“Orang Papua miskin di atas hasil alamnya yang kaya raya.” Kalimat ini bukan sekadar pernyataan, melainkan jeritan hati, keluhan sejarah, dan cermin ketimpangan yang telah lama dibiarkan. Di tanah yang dikelilingi oleh tambang emas, hutan yang subur, dan laut yang kaya biota, hidup manusia yang justru terkungkung dalam kemiskinan dan keterbatasan.
- Ironi Kekayaan dan Kemiskinan
Tanah Papua adalah surga dunia. Alamnya menyimpan kekayaan luar biasa: tambang tembaga dan emas terbesar di dunia, kekayaan migas, hutan tropis yang menyimpan cadangan karbon dan kayu berkualitas tinggi, serta wilayah laut dengan keanekaragaman hayati terpadat di dunia. Namun, yang menyakitkan, di atas tanah yang kaya ini, orang Papua justru hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan.
Data statistik menunjukkan bahwa provinsi-provinsi di Tanah Papua masih menempati peringkat bawah dalam hal indeks pembangunan manusia, angka kemiskinan, dan akses pendidikan dan kesehatan. Sumber daya alam dieksploitasi secara masif, tetapi hasilnya lebih banyak mengalir ke luar Papua, menyisakan jejak-jejak kerusakan lingkungan dan luka sosial yang dalam.
- Ketimpangan Struktural yang Membekas
Kemiskinan orang Papua bukan karena mereka tidak mampu bekerja atau tidak punya sumber daya, melainkan karena ada struktur yang membelenggu mereka. Sistem politik dan ekonomi nasional belum sepenuhnya berpihak pada penguatan kapasitas masyarakat adat. Otonomi khusus yang diberlakukan sejak tahun 2001 pun masih belum sepenuhnya menjawab kerinduan mereka akan kemandirian, martabat, dan keadilan.
Sementara tanah digali, hutan ditebang, dan laut dikeruk, masyarakat adat kadang hanya menjadi penonton atas kekayaan yang mereka warisi dari leluhur. Mereka tidak dilibatkan secara bermakna dalam pengambilan keputusan. Partisipasi yang sejati masih menjadi harapan, bukan kenyataan.
- Luka Sosial dan Ketidakadilan Historis
Refleksi ini tidak dapat dilepaskan dari luka sosial dan sejarah panjang penjajahan, diskriminasi, dan marginalisasi. Orang Papua telah lama merasa dijauhkan dari pusat kuasa dan dari hak-hak dasar mereka sebagai warga negara. Mereka sering dipandang sebagai “yang lain”, bukan sebagai bagian utuh dari Indonesia yang setara dan sejajar. Banyak anak muda Papua yang tumbuh dengan kemarahan, kehilangan kepercayaan pada negara, dan terjerumus dalam lingkar kekerasan atau frustrasi sosial.
- Seruan Moral dan Tanggung Jawab Bangsa
Sebagai bangsa yang menjunjung nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan persaudaraan, kita tidak boleh diam melihat saudara-saudari kita di Papua hidup dalam ketertinggalan. Kekayaan alam Papua harus dikelola dengan adil, transparan, dan berpihak pada masyarakat lokal. Pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur harus menjadi prioritas. Namun lebih dari itu, pengakuan atas identitas, budaya, dan hak masyarakat adat harus menjadi dasar pembangunan Papua.
Gereja, negara, dan seluruh masyarakat Indonesia memiliki tanggung jawab etis dan spiritual untuk memperjuangkan keadilan bagi Papua. Orang Papua bukan objek pembangunan, tetapi subjek utama dari kemanusiaan yang utuh. Mereka bukan hanya warga negara, tetapi juga saudara sebangsa dan setanah air.
- Harapan akan Pembaruan
Refleksi ini bukan sekadar kritik, tetapi juga seruan untuk pembaruan. Kita percaya bahwa luka sejarah dapat disembuhkan, ketimpangan dapat dipulihkan, dan keadilan bisa ditegakkan asal ada kemauan politik, kepekaan sosial, dan semangat solidaritas.
Papua adalah bagian dari tubuh bangsa. Jika satu anggota tubuh menderita, maka seluruh tubuh harus turut merasakannya. Maka, biarlah refleksi ini menjadi doa sekaligus komitmen: bahwa tidak boleh ada lagi orang Papua yang miskin di atas tanah yang kaya raya. Mereka layak hidup sejahtera, bermartabat, dan dihormati di tanah leluhurnya sendiri.
Pastor Lewi Ibori, OSA





