Kami menggambarkan suatu kenyataan yang menyedihkan dan ironis: masyarakat Papua, yang hidup di wilayah dengan kekayaan alam luar biasa — emas, tembaga, gas alam, minyak bumi, hutan tropis, laut yang kaya biota — justru hidup dalam kondisi kemiskinan, keterbatasan, dan marginalisasi. Di balik gunung-gunung emas dan hutan hijau yang rimbun, tersembunyi wajah-wajah anak bangsa yang masih terpinggirkan dari arus utama pembangunan.
Kekayaan alam Papua telah menjadi magnet bagi eksploitasi besar-besaran oleh berbagai pihak, baik nasional maupun internasional. Namun, hasil dari kekayaan tersebut tidak secara proporsional dinikmati oleh masyarakat asli Papua. Mereka seringkali hanya menjadi penonton atas pemanfaatan sumber daya yang ada di tanah leluhurnya sendiri.
Kemiskinan yang dimaksud bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga kemiskinan dalam akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan pembangunan. Ketimpangan ini memperlihatkan adanya ketidakadilan struktural dan kebijakan yang belum berpihak secara nyata kepada masyarakat Papua.
Analisis Kontekstual
- Aspek Ekonomi: Sumber daya seperti tambang tembaga dan emas di Grasberg, ladang gas dan minyak di Teluk Bintuni, serta potensi kehutanan dan kelautan belum sepenuhnya dikelola untuk kesejahteraan rakyat Papua.
- Aspek Sosial: Ketimpangan sosial terlihat dalam angka kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, dan akses pelayanan dasar yang jauh tertinggal dibanding daerah lain di Indonesia.
- Aspek Politik dan Struktural: Kebijakan otonomi khusus belum mampu mengangkat harkat dan martabat hidup orang asli Papua secara menyeluruh. Sebaliknya, sering kali mereka merasa dijauhkan dari hak atas tanah, budaya, dan penentuan nasib sendiri.
- Aspek Moral dan Keadilan: Kalimat ini menuntut kepekaan nurani nasional bahwa kesejahteraan rakyat asli Papua bukanlah sebuah “pemberian”, melainkan hak asasi yang harus ditegakkan secara adil, bermartabat, dan manusiawi.
Kesimpulan
Kalimat tersebut mencerminkan paradoks antara kekayaan sumber daya dan kemiskinan manusia. Ini menjadi seruan moral, sosial, dan politik agar bangsa ini memperlakukan Papua bukan sebagai ladang eksploitasi, tetapi sebagai tanah kehidupan yang mesti dimuliakan. Orang Papua tidak boleh lagi miskin di atas tanah yang kaya raya. Mereka berhak menjadi tuan di tanah sendiri, menikmati kekayaan yang diwariskan alam dan leluhur, serta membangun masa depan yang sejahtera, bermartabat, dan berkeadilan.
Pastor Lewi Ibori, OSA





