web page hit counter
Jumat, 5 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

“Mengendus” Peran Kritis Etis Intelektual

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – Mencermati situasi belakangan ini, khususnya terkait dengan gelagak sejumlah orang yang “berlabel” intelektual, peneliti, atau “ahli” bergelar doktor, muncul dua pertanyaan mendasar berikut: Apa sesungguhnya peran esensial yang harus dimainkan oleh kaum intelektual/ilmuwan/peneliti di hadapan masyarakat? Apakah kekritisan kaum berpendidikan tinggi demikian boleh melampau batas nilai-nilai kemanusiaan alias menafikan prinsip etika, termasuk etika keilmuan?

Jawaban dua pertanyaan di atas nampaknya perlu dihadirkan sebagai upaya konsientisasi bangsa, meminjam istilah Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brasil seperti dituliskannya dalam The Phedagogy of the Opressed. Selain konsientisasi, kehadiran jawaban pertanyaan demikian dapat menghindari pembudayaan dan pembiasaan kesesatan berpikir atau fallacia dalam masyarakat  bahwa apa yang berulang-ulang dihadirkan di ruang publik dianggap sebagai sebuah keharusan, apalagi diakui  sebagai sebuah kebenaran mutlak.

Menjawab pertanyaan pertama tentang peran kaum intelektual dan cendekiawan,  gagasan dua pemikir, yakni Julien Benda dan Edward W Said dapat dijadikan sebagai rujukan yang sahih. Dalam bukunya La Trashison des Clercs (Penghianatan Kaum Cendikiawan, Gramedia: 2017) Julien Benda memberikan rambu-rambu etis sekaligus memuat esensi dan prinsip etis  keintelektualitasan seseorang.

Rambu-rambu Intelektualitas

Apa rambu-rambu itu?  Pertama, seorang intelektual berpegang teguh pada nalar atau rasionalitas, bukan pada dorongan emosi, apalagi pada naluri instingtual libinal. Artinya, dasar bergerak bagi seorang intelektual adalah pikiran yang jernih, bukan rasa kebencian yang akut. Karena itu pula argumen-argumen yang dibangun dilandasi oleh nalar yang benar. Implikasinya, sebelum dan dalam berbicara seorang intelektual memikirkan dengan matang apa yang akan disampaikannya, dan ia memilih diksi yang tepat lebih-lebih kalau itu hadir di ruang publik.

Secara lain dapat dikatakan, seorang intelektual sejati tidak asal berbicara, apalagi berbicara ngaur. Ia mengerti dan menjalankan etika dan tata krama berkomunikasi.

Kedua, seorang intelektual selalu mendasarkan diri pada objektivitas. Artinya apa? Dia menyampaikan premis-premisnya dengan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dari data yang valid dia membuat kesimpulan yang juga bisa diterima oleh akal sehat, karena memang sumbernya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan objektif. Jadi yang diungkapnya adalah kebenaran faktual dengan metode empiris ilmiah yang sebenarnya. Di sana ada falsifikasi dan ada verifikasi sebelum menyimpulkan, seperti ditegaskan oleh Karl Popper sebagai prosedur ilmiah yang benar.

Baca Juga:  Maria Bunda Penasihat Baik Resmi Jadi Pelindung

Ketiga, terkait butir kedua, seorang intelektual memikirkan dampak dari apa yang disampaikan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Julien Benda melihat justru kemampuan untuk mempertimbangkan dampak tindakan menjadi keunggulan  dari seorang intelektual sejati dibandingkan dengan mereka yang tidak menyandangnya. Yang ingin dikatakan oleh Benda memang sedikit berbau utilitarianistik, namun bersifat etis. Mengapa? Apa yang digagaskan oleh seorang intelektual bermanfaat dan berdampak positif bagi sebanyak mungkin orang, bukan sebaliknya. Jadi, kehadirannya bagi masyarakat bersifat afirmatif dan konstruktif, meneguhkan, bukan mengacaukan situasi sosial dan destruktif. Benda bahkan menegaskan bahwa seorang intelektual berguna bagi peradaban.

