Merawat Iman di Mutiara Hitam

423
Uskup Agung Merauke Mgr Nicolaus Adi Seputra MSC (kedua dari kanan) menyapa umat Stasi Koa Paroki Kame.
[NN/Dok.Komsos Kame]
4.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Tantangan Gereja sekarang adalah tawaran uang. Kalau Gereja tidak memiliki uang maka tidak menarik.

Tidak banyak ornamen yang menghiasi Tugu Nol Kilometer Merauke-Sabang di Sota, Merauke, Papua. Dari tempat itu, hijau alam Papua yang kaya masih dapat terlihat jelas. Tugu inilah yang menjadi salah satu penanda, Merauke sebagai titik paling Timur Indonesia. Sebagai daerah perbatasan, maka Merauke dengan sendirinya menjadi “pintu depan” Indonesia.

Tahun 2002, Merauke yang sebelumnya hanya sebuah daerah pemerintahan, dimekarkan menjadi empat kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002. Di wilayah ini kini menjadi Kabupaten Merauke, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi, dan Kabupaten Asmat.

Namun, Merauke bukan satu-satunya. Dengan undang-undang yang sama terbentuk juga Kabupaten Tolikara dan Kabupaten Pegunungan Bintang. Pemekaran tentu membawa perubahan bagi Tanah Mutiara ini. Pendatang mulai masuk dan membawa beragam perubahan, perkembangan namun juga masalah-masalah baru.

Perubahan yang cepat ini juga dilihat oleh Gereja Katolik di Papua. Penduduk-penduduk baru jadi pemandangan yang seketika dapat dilihat. Hal ini tentu membawa kesadaran bahkan kekhawatiran, apakah masyarakat di sana akan mampu mengimbangi perubahan ini. Lalu bagaimana dengan perkembangan iman Katolik, tentu ada perubahan dalam bagaimana orang beriman dan berdialog dengan perubahan ini.

Berubah Cepat
Tidak ada kabupaten yang akan berkembang kalau penduduknya sedikit. Mgr Nicolaus Adi Seputra MSC menyadari dengan perkembangan ini maka sebuah kabupaten harus memiliki pegawai yang banyak untuk mengembangkan wilayah itu. Hal yang sama dibutuhkan dengan infrastruktur sehingga akan menarik investor yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan daerah. “Karena pegawai dari luar maka jumlah penduduk setempat semakin kecil, dan lapangan kerja diisi oleh orang-orang luar yang memiliki keterampilan lebih,” ungkap Uskup Agung Merauke ini.

Untuk itu, adalah tugas pemerintah untuk memajukan masyarakat setempat dalam semua bidang. Mgr Nicolaus menjelaskan, secara sosial dengan adanya penduduk baru maka desa-desa baru juga bermunculan. Di sana mereka berkembang lebih cepat karena mereka terampil. “Ini mengakibatkan ketidakseimbangan keuangan, ada daerah yang kurang maju karena perbedaan keterampilan ini.”

Penduduk baru memiliki beragam latar belakang sosial, budaya, dan agama yang beragam. Dari bidang agama saja dengan kedatangan mereka tentu dibutuhkan adanya tempat ibadah. Mgr Nicolaus mengatakan, perubahan yang sangat cepat ini cukup sulit diimbangi secara mental oleh masyarakat di sana. Ia menambahkan, Gereja telah berusaha menyikapi perubahan ini dengan membuka sekolah, fasilitas kesehatan, dan menambah pelayan pastoral. “Sekolah, fasilitas kesehatan kami buat. Namun dengan satu tenaga pastor, dua katekis, jumlah guru-guru yang semakin berkurang maka ini menjadi berat.”

Mgr Nicolaus mengakui, kurangnya tenaga pastoral ini menjadikan tempat-tempat tertentu akhirnya kurang terlayani. Ia sendiri telah mengambil langkah, dari waktu ke waktu menambah tenaga pastoral. Dengan ini diharapkan pelayanan pastoral semakin meningkat. “Itu untuk membuat pelayanan pastoral kepada umat semakin mendekat. Misalnya kalau dulu hanya ada satu pastor di suatu tempat, lalu ditambah dengan satu komunitas suster, ketika Natal atau Paskah suster-suster dapat diperbantukan untuk pelayanan.”

Cerita dari Asmat
Hampir semua wilayah Keuskupan Agats secara geografis konturnya sangat rata. Wilayah ini berada di sepanjang pesisir pantai. Kapal hilir mudik keluar masuk dermaga. Arus itu mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk juga kehidupan menggereja. “Kalau hari minggu ada kapal yang sandar di dermaga, Gereja bisa saja kosong. Umat lebih memilih ke kapal. Mereka mencari uang di sana dengan menjadi buruh dan berdagang di sana,” kenang Uskup Agats, Mgr. Aloysius Murwito OFM.

