan suara hati, membela yang lemah, menyampaikan sabda Tuhan lewat kata-kata di sanalah pewartaan Injil hidup dan bekerja.
Sebagaimana Yesus sendiri menyampaikan sabda-Nya dengan kisah, dengan perumpamaan, dengan pernyataan kasih dan kebenaran, begitu pula seorang penulis terutama penulis beriman dipanggil untuk menghadirkan terang Kristus lewat setiap kalimat yang ditulisnya. Dalam tulisan itu ada roh. Dalam tulisan itu ada pewartaan.
Maka menulis bukan hanya soal keterampilan, tapi soal panggilan. Menulis adalah bagian dari kerasulan, bagian dari misi untuk mewartakan keselamatan, memberi harapan, menegakkan keadilan, dan menyampaikan bahwa Tuhan hadir di tengah dunia ini dalam suka dan duka manusia.
Sebagaimana tertulis: “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil!” (1 Korintus 9:16)
Sebagai penulis yang hidup dalam sunyi belantara, saya menyadari bahwa saya tidak sendiri dalam kegelisahan. Banyak di antara kita umat Katolik, orang-orang beriman yang memendam keresahan atas kondisi bangsa, atas ketidakadilan sosial, atas arah yang sering kali menyimpang dari kebenaran.
Saat ini saya sedang mengelola sebuah media dalam segala keterbatasan. Saya percaya: Tuhan bekerja dalam keheningan. Menulis bagi saya adalah bentuk kontemplasi. Dalam sunyi dan doa, saya menyampaikan suara hati. Bagi saya, menulis adalah salah satu bentuk pewartaan zaman ini.
Agustina (penulis, tinggal di Pontianak, Kalbar)







Kak Agustina,
Membaca karya tulis kak Agustina, saya jadi ingat Sabda-Nya, “Kamu adalah terang dunia…. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang”
Tulisan kak Agustina menginspirasi saya sebagai pewarta dan katekis untuk tetap menulis walau bukan tentang kondisi ketidak-adilan di negeri ini. Tetapi refleksi saya pribadi tentang bacaan Injil Harian, dan masih dalam lingkup komunitas di paroki kami, Paroki Keluarga Kudus Banteng, Yogyakarta. dan di IG.
Tetap semangat untuk selalu menulis menyuarakan kebenaran…
Rahmat kasih Allah selalu melimpahi kak Agsutina
(Alex Purno Murdoko – Katekis Gereja Keluarga Kudus Banteng, Yogyakarta)