Gagal Jadi Dokter, Malah Jadi Kardinal

1118
Kardinal Tagle bersama beberapa peserta Asian Youth Day 2017.
[HIDUP/Antonius E. Sugiyanto]
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Awalnya ingin menjadi dokter, Tagle tercebur dalam panggilan hidup selibat.

Setiap imam memiliki cerita sendiri saat mereka terpanggil untuk hidup selibat. Namun, pernahkah terbayangkan, seseorang menjadi imam setelah ia ditipu oleh romo di parokinya sendiri.

Sejak belia, Luis Antonio Gokim Tagle bercita-cita ingin menjadi dokter. Impian ini membuatnya sudah mulai membaca buku-buku kesehatan, sebagai persiapannya untuk suatu saat kuliah di jurusan kedokteran. Namun, apa yang terjadi di musim panas 1970, tidak akan pernah dilupakan Tagle.

Ketika itu, romo paroki yang tahu dan mengenal impian Tagle, meminta dia untuk ikut ujian masuk di Ateneo de Manila University, Filipina. Maka, datanglah Tagle ke Ateneo. Dalam benaknya masa depan sebagai seorang dokter sudah menanti.

Namun, apa yang dijumpai ternyata berlainan dengan apa yang dibayangkan sebelumnya. Bukan ujian masuk fakultas kedokteran yang dijumpai, namun tes untuk masuk ke seminari. Tagle terkejut. Sepulang ujian, Tagle pun mendatangi sang romo paroki. “Kamu menipuku, Romo,” kata Tagle kepada pastor parokinya.

Tentu saja ujiannya gagal, namun panggilan Tuhan memang misteri. Dari peristiwa itu, Tagle muda akhirnya mulai berpikir menapaki panggilan menjadi imam. Berulang kali dia mendatangi Rektor Seminari San Jose sampai akhirnya bisa diterima di seminari dan ditahbiskan menjadi imam Keuskupan Imus, Cavite, Filipina, 27 Februari 1982.

Teologi
Pada 22 Oktober 2001, Paus Yohanes Paulus II memilih Pastor Tagle sebagai Uskup Imus. Dua bulan kemudian, pada 12 Desember, Mgr Tagle ditahbiskan di sebuah katedral yang tak jauh dari rumah masa kecilnya.

Satu hari, saat baru beberapa bulan bertugas sebagai Uskup Imus, Mgr Tagle dijadwalkan memimpin Misa di sebuah paroki. Umat sudah cemas, sebab sang Uskup belum juga menampakkan batang hidungnya. Beberapa mobil berdatangan, namun tak ada satu pun yang membawa Mgr Tagle.

Umat semakin cemas, pun romo paroki yang sudah tak sabar. Tak ada satu pun yang menyadari, saat seseorang turun dari sebuah jeepney (angkutan umum di Filipina). Dengan langkah santai, sosok berbaju putih itu tiba-tiba saja masuk ke dalam komplek gereja. Semua terkejut, orang itulah yang mereka tunggu, Mgr Tagle yang baru beberapa bulan menjadi gembala utama di Imus.

Mgr Tagle memang terkenal karena kesederhanaannya. Meski sebagai seorang Uskup, ia tidak memiliki mobil pribadi dan senang menggunakan angkutan umum jeepney. Berkat kesederhanaan ini, saat akhirnya ia terpilih menjadi Kardinal, ia bahkan mendapat julukan “Fransiskus dari Asia”.

Pada sinode pertama dalam masa kepausan Paus Benediktus XVI, Mgr Tagle berbicara tentang kekurangan imam yang terjadi di Filipina. Ia melihat adanya kerinduan umat untuk mendapatkan pelayanan dari sang gembala. Ia membedakan antara pelayanan yang dilakukan imam dan awam. “Umat merindukan berkat dari imam dan Ekaristi dengan kerendahan hati.”

Sebelum menjadi Uskup, setelah ditahbiskan, Romo Tagle mulai aktif mengajar teologi di seminari-seminari tinggi, termasuk di almamaternya Loyola Schooll of Theology. Pada 1985-1992, Romo Tagle ditugaskan untuk memperdalam teologi di Catholic University of America, Washington, Amerika Serikat dan menyelesaikan disertasi doktoral di bawah bimbingan Pastor Joseph Kmoncek SJ.