Keempat, terkait dengan butir pertama dan kedua, seorang intelektual menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Julien Benda, seorang intelektual seyogianya melepaskan diri dari kepentingan politik, sebaliknya berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Tentang hal ini Benda sangat tegas menyatakan melalui ungkapannya ”Manusia bukan kepunyaan bahasanya, atau rasanya, ia hanya kepunyaan dirinya sendiri, sebab ia makhluk yang bebas, artinya makhluk yang berakhlak dan menentukan dirinya. Ia bebas dari rasnya, bebas dari kepentingannya, lepas dari kehendak menjadi penyambung lidah kepentingan orang lain”. Kehadirannya justru untuk “mempercantik” kemanusiaan. Ini adalah tanggung jawab moral intelektual.

Julien Benda lebih lanjut menegaskan bahwa seorang intelektual sejati harus berani meninggalkan kepentingannya, menjaga jarak dengannya, namun memikirkan kepentingan di luar dirinya. Ketika ia menceburkan dirinya pada kepentingan politik, bahkan tidak bisa menjaga jarak dengan kepentingan itu, ia menjatuhkan dirinya pada fungsi yang paling rendah.  Tanda-tanda orang seperti ini adalah cenderung menjadikan dirinya sebagai ukuran, dan orang lain harus mengikuti ukuran itu. Padahal menurut Benda, seorang intelektual sejati justru perlu terbuka pada argumen rasional dari luar, menjauh dari sifat keangkuhan, dan berani menerima kritik dan masukan demi memperkuat kebenaran yang dicarinya. Ia tidaklah berpihak pada gairah, melainkan pada kesadaran dan nilai.

Fungsi Kritis Etis

Hakikat keintelektualan yang digagaskan oleh Julien Benda tidak jauh berbeda dari apa yang dipikirkan oleh Edward W Said. Memang penegasan Edward W Said lebih pada fungsi kritis dan etis seorang intelektual, yakni memegang prinsip  bahwa yang benar adalah benar, walau itu tidak sejalan dengan selera kekuasaan. Artinya, seorang berkualitas intelek ditandai dengan sikap kritis dan berani menjadi oposisi dalam arti berpihak pada kebenaran, namun sikap ini memiliki alasan rasional yang dapat dipertanggung jawabkan secara objektif dan memiliki dasar.

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Bagi Edward W Said, dosa yang paling besar dari seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan, tetapi menghindar demi pengabdiannya kepada pihak tertentu, yang mendukung kepentingannya. Seorang berkualitas intelek memiliki pengetahuan dan menempatkan diri sebagai orang bebas. Ia mengatakan kebenaran dan berpihak padanya.

Karena itu seorang intelektual sejati tidak menjual diri pada pihak manapun, selain berpihak pada kebenaran, nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai moral. Ia juga tidak mudah ikut arus, melainkan sebaliknya. Artinya, ia menghidupkan otonomi moralnya. Jadi, intelektual ditandai dengan sikap bukan loyal yang lurus, yang mengikuti ide kelompok tertentu secara membabi buta, bukan pula orang yang berpihak pada keyakinan tertentu, lebih-lebih menjadi penjilat.

Menurut Said, seorang intelektual sejati mengasingkan diri dari semua itu, dan berpihak pada prinsip etis dan nilai humanistik. Esensi keintelektualan ini dipaparkan oleh Edward W Said dalam bukunya berjudul Representation of the Intellectual  (1993), yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Peran Intelektual (1998).

Hakikat Intelektualitas

Dari gagasan Julien Benda dan Edward W Said di atas tergambar dengan jelas bahwa hakikat keintelektualan  seseorang terletak dalam tiga  hal berikut. Pertama, seorang intelektual sejati menyadari sungguh-sungguh kehadirannya sebagai pembawa pencerahan pada masyarakat, bukan sebaliknya membawa kekacauan dan membuat keonaran, apalagi sumber perpecahan masyarakat.

