Suami Melarang Bekerja Meskipun Penghasilan Pas-pasan

3198
2.3/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh yang baik, saya seorang ibu rumah tangga, umur 31 tahun. Setelah melahirkan anak pertama sampai saat ini, kesibukan saya mengurus dua orang anak. Anak pertama, kelas tiga SD, sedangkan anak kedua di bangku TK.

Beberapa bulan lalu, saya mendapat tawaran kerja dengan prospek yang bagus di perusahaan komunikasi. Kami dibantu seorang asisten rumah tangga, namun suami saya melarang keras saya menerima tawaran itu. Alasannya, saya harus menjaga anak-anak di rumah. Padahal, selama ini penghasilan suami saya pas pasan dan kemungkinan tidak akan cukup untuk memenuhi biaya sekolah anak-anak kami nantinya.

Kini saya mengalami dilema menghadapi situasi ini. Sebenarnya saya ingin sekali bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Apa yang harus saya lakukan agar suami saya mengizinkan saya bekerja?

Stephanie, Bandung

Yang Terhormat Ibu Stephanie, masalah yang Ibu hadapi merupakan masalah yang dihadapi oleh para ibu yang menjalani peran ganda, sebagai ibu sekaligus bekerja untuk menopang kelangsungan hidup.

Ada beberapa alasan suami melarang istri bekerja. Antara lain: kekhawatiran pada perkembangan dan kondisi sehari-hari anak, jika tidak ada orangtua yang menjaga di rumah; keyakinan suami akan prinsip bahwa pencari nafkah utama adalah suami, juga kekhawatiran akan tersaingi posisi dan dominasinya bila istri bekerja, apalagi bila pendapatan istri lebih tinggi.

Ibu perlu mengetahui alasan jelas mengapa suami melarang Ibu bekerja, dan mendialogkan visi kelangsungan kehidupan keluarga. Konkretnya, banyak hal yang harus dirancang dan direntangkan dalam bentuk perencanaan. Dalam hal ini, tidak perlu detail tetapi lebih pada gambaran tentang kondisi jangka waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Pernyataan Ibu bahwa penghasilan suami saat ini tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan biaya sekolah anak-anak, sebenarnya sudah menunjukkan rancangan visioner tersebut. Menanggapi pertanyaan ibu, menurut saya, hal penting yang perlu ibu upayakan adalah melakukan dialog dan negosiasi dengan suami. Dialog bisa dimulai dari hal paling konkret, misalnya tentang kebutuhan biaya pendidikan anak, tentang target yang ingin dicapai dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Dalam kaitannya dengan itu, perlu diprediksi besaran anggaran yang dibutuhkan sesuai perencanaan tadi. Mengingat bahwa topik dialog ini mungkin cukup sensitif bagi suami, maka sebaiknya lakukan dialog ini dalam momentum waktu yang tepat. Dalam dialog, jagalah sikap respek, tidak menggurui, dan hindari dialog bernuansa mengeluh. Ibu tentu lebih tahu bagaimana melakukannya. Setelah dialog, lakukan negosiasi dengan mengemukakan usulan Ibu untuk berpartisipasi menambah penghasilan keluarga.

Dari negosiasi itu, setidaknya ada dua kemungkinan respon suami. Pertama, berjanji menambah penghasilan dan tetap melarang Ibu bekerja. Kedua,menyetujui Ibu bekerja. Respon kedua ini kadang tidak serta merta terjadi. Waktu, peristiwa, dan permenungan yang bergulir pasca dialog dan negosiasi, bisa secara langsung atau tidak langsung mendorong persetujuan suami. Bila respon pertama yang muncul, Ibu tidak perlu bersikap reaktif kecewa. Karena, dari pendalaman dialog, bisa muncul refleksi lebih jauh terkait dengan alasan mendasar dari larangan suami. Dari sini, Ibu nantinya akan bisa lebih memahami problem kontekstualnya. Dari pemahaman ini, nantinya juga akan disadari dan disepakati bersama hal-hal yang mungkin saat ini belum bisa dibayangkan dan diprediksi.

Hal yang penting untuk disadari adalah kenyataan bahwa “hukum kerumahtanggaan” yang mutlak, logis dan sistematis, sebagaimana yang ditulis dalam teori-teori kehidupan ideal berumah tangga, tidak selalu berlaku pada setiap pasangan suami istri. Setiap keluarga memiliki warna kehidupan dan konteks keharmonisan yang khas, yang tidak mesti sama dengan keluarga lainnya. Demikian, semoga bermanfaat.

H.M.E. Widiyatmadi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here