HIDUPKATOLIK.COM – Para jurnalis yang bekerja di dalam dan sekitar Takhta Suci telah menyuarakan keprihatinan yang mendalam setelah insiden meresahkan di Roma yang melibatkan koresponden Venezuela, Edgar Beltrán, yang meliput urusan Vatikan untuk situs berita The Pillar.
Seperti disiarkan aleteia.org., pada 17 Oktober 2025, dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Universitas Kepausan Lateran sehubungan dengan kanonisasi dua warga negara Venezuela, Beltrán diinterupsi saat wawancara dengan Uskup Agung Edgar Peña Parra (Pengganti Sekretariat Negara).
Kekacauan terjadi ketika seorang anggota delegasi pemerintah Venezuela, yang diidentifikasi sebagai Ricardo Cisneros, dilaporkan bertanya kepada jurnalis tersebut mengapa ia ingin membahas “politisasi yang tampak” dari kanonisasi tersebut. Pada saat itu, Cisneros diduga mendorong Beltrán secara fisik dan mengambil perekamnya.
Menanggapi hal tersebut, Asosiasi Jurnalis Internasional yang Terakreditasi untuk Vatikan (AIGAV) mengeluarkan pernyataan yang mengecam keras tindakan kekerasan tersebut, menyebutnya sebagai pelanggaran kebebasan pers yang tidak dapat diterima. “Kami mengutuk keras tindakan kekerasan ini terhadap seorang kolega yang hanya sedang menjalankan tugasnya,” kata AIGAV.
Sementara itu PietroParolin, Sekretaris Negara Takhta Suci, secara terbuka membahas konteks yang lebih luas dari ancaman terhadap kebebasan media, dengan menegaskan bahwa “kita semakin berisiko hidup dalam iklim intoleransi di mana kebebasan berekspresi tidak lagi diterima.”
Kardinal menanggapi berita yang banyak diberitakan tentang seorang jurnalis Italia, Sigfrido Ranucci, pembawa acara program Report, yang memiliki bom mobil yang tertinggal di rumahnya.
Dari perspektif gaya hidup Katolik, insiden ini mengundang refleksi tentang peran Gereja dalam menjunjung tinggi martabat, kebenaran, dan kebebasan berekspresi.
Katekismus Gereja Katolik menegaskan: “Martabat hakiki pribadi manusia harus dihormati dan dijunjung tinggi, selalu dan di mana pun.” (KGK 1931) Sejauh jurnalisme berupaya memberi kesaksian tentang kebenaran, tindakan yang menghalangi jurnalis di tempat kerja menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana lembaga dan komunitas melindungi panggilan ini.
Sejalan dengan nilai-nilai Katolik dan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang lebih luas, kasus ini menekankan perlunya ruang terbuka untuk penyelidikan, terutama ketika acara publik mempertemukan para pelaku gerejawi, diplomatik, dan media. Misi Gereja untuk memajukan keadilan, perdamaian, dan dialog terungkap tidak hanya dalam liturgi dan kanonisasi, tetapi juga dalam bagaimana Gereja memupuk percakapan yang terbuka dan penuh hormat—bahkan ketika muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak nyaman.
Meskipun Takhta Suci belum merilis pernyataan publik resmi terkait insiden ini, solidaritas yang ditunjukkan oleh AIGAV dan Kardinal Parolin menggarisbawahi keseriusan masalah ini. Hal ini juga mengingatkan para pembaca yang berpandangan Katolik maupun pengamat sekuler bahwa kebebasan melaporkan tetap menjadi dimensi vital Gereja yang dinamis dan masyarakat yang adil.
Di masa ketika polarisasi dan tekanan kelembagaan semakin besar, kesaksian Gereja dipertajam oleh bagaimana Gereja menjunjung tinggi komunikasi yang transparan, wacana yang penuh hormat, dan keselamatan mereka yang bertanya dengan itikad baik. Yang menggembirakan, dengan mengadvokasi kebebasan media dan martabat manusia, episode ini tidak hanya menjadi momen yang memprihatinkan tetapi juga dorongan untuk refleksi yang lebih mendalam tentang hubungan antara jurnalisme, iman, dan masyarakat. (fhs)