Memang bisa terjadi ada keterbelahan sosial, namun itu bukanlah tujuan dari seorang intelektual atau cendekiawan sejati. Kondisi demikian lebih merupakan per effectum (akibat tak sengaja), bukan sebagai per intentionem atau sasaran utama. Seandainya itupun ada, maka seorang intelektual sejati berusaha memikirkan solusinya sehingga ekses itu seminimal mungkin terjadi. Dengan kata lain, seorang intelektual sejati memiliki kemampuan yang disebut oleh John Mackey dalam bukunya Conscious Capitalism (2015) dengan istilah system intelligency quotient (SYQ). Sebelum bertindak ia berpikir, termasuk memikirkan dampak negatifnya serta mencari solusi agar dampak negatif itu tidak terjadi, dan kalaupun harus terjadi,  itu diminimalkan.

Kedua, seorang intelektual sejati berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, bahkan perjuangan utamanya membela nilai-nilai humanistik itu. Ketika nilai-nilai itu dilihatnya teringkari, maka ia bergerak. Namun perjuangan nilai-nilai itu tidak dengan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan orang lain. Secara lain dapat dikatakan seorang intelektual atau ilmuwan sejati tidak melakukan apa yang dalam Bahasa Latin disebut dengan contradictio in terminis, artinya sesuatu cara perbuatan yang bertentangan dengan tujuannya. Jadi, seorang intelektual sejati memikirkan keselarasan tujuan dan cara yang dijalankan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itulah ia membangun argumentum ad rem, dalam arti menyasar masalah atau isu, bukan argumentum ad hominem, dalam arti menyerang pribadi orang, apalagi mematikan nilai-nilai kemanusiaan seseorang.

Baca Juga:  Bekas Mobil Paus Fransiskus Jadi Klinik Kesehatan Keliling di Gaza

Ketika seorang yang berlabel akademisi menyasar pribadi sebagai objeknya, lebih-lebih atas dasar kebencian, sesungguhnya dia sendiri sudah tidak berjalan sesuai dengan hakikat keintelektualannya. Lebih-lebih kalau hal itu dilakukan dengan interest tertentu dan berdasarkan pesanan tertentu. Secara lain dapat dikatakan, seorang intelektual dan akademisi sejati dapat membedakan mana yang baik dari mana yang buruk dari tindakannya dan mempertimbangkan dampak negatifnya bagi sisi kemanusiaan yang lain.

Jelaslah tujuan seorang intelektual bukan untuk menjatuhkan harga diri orang lain, melainkan mengangkat nilai kemanusiaan itu.

Karena itulah bagi seorang intelektual sejati pertimbangan rasional dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi batasan yang paling utama dalam menjalankan fungsinya sebagai intelektual. Di luar itu berarti yang bersangkutan mengingkari intelektualitasnya sendiri.

Ketiga, kebenaran yang diperjuangkan oleh intelektual sejati adalah kebenaran filosofis dan ontologis di samping kebenaran faktual  sebagaimana dipaparkan oleh F Budi Hardiman dalam bukunya berjudul Kebenaran dan Para Kritikusnya (2023). Kebenaran ontologis terkait dengan hal-hal yang mendasar di balik fakta yang ada. Artinya, selain berbasis data dan fakta dengan metodologi ilmiah yang sebenarnya, perlu pula pengakuan nilai-nilai mendasar di dalamnya. Pengungkapan makna yang sesungguhnya itulah tugas kaum intelektual.

Jadi, peran kritis seorang intelektual perlu diimbangi dengan peran etisnya. Dan peran kritis itu tidak saja mampu melihat kelemahan orang lain, melainkan berani juga mengakui kelebihan dan kebaikan yang dimiliki seseorang. Kemampuan melihat dan mengakui hal positif dari orang lain justru menjadi sikap etis seorang intelektual. Keseimbangan keduanya merupakan tanda pengakuan hakikat keintelektualan seseorang. Semoga.

Kasdin Sihotang, Dosen Filsafat Moral di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles