Selaras dengan Gereja

955
Fra’ Elia di Katedral St. Francis Xavier, South Australia.
[thesoutherncross.org.au]
3.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Para penerima stigmata menderita. Tidak hanya fisik tetapi psikis karena diragukan. Fra Elia hadir di Jakarta. Apa pentingnya?

Fra Elia degli Apostoli di Dio, Saudara Elia dari Komunitas Para Rasul Tuhan, adalah seorang penerima stigmata, luka-luka yang menyerupai luka-luka Yesus. Ia bukan imam, bukan biarawan, melainkan awam. Karunia ini memasukkannya dalam penderitaan yang ia terima dengan iman. Bahkan, ia percaya Tuhan punya maksud atas penderitaannya.

St Fransiskus Assisi dan Padre Pio dari Pietrelcina juga menerima stigmata. Dua Santo ini menderita secara fisik karena luka-luka itu. Mereka pun tak lepas dari penderitaan psikis karena diragukan, dinilai mengambil untung, dan dijadikan obyek penyelidikan berkali-kali. Ada beberapa dokumen yang amat kasar menyerang Padre Pio secara pribadi. Lalu, Bapa Suci Yohanes Paulus II mengembalikan nama baiknya karena banyak umat yang menghomatinya mengalami pertobatan.

Pertanyaannya, apa pentingnya mengundang Fra Elia? Apa yang diharapkan darinya? Bagaimana karunia khas ini ditempatkan dalam keseluruhan iman Gereja? Apakah ia bisa ikut membangun iman umat? Tak mudah menjawabnya. Bisa jadi justru muncul kontroversi. Ada yang pro dan kontra; mendukung dan memberi catatan kritis serta keberatan; melihat kesalehan umat, pun mencibirnya.

Secara manusiawi, Fra Elia punya keterbatasan. Ia sama seperti kita, rentan terhadap kelemahan. Jika membaca buku-buku tentangnya, kerap muncul ungkapan yang mengundang diskusi. Dengan rendah hati, ia menyatakan siap didampingi agar selalu berada dalam naungan Gereja, selaras dengan ajaran dan tradisi Katolik.

Kunjungan Fra Elia di Jakarta terinspirasi oleh apa yang dilakukan Uskup Terni-Narni-Amelia, Italia, Mgr Vincenzo Paglia (2000-2012). Ia mencermati semua yang terjadi dan dilakukan Fra Elia. Dengan hati-hati, ia menugaskan Don Marco Belardinelli, imam Diosesan Terni, sebagai pembimbing rohani bagi Fra Elia dan komunitasnya. Don Marco merayakan Misa bagi komunitas Fra Elia, merefleksi kan secara teologis karya-karyanya, tak membiarkannya berkarya sendiri, dan membuat aneka pertemuan doa.

Saat Fra Elia hadir di Jakarta, umat akan cenderung terpana pada pesona stigmata. Yang dilakukan Mgr Paglia perlu dijadikan pegangan dan pelajaran. Daripada berfokus pada stigmata yang langka dan khas, apalagi masih diselimuti kontroversi, marilah kita lihat umat yang sebenarnya mengimani Yesus. Mereka bersemangat mencari cara-cara mendekatkan diri pada Tuhan. Kesalehan umat sering mendapatkan ungkapan afektifnya, dengan kesederhanaan rumusan teologis. Kehadiran Fra Elia mestinya menjadi perbincangan iman yang terarah pada Yesus, ditempatkan dalam ajaran utama Gereja. Dialah saksi penderitaan Yesus. Dalam penderitaan, ia tak patah semangat, tapi tekun mengandalkan Yesus. Umat diharapkan mengalami pendalaman iman dan beroleh kekuatan mengikuti Yesus, yang sering diwarnai salib kehidupan.

Mengenai Padre Pio, Paus Paulus VI dengan bijak mengajak umat untuk tidak masuk dalam pembicaraan kontroversial, melainkan melihat peranannya bagi pembangunan iman umat. Maka, perjumpaan dengan Fra Elia pun bukan untuk mencari sensasi iman, tapi pendalaman iman. Uskup Agung Boston, Kardinal Sean Patrick O’Malley OFMCap, dalam homili 23 September 2006, mengutip perkataan Paus: “Lihatlah mengapa ia sampai terkenal ke seluruh penjuru dunia. Mengapa? Mungkin karena ia seorang ahli filsafat? Karena ia bijak? Karena ia mempunyai banyak sumber rohani? Ia terkenal karena ia merayakan Misa dengan rendah hati, mendengarkan pengakuan dosa dari pagi hingga petang dan –ini yang tak mudah dikatakan– semua itu ia lakukan sambil menahan luka-luka Yesus. Itulah hidup seorang yang setia berdoa dan tahan menderita.”

Paus Fransiskus pun mengajak kita untuk mewujudkan semangat pastoral Gembala Baik, yang memahami kesederhanaan cara pengungkapan iman. Inilah dasar refleksi teologis: “Untuk memahami kenyataan ini (kesalehan populer) kita perlu mendekatinya dengan semangat Gembala Baik, yang berusaha untuk tidak mengadili, tapi mengasihi. Hanya dengan kebersamaan kodrati afektif yang lahir dari kasih, kita dapat menghargai kehidupan teologis yang hadir dalam kesalehan umat kristiani, terlebih di antara mereka yang miskin …” (Evangelii Gaudium no.125).

Semoga lewat pelbagai ungkapan iman umat yang sering mendapatkan bentuk-ben tuk kesalehan yang sederhana, kita di arahkan masuk dalam relasi yang makin men dalam dengan Yesus, sambil terus berusaha mempertanggungjawabkannya dalam keselarasan dan kesatuan dengan Gereja..

RD Yohanes Subagyo
HIDUP No.40 2014, 5 Oktober 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here