Satu September 1950. Di Kota Padang, Sumatera Barat, yang panas dan lengang, berdiri sebuah mimpi: seminari menengah pertama di Sumatera. Digagas oleh para misionaris Kapusin yang nekat tapi penuh iman, tempat ini dibentuk sebagai kawah candradimuka calon-calon imam masa depan. Empat tahun kemudian, mimpinya pindah ke tanah dingin dan sejuk Pematangsiantar, Sumatera Utara—yang kini jadi “rumah” rohani bagi ribuan anak muda Batak dan non-Batak yang ingin jadi “pastor”.
Tahun 2025 ini, Seminari Menengah “Christus Sacerdos”, Pematangsiantar, genap berusia 75 tahun. Sebuah angka yang keramat dalam budaya Batak—umur di mana orang layak disebut “opung”, bijak dan penuh pengalaman. Usia yang matang, seharusnya seperti anggur—semakin tua, semakin berkelas. Tapi benarkah begitu? Seperti halnya orang tua yang mulai rentan ditanya, Seminari Pematangsiantar juga mulai dicecar pertanyaan klasik: Quo Vadis? Ke mana engkau hendak pergi? Mau terus jadi “museum” yang mengagungkan masa lalu, atau berani berubah menjadi laboratorium imam masa depan?
“Menjadi Imam, Siapa Takut?” Kalimat itu dulunya heroik. Dulu terasa membakar semangat anak-anak muda yang sedang bimbang antara jadi pastor atau dokter. Di era 80-an atau 90-an, slogan ini bisa bikin calon seminaris angkat tas dan pergi ke Siantar tanpa pamit.
Tapi, sekarang? “Gak eye catching slogannya!” kata seorang alumni gen Z sambil nyengir. “Kalau bisa, diganti lah jadi ‘Jadi Imam, Biar Keren!’ atau ‘Masa Depan Gereja? Gue Banget!’” tambahnya sambil membuka Instagram yang penuh reels dan podcast motivasi.
Tapi benarkah cuma slogan yang harus diganti? Atau jangan-jangan, kita memang harus refleksi ulang apa sebenarnya yang membuat seseorang masih layak dan bangga jadi seminaris di zaman sekarang?
Statistik yang Menggugah
Dari tahun 1950 hingga 2025 (sumber data dari Seminari Siantar, 2025), total ada 6.520 siswa yang pernah menginjakkan kaki di Seminari Menengah Padang dan Pematangsiantar. Dari angka itu, sebanyak 196 orang ditahbiskan menjadi imam, dan 6 orang menjadi uskup. Kemudian sebanyak 279 orang masih dalam masa formasi, menjadi frater; dan sisanya, sekitar 5.500 orang, memilih jalur hidup sebagai awam.
Angka itu tidak kecil. Namun, ketika kita mulai hitung-hitungan persentase, rasio yang ditahbiskan dibanding total siswa hanya sekitar 3%. Lalu muncul pertanyaan sinis (tapi valid): Apakah seminari ini pabrik imam, atau sekolah karakter untuk siapa saja?

Realitas zaman ini makin blur. “Imam swasta” alias kaum awam yang hidup seperti rohaniwan sekarang makin banyak. Mereka jadi prodiakon, ketua lingkungan, pemimpin doa, bahkan pengkhotbah handal. Kalau ukurannya adalah doa, spiritualitas, atau pelayanan, banyak umat biasa yang lebih unggul dibanding “imam resmi”.
Seorang ibu di Paroki A berkata, “Kalau soal misa harian, anak saya yang masih SMA aja ikut misa tiap pagi. Belum tentu seminaris sekarang segitu rajinnya!” Di sisi lain, ada mantan seminaris yang kini jadi guru agama Katolik, pengacara publik, bahkan konten kreator Katolik di TikTok. Mereka tidak berakhir jadi imam, tapi kontribusinya untuk Gereja tak kalah besar.
Jadi, kita kembali ke pertanyaan utama: Apa kualitas unggul seorang seminaris zaman sekarang yang membedakan mereka dari siswa lain non-seminaris? Bukan sekadar pintar, taat, atau saleh, melainkan apa yang bikin kamu layak memakai jubah itu kelak?
Formasi: Masih Relevankah?
Seminari bukan sekadar sekolah, tapi tempat formasi total: pikiran, perasaan, spiritualitas, tubuh, dan karakter. Tapi formasi macam apa yang dibutuhkan di era Gen Z ini? Apakah seminaris bisa berdialog dengan era digital? Apakah mereka peka terhadap isu sosial, lingkungan, dan politik? Apakah mereka bisa menjawab tantangan dunia dengan bahasa zaman ini?
Seorang imam senior pernah berkata, “Imam itu bukan cuma orang kudus. Ia harus jadi pemimpin, pendengar, dan penafsir zaman.” Maka, kalau seminaris sekarang hanya dibentuk untuk tahu Katekismus dan doa-doa, tanpa kemampuan komunikasi digital atau empati sosial, jangan salahkan kalau nanti umat lebih memilih mendengar YouTuber Katolik daripada homili dari altar. Non multa, sed multum. Bukan banyak hal, tapi yang bermakna. Formasi tidak harus ribet, tapi harus mendalam.
Pesta 75 tahun ini jangan hanya jadi nostalgia: “Oh, dulu saya disuruh membersihkan kendang babi karena makan sarapan bersisa” atau “Zaman saya, jam 9 malam itu wajib membaca koran Kompas.” Itu penting sebagai memori, tapi kita perlu bertanya: Apa yang akan dilakukan seminari ini ke depan?