Sepuluh tahun memimpin Imus, pada 13 Oktober 2011, Mgr Tagle diangkat menjadi Uskup Agung Manila oleh Paus Benediktus XVI. Namun, ia baru resmi mulai menduduki jabatan ini pada 12 Desember 2011. Setahun kemudian, Paus yang sama mengangkatnya masuk dalam jajaran Kardinal dalam konsistori pada 24 November 2012.

Bahkan sejak menjadi imam, Kardinal Tagle dikenal memiliki reputasi yang luas dalam perkembangan teologi. Saat masih menjadi imam, Paus Yohanes Paulus II menunjuk Kardinal Tagle untuk masuk dalam Komisi Teologi Internasional. Di pos ini, Romo Tagle melayani dari 1997 sampai 2002 di bawah pimpinan Kardinal Joseph Ratzinger.

Konflik Marawi
Belakangan, Filipina disorot dunia karena konflik yang terjadi di Marawi. Sebuah kota di selatan Filipina, di mana penduduknya mayoritas Muslim. Kardinal Tagle termasuk yang paling vokal menyuarakan perdamaian di wilayah konflik itu. “Namun demikian, ada usaha entah siapa yang membuat, bahwa konflik ini seolah-olah ingin ditampakkan sebagai konflik antara Islam dan Kristen,” katanya.

Masyarakat Filipina sebagian besar menaruh peduli pada kekerasan yang terjadi di Marawi. Kardinal Tagle melihat bahwa sebagian besar korban justru dari saudara-saudara Muslim. “Kita merasa sedih karena banyak keluarga pada akhirnya terkena dampak dari kekerasan yang terjadi di Marawi,” kata Kardinal Tagle.

Meski demikian, Kardinal Tagle melihat adanya harapan akan perdamaian. Ia mengakui, hanya ada sedikit orang Kristen di Marawi. Namun, ia juga mendengar, persaudaraan yang terbangun. “Antara umat Islam dan Kristen, mereka saling melindungi satu dengan yang lain.”

Kardinal Tagle melihat, rahmat bekerja dalam situasi kekerasan itu. Seperti misalnya usaha dari umat Islam juga tentara dan polisi, yang bersama melindungi saudara-saudara mereka umat Kristen. “Umat Kristen juga mengirimkan bantuan untuk saudara-saudara mereka.”

Multikultural Asia
Gereja Katolik Asia hidup di tengah budaya yang beragam. Indonesia sebagai salah satu negara dengan beragam budaya menjadi gambaran jelas untuk melihat Asia yang multikultur. Di sela-sela penyelenggaraan Asian Youth Day 2017 di Yogyakarta, Kardinal Tagle melihat, keanekaragaman budaya di Indonesia. Keragaman ini semakin jelas dengan adanya multireligius yang membentuk Indonesia. “Yang utama dalam usaha untuk dialog intereligius adalah peran dialog budaya dalam menyatukan setiap perbedaan,” ungkapnya.

Presiden Karitas Internasional ini menambahkan, yang mengesankan dari realitas kehidupan umat Kristiani di Indonesia adalah meski minoritas, namun umat Katolik menghidupi iman dengan sangat serius. “Hal ini juga terlihat dari bagaimana anak muda menghidupi imannya.”

Hal lain yang penting, lanjut Kardinal Tagle, adalah warisan dari para pendahulu, di mana Indonesia sebagai sebuah negara, masyarakatnya menaruh perhatian yang besar terhadap agama. “Di sini rakyat dapat hidup sesuai dengan kepercayaannya dan masih dapat hidup bersama.”

Hal ini menjadi hal penting yang dilihat Kardinal Tagle, ia memimpikan Indonesia yang kuat dan tetap rukun dalam keanekaragaman. “Menjadi impian kita semua, Indonesia dapat menjadi kuat, di mana rakyatnya semakin memperkuat persaudaraan antarsatu dengan yang lain, dapat hidup bersama dengan damai.”

Kardinal Luis Antonio Gokim Tagle
TTL : Manila, 21 Juni 1957
Orangtua : Stefanus Ten dan Yustina Barnur
Tahbisan imam : 27 Februari 1982
Tahbisan Uskup : 22 Oktober 2001

Pendidikan :
• St Andrew School Paranaque
• Loyola School of Theology
• Catholic University of America

Antonius E. Sugiyanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here