Saatnya Gereja Mencegah Korban

291
Pelayanan: Suasana pendampingan melalui Ekaristi kepada para korban di RPTC, Jakarta.
[Dok. Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau KWI]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Manusia diciptakan secitra Allah dan memiliki martabat yang tinggi. Gereja harus memperhatikan kantong-kantong umat sasaran perdagangan manusia.

Paus Fransiskus menetapkan tanggal 8 Februari sebagai hari anti human trafficking alias menentang perdagangan manusia. Dalam homilinya setelah doa Angelus hari Minggu, 8/2, yang bertepatan dengan peringatan Santa Josephine Bakhita, suster yang di masa kanak-kanak menjadi korban perbudakan yang diperjualbelikan, Bapa Suci menyerukan agar semua pihak memberantas perdagangan manusia. Korbannya adalah laki-laki, perempuan dan anak-anak. Mereka diperbudak, tenaganya diperas, menjadi alat kerja atau hiburan, bahkan sering mengalami penyiksaan. Bapa Suci menghimbau para pemimpin dunia untuk mengatasi penyebab “luka yang memalukan” itu.

Hal sama dilakukan oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Untuk memerangi perdagangan manusia, menurut Sekretaris Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau KWI, Romo Paulus C. Siswan toko, KWI secara konsep telah menyiapkan tiga langkah yaitu: Pertama,animasi dan sosialisasi dengan tujuan untuk menyadarkan umat, khususnya anak-anak muda tentang bahaya perdagangan manusia. Yang kedua, membuat forum advokasi hukum untuk memberikan bantuan hukum kepada para korban. Dan ketiga, memberikan pelayanan rohani, baik kepada tenaga kerja yang bekerja di negeri jiran, maupun korban perdagangan manusia.

Untuk di Jakarta, Romo Koko, begitu sapaannya, KWI juga ikut memberikan pelayanan bersama komunitas Jaringan Peduli Migran (JPM) ke Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Jakarta milik Kementerian Sosial.

Jaringan Kepedulian
Di RPTC banyak ditampung tenaga kerja Indonesia (TKI) atau tenaga kerja wanita (TKW) yang dideportasi dari Malaysia melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Di RPTC mereka menunggu untuk dipulangkan ke daerah asalnya. Untuk mengisi waktu pendampingan, JPM memberikan pelayanan rohani dengan mengadakan misa, ibadat, pengakuan dosa, dan berdialog dengan mereka.

Menurut Koordinator JPM Sr Tasiana Eny S. RGS, JPM telah memberikan pelayanan di RPTC sejak tahun 2008. Dilihat dari perkembangan jumlah yang dilayani, dari tahun 2008 sampai 2014, orang Katolik yang dilayani di penampungan itu pernah hanya delapan orang, tapi pernah pula sampai 100 orang lebih. Pada pertengahan 2014, jumlahnya bahkan mencapai 120-an orang. Sebagian besar korban perdagangan manusia yang dilayani itu berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). “Jadi tiap tahunnya mengalami kenaikan,” ujarnya saat ditemui di Susteran RGS Jatinegara, Jakarta, Rabu, 25/2.

Setelah ibadat atau misa, JPM biasanya mengadakan dialog, sharing, penguatan spiritual, pendampingan psikologi dan pemberian motivasi. Mereka juga memberikan pelajaran ketrampilan seperti memasak, membuat rosario, bunga, gelang, kalung atau ketrampilan barang daur ulang.

JPM adalah komunitas jaringan para religius yang memiliki kepedulian kepada gerakan anti perdagangan manusia. Saat ini, menurut Sr Ana, ada kurang lebih 10 kongregasi yang terlibat. “Anggotanya sebagian besar adalah perwakilan Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) masing-masing kongregasi,” ujar Sr Ana.

Pelayanan Total
Kadang JPM atau para anggotanya secara pribadi atau perwakilan JPIC diminta bantuan menemani para korban pulang ke tempat asal. Mereka naik kapal menempuh waktu empat sampai lima hari. Bahkan ada pula yang diantar pulang sampai rumah mereka. Hal ini juga dilakukan oleh Rumah Harapan Jakarta yang dikelola oleh para suster Fransiskus Misionaris Maria (FMM).

Menurut Koordinator Pengelola Rumah Harapan Sr Emerensiana Lim FMM, ia pernah mengantar korban perdagangan manusia, sebut saja namanya Bunga, ke rumahnya yang ada di ujung pelosok. Saking pelosoknya di pegunungan, bahkan orang Kupang pun tak tahu di mana daerah itu. Karena susah mencapai kampung halaman Bunga, Sr Rensi, panggilannya, bekerjasama dengan Pater Pieter Bataona SVD. “Akhirnya Pater Pieter yang mengantar Bunga sampai ke rumah,” ungkap Sr Rensi saat diwawancara di Susteran FMM, Slipi, Jakarta pada Rabu, 25/2.

Sr Rensi waktu itu memang tidak bisa mengantar Bunga sampai rumah karena keterbatasan tenaga dan waktu. Namun, selama empat bulan, Sr Rensi merawat Bunga. Ketika dikirim dari RPTC, katanya, Bunga dalam kondisi lupa ingatan.

Pertama kali ditemui Sr Rensi, Bunga tak mau memberikan nama aslinya. Ia selalu menyebut nama samarannya di Malaysia. Setelah ditanya terus, wanita yang berusia 30 tahun dan sudah 10 tahun di negeri jiran ini lama-lama sadar. Minggu terakhir sebelum dipulangkan, ia mengaku sering dipukul di dalam penjara Malaysia atau sering disebut lokap. Di lokap itu, ia juga ditelanjangi. Setiap makan, petugas memberinya obat. Katanya, untuk menyembuhkan luka dan pusing-pusing akibat dipukul. Ternyata, obat itu dirasakannya malah membuat linglung.

Sewaktu dirawat, Bunga pun setiap hari ganti nomor kontak keluarganya. Itu yang menyulitkan Sr Rensi menelusuri keluarganya. Malah, Bunga mati-matian mengaku bahwa orang yang dikontak Sr Rensi adalah kakak satu-satunya. Ketika ditelusuri, keterangan orang itu selalu berubah-ubah. Anehnya orang itu malah memaksa Sr Rensi untuk segera mengirim Bunga pulang dan berjanji siap menjemput di Bandara Kupang.

Karena tak jelas, Sr Rensi tidak percaya bahwa orang itu adalah anggota keluarga Bunga. Apalagi orang itu mengancamnya. “Kami tidak peduli mau suster atau pastor, kami tidak takut,” ujar orang itu seperti disitir Sr Rensi. Orang itu pun mengirimkan SMS ancaman “Suster tidak takut mati?” lalu dijawab oleh Sr Rensi, “Saya tidak takut mati, demi untuk melindungi yang lemah.”

Demi orang lemah, Sr Rensi memang tidak takut. Ia bahkan pernah menelepon perekrut di daerah untuk berhenti melakukan aksinya. “Berhentilah kamu untuk menawarkan janji-janji dengan menjual saudara kamu sendiri,” ujarnya. Perekrut ini menjawab, mereka tidak tahu jika keadaan orang yang mereka rekrut nasibnya celaka. Yang mereka tahu, para pekerja akan dicarikan pekerjaan sesuai kemampuan mereka. Motif para perekrut adalah ingin menolong orang keluar dari masalah ekonomi. Sekali rekrut, mereka bisa mendapat uang jutaan. “Satu orang, upahnya bisa sampai dua setengah juta rupiah,” ujar Sr Rensi.

Butuh Perhatian Serius
Saat Perayaan Pentaskosta tahun lalu, Romo Koko terheran-heran ketika memimpin Misa di Paroki Ponggeok, Desa Papang, Keuskupan Ruteng. Di tempat itu, umat yang mengikuti Misa 90 persennya adalah perempuan dan anak-anak. Ketika ia bertanya, salah seorang umat menjawab: “Mereka pergi dan bertahun-tahun tak ada kabar”. Padahal tanah di daerah itu subur. Tanaman padi, kopi, jeruk, pisang, dll., terlihat hijau menghampar. Demikian kisah Romo Koko sewaktu mengadakan kunjungan animasi gerakan anti perdagangan manusia di Keuskupan Ruteng.

Selain itu, KWI pernah memfasilitasi pertemuan antara keuskupan-keuskupan asal TKI-TKW yaitu Ende, Maumere, Larantuka, dan Ruteng dengan keuskupan tujuan yakni Sandakan dan Kinabalu, Malaysia, sekitar tahun 2013. Berkat pertemuan itu, disepakati bahwa keuskupan asal akan mengirim imam untuk memberikan pelayanan. Selain itu, keuskupan tujuan juga meminta agar para pekerja diarahkan untuk membawa surat baptis agar mereka tidak gampang untuk menikah lagi.

Romo Koko melihat bahwa para TKI-TKW yang lemah ini ladang subur bagi perdagangan manusia. Namun ia juga tak menutup mata, bahwa ada beberapa TKI-TKW yang berhasil. Ia mensinyalir bahwa orang-orang yang paling rentan menjadi korban perdagangan manusia adalah anak-anak SMP atau SMA yang ingin melanjutkan studi namun tak punya uang. Mereka bisa dengan mudah menerima tawaran dari para agen.

Menilik pandangan gereja, Romo Koko menegaskan bahwa perdagangan manusia merupakan sebuah kejahatan, karena di situ ada perendahan martabat manusia. Manusia yang merupakan citra Allah direduksi menjadi barang dagangan. Hal ini merupakan dosa berat.

Di akhir wawancara dengan HIDUP, Senin, 16/2, Romo Koko melihat belum semua Gereja memiliki perhatian serius akan masalah ini. Oleh karena itu, ia berharap agar Gereja yang menjadi kantong-kantong TKI-TKW memberi perhatian lebih serius lagi. Romo Koko selalu terinspirasi ajakan Paus Fransiskus,“Saya lebih suka melihat Gereja yang memar, kotor karena pergi ke jalan-jalan menemukan kebodohan dan kemiskinan,” sitirnya.

A. Nendro Saputro

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here