Quo Vadis, Seminari? Apakah masih akan fokus pada angka banyaknya calon imam, atau mulai menekankan kualitas iman, intelektual, dan kepemimpinan? Apakah akan tetap memakai metode lama, atau mulai membuka diri pada pendekatan formasi modern yang lebih personal dan adaptif?
Kita perlu berani bilang, seminari bukan tempat elite. Bukan juga penjara suci. Namun, rumah pembinaan manusia biasa yang ingin menjadi luar biasa, bukan karena pakai jubah, tapi karena integritasnya. Kita juga harus terbuka bahwa mungkin sekarang, seminari perlu rebranding. Bukan agar jadi “kekinian”, tapi agar tetap relevan. Relevan bukan berarti kompromi, tapi mengerti zaman dan menjawabnya dengan kebijaksanaan.
Kualitas Unggul Itu Bukan Pamer
Seorang seminaris muda pernah ditanya, “Apa yang membuatmu lebih dari siswa non-seminari?” Dia jawab dengan polos, “Saya gak tahu apakah saya lebih baik. Tapi saya sedang belajar taat, jujur, dan mencintai Gereja dalam sunyi. Mungkin itu bedanya.”
Jawaban itu menusuk. Di saat dunia penuh noise, seorang calon imam justru belajar diam. Di saat semua orang ingin viral, dia justru belajar tunduk dalam ketaatan. Itulah kualitas unggul, bukan popularitas, tapi konsistensi dalam jalan sunyi menuju panggilan. Fiat voluntas tua, jadilah kehendak-Mu. Bukan kehendakku. Itulah dasar panggilan.
Kamu mungkin belum tentu jadi imam. Mungkin nanti kamu akan keluar dan jadi guru, pejabat, pengusaha, atau penulis. Tapi satu hal yang tidak boleh hilang dari dirimu: mental Christus Sacerdos. Mental bahwa hidupmu bukan untuk dirimu sendiri. Bahwa kamu dipanggil untuk melayani, mencintai, dan menjadi suara Tuhan di dunia yang makin bising. Entah kamu berjubah atau tidak, formasi seminari harus membuatmu jadi pribadi yang berdampak.
Pesan untuk Seminari
Angka 75 tahun adalah kairos (waktu Tuhan). LXXV annis non est finis, sed initium novum, 75 tahun bukan akhir, tapi awal yang baru. Mari jangan hanya jadi tempat nostalgia, tapi terus menjadi tempat pembaruan. Di usia 75 tahun, seminari dipanggil untuk “bertolak ke tempat yang lebih dalam” (Luk 5:4). Bukan nostalgia tempora aurea (zaman keemasan) masa lalu, tapi berani menciptakan novum initium (permulaan baru).

Jangan takut membuka pintu perubahan, selama pintu itu membawa lebih banyak orang pada Kristus. Noli esse contentus! “Jangan puas” dengan status quo. Di era “imam swasta”, seminaris harus menjawab non scholae, sed vitae discimus. Kita belajar bukan untuk sekolah, tapi untuk hidup. Bukan cuma hafal dogma, tapi paham realita.
Ganti slogan? Mungkin perlu. Tapi lebih penting lagi, non nova, sed nove, bukan hal baru, tapi ganti dengan cara pandang yang baru. Bukan sekadar soal keberanian, tapi menjadi imam seperti apa? Jadilah spiritual influencer, artinya bukan cuma pendoa, tapi pembawa orang kepada Allah. Jadilah “penerjemah iman”, artinya bisa menjelaskan teologi ke anak muda yang skeptis. Jadilah “garam dunia”, artinya hadir di media sosial dan isu sosial tanpa kehilangan identitas.
Seminari bukanlah menara gading, tapi ladang Tuhan yang selalu butuh pekerja yang siap, rendah hati, dan peka. Seminari bukanlah sekadar statio (tempat pemberhentian), tapi juga via (jalan) pembentukan pemimpin rohani sejati. Karena menjadi imam bukan soal siapa yang paling religius, tapi siapa yang paling siap mencintai — bahkan ketika dunia tidak lagi peduli.
Selamat Jubileum! Ad multos annos! (Semoga berumur panjang!)

Febry Silaban, alumni Seminari Menengah Pematangsiantar, angkatan Probatorium 1999, kini tinggal di Paroki St. Laurentius, Alam Sutera, Serpong, Tangerang Selatan, Banten






