RD Yusuf Bilyarta Mangunwijaya

619
Romo YB Mangunwijaya bersama anak-anak Kali Code, Yogyakarta
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Tahun ini, genap 15 tahun Romo Mangun meninggal dunia. Gaya pastoral Romo Mangun, membela rakyat kecil menjadi warisan abadi yang akan selalu dikenang. Ia menciptakan dan mempopulerkan istilah belarasa untuk pastoralnya.

Meski telah tiada, sosok dan karya Romo Mangun akan selalu dikenang. Bagi Uskup Agung Emeritus Jakarta Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja SJ, Romo Mangun adalah pribadi yang selalu menanggapi situasi di sekitarnya. “Saat Gereja membutuhkan imam, ia masuk menjadi imam. Ketika orang miskin mendapat perlakuan tak adil, Romo Mangun selalu tampil berdiri di depan,” ungkapnya saat ditemui di Wisma Emmaus Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, Senin, 3/3.

Kardinal Julius mengenal Romo Mangun saat menempuh pendidikan di Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan, Jawa Tengah. Kala itu, kardinal kelahiran Muntilan, 20 Desember 1934 ini, menjadi adik kelas tiga tahun di bawah Romo Mangun.

“Romo Mangun itu seorang imam yang memiliki bakat lengkap, yaitu bakat intelektual, bakat manajemen, bakat persuasi. Ia pencinta seni dan pencinta kemanusiaan. Ia juga konsisten membela orang miskin dan tertindas,” tutur Kardinal Julius.

Kardinal Julius juga menyebut bahwa Romo Mangun bukan hanya seorang tokoh Gereja Katolik. “Ia juga tokoh nasional,” tegasnya. Romo Mangun, menurut Kardinal Julius, telah meletakkan dasar dialog antar agama dan mempelopori dialog yang melintasi sekat budaya, agama, dan etnis.

Seorang “nabi”
Lebih lanjut, Kardinal Julius yang pernah menggembalakan Keuskupan Agung Semarang (1983-1996) ini mengatakan, Romo Mangun memang diberi kebebasan oleh Keuskupan Agung Semarang untuk berkarya sesuai minat dan visi pastoralnya, salah satunya konsep Gereja Diaspora. “Konsep Gereja Diaspora yang dikemukakan Romo Mangun sangat relevan hingga kini dan banyak diterapkan di keuskupan-keuskupan,” papar Kadinal Julius.

Sementara Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo menilai, Romo Mangun adalah imam sekaligus “nabi” yang menyuarakan kehendak Tuhan. “Ia membedakan having religion dari being religious. Tidak hanya berbicara, tetapi juga melakukan tindakan simbolis sebagai wujud dari keberpihakan kepada korban ketidakadilan,” kata uskup kelahiran Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 9 Juli 1950 ini.

Semasa hidup, Romo Mangun dikenal sebagai “sahabat” kaum miskin, yang hidup serta jiwanya digerakkan oleh belarasa. Uskup Suharyo sering mendengar kata “belarasa” dari Romo Mangun.

“Pada waktu itu, kata belarasa masih sangat jarang dipakai. Dengan sering menggunakan kata itu, jelas sekali Romo Mangun seorang pembaharu dan jelas pula arah pembaruan yang ingin ia gulirkan. Saya harap semangat belarasa yang diwariskan Romo Mangun dapat dikenang Gereja, khususnya para calon imam,” tandas Mgr Suharyo.

Mgr Suharyo memiliki satu kenang-kenangan dari Romo Mangun. Lambang pelayanan Mgr Suharyo sebagai uskup dirancang oleh Romo Mangun. Ketika Romo Mangun wafat, Mgr Suharyo yang baru dua tahun menjadi Uskup Agung Semarang, memimpin Misa Requiem dan melepaspergikan jenazah Romo Mangun di pemakaman Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta.

Semangat imamat
Kesan lain diungkapkan Uskup Emeritus Ketapang Mgr Blasius Pujarahaja. Saat menempuh pendidikan di Seminari Menengah Mertoyudan, Mgr Blasius adalah adik kelas satu tahun di bawah Romo Mangun. Sebagai imam dioses Keuskupan Agung Semarang, Romo Mangun sering bertemu dan berdiskusi dengan Mgr Blasius yang kala itu berkarya sebagai Vikaris Episkopal DIY (1971-1978). Saat itu, Mgr Blasius kerap berdiskusi dengan Romo Mangun. “Ia pribadi yang visioner, memiliki banyak ide,” kata Mgr Blasius saat ditemui di Gamping, Yogyakarta, Jumat, 28/2.

Ide-ide Romo Mangun itu, tutur Mgr Blasius, kerap dituangkan dalam tulisan-tulisan di media massa. Mula-mula, karya yang dilakukan Romo Mangun ini menjadi hal baru di mata para imam lain dan hirarki. Namun, seiring berjalan waktu, bidang pewartaan Romo Mangun melalui media massa itu akhirnya diterima.

Mgr Blasius menilai bahwa Romo Mangun secara total menyerahkan diri untuk pelayanan bagi yang miskin dan lemah. Gaya pastoral Romo Mangun yang membela rakyat miskin sangat relevan diterapkan sekarang. “Komitmen membela orang miskin memang wajib dilakukan guna mengamalkan semangat Kristus. Hanya catatannya, harus tetap dekat dan di bawah bimbingan hirarki Gereja,” tegas Mgr Blasius.

Mgr Blasius menyampaikan harapan, agar calon imam dan imam saat ini bisa memiliki semangat iman yang sejati. “Menjadi imam yang bermutu, menyerupai Kristus dan berani melaksanakan semangat imamat secara konsisten di tengah masyarakat,” harapnya.

Sarana keselamatan
Hal senada diungkapkan Uskup Ketapang Mgr Pius Riana Prapdi. Bagi dia, gaya berpastoral Romo Mangun menjadi tanda sarana keselamatan. Banyak pihak menggunakan cara berpastoral untuk berjuang menanggapi tantangan zaman, terutama untuk membela rakyat miskin yang diperlakukan tidak adil.

Maka, menurut Mgr Pius, gaya berpastoral Romo Mangun tetap relevan untuk masa kini, tanpa perlu membuat pemisahan antara altar dan masyarakat. “Semua cara berpastoral adalah membela manusia dari belenggu dosa yang mewajah dalam rupa korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan,” tegasnya.

Menurut uskup kelahiran Painiai, Jayawijaya, Papua, 5 Mei 1967 ini, Romo Mangun memang “diutus” melayani masyarakat miskin. Perutusan itu sesuai dengan semangat Gereja, preferential option for the poor. “Cara yang dipilih Romo Mangun adalah hidup bersama mereka yang miskin, berpikir, dan bertindak bersama mereka,” kata Mgr Prapdi yang mengenal Romo Mangun pada 1985, saat menjadi seminaris tingkat dua di Seminari Menengah Mertoyudan. Romo Mangun telah menunjukkan Gereja yang hadir untuk ikut terlibat bersama masyarakat menata hidup yang lebih adil dan sejahtera.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here