Tantangan menggereja di Asmat membuat Gereja setempat mencari jalan keluar bagi katekese iman umat setempat. Sejak berdirinya Keuskupan Agats, Sebagai suatu persekutuan, umat Gereja Katolik terus berkembang. Mgr Murwito menilai selama mengarungi hampir setengah abad perjalanan Keuskupan Agats, kesetiaan iman umat sangat kuat. Walaupun demikian, Gereja tetap terus menerus mencari cara yang baik bagaimana menyampaikan pokok-pokok iman mengenai Allah Tritunggal yang Maha Kudus. “Keuskupan Agats mencoba terus menerus memberikan kesadaran untuk pewartaan dan pembinaan iman. Dalam hal ini lebih banyak mengharapkan dan mengandalkan dewan-dewan paroki setempat,” katanya.

Lebih lanjut, Dewan Paroki setempat di kampung-kampung baik pilar paroki, mapun pilar stasi memainkan peran penting dalam membangun persekutuan. Mereka memiliki andil dalam mengembangkan iman katolik. Ketua dewan beserta anggota-anggotanya dipercayakan untuk menyelenggarakan pembinaan-pembinaan iman umat. “Merekalah yang memberi pelajaran-pelajaran agama, persiapan-persiapan penerimaan sakramen, persiapan bagi orang tua yang anak-anaknya mau dibaptis, persiapan komuni pertama,” ujar Mgr Murwito.

Di tengah upaya pembinaan iman umat tersebut uskup asal Sleman, Yogyakarta ini mengeluhkan soal kekurangan guru agama. Berhadapan dengan persoalan ini, sebagian besar guru beragama Katolik selain mengampuh pelajaran umum mereka juga merangkap pelajaran agama “Guru dengan latar belakang pendidikan agama bisa dihitung dengan jari saja.”

Sejak 2002 wilayah Asmat menjadi kabupaten yang merupakan pemekaran dari kabupaten Merauke. Perubahan dari kecamatan atau distrik ini memberi pengaruh yang besar terutama perkembangan dari luar. Dengan berdirinya berbagai lembaga dan instansi seperti DPR, Lembaga Peradilan, dan kantor-kantor Dinas memberi warna tersendiri.

Struktur Pemerintahan secara beriringan bahkan hingga tingkat desa. Orientasi percakapan sehari-hari mulai berubah, seperti membicarakan pembangunan. Selain itu alat-alat elektronik seperti mudah didapat terutama di kalangan orang muda. Di sana tidak ada jaringan tapi dimanfaatkan untuk menonton video, mendengar musik, memotret, dan lain-lain.

Mgr Murwito mengungkapkan, perubahan sosial merupakan tantangan bagi Gereja. Sebagai sebuah lembaga, Gereja tidak cukup mewartakan kabar baik dengan kata-kata, tapi mesti juga memperlihatkan bahwa Gereja itu ikut mengantar dan berjalan bagi kesejahteraan masyarakat, terutama karya-karya sosial ekonomi. “Tantangan Gereja Sekarang lebih berat bila dibandingkan dengan zaman dulu terutama karena perubahan ekonomi.

Orientasi umat lebih kepada materi atau uang. Mgr Murwito melihat, dulu umat memiliki semangat sukarela yang tinggi. Sekarang diukur dengan balas jasa. Menyadari hal itu, PSE Keuskupan Agats mulai membuka koperasi. “Usaha-usaha seperti itu kami kembangkan, ada yang berhasil, ada yang belum berhasil, tapi kami sadar bahwa tidak cukup mewartakan baik secara rohani, tapi juga harus nampak mendampingi dalam bidang sosial ekonomi mereka,” ungkap Mgr Murwito.

Katekese Keluarga
Dalam rangka menyambut 50 tahun Keuskupan Agats, akan dilaksanakan sinode pastoral. Menurut Mgr Murwito, Keuskupan Agats sudah mempersiapkan berbagai hal menyongsong peristiwa ini. “Kami mau mengarahkan perhatian, pikiran dan hati kami kepada pelaksanan pastoral lima tahun mendatang pada pastoral keluarga.”

Katekese keluarga akan menjadi fokus dalam perayaan ini. Ini mencakup semua aspek, relasi dengan keluarga, dan bagaimana keluarga menanamkan nilai-nilai Kristiani. Mgr Murwito menjelaskan, sinode juga menjadi waktu untuk memperdalam hidup dalam terang injil dan menjaga keutuhan keluarga sehingga tidak jatuh dalam poligami. Dengan cara ini kesakralan perkawinan terjaga.

Keberhasilan pastoral dalam banyak hal ditentukan juga keberhasilan Gereja dalam berdialog dengan kearifan lokal. Mgr Murwito mengungkapkan, Gereja sedapat mungkin memberi ruang pada berkembangnya budaya lokal. “Disini kita menghadapkan nilai-nilai gerejani dalam keluarga dan menghidupkan nilai-nilai budaya setempat. Tapi juga kita akan menyeleksi mana yang baik. Itu akan menjadi gerakan dan pelayanan kami,” tuturnya.

Mgr Nicolaus mengungkapkan hal serupa, perkembangan katekese iman Katolik terkait juga dengan kondisi fasilitas pendidikan. Ia melihat, dulu meskipun bukan guru agama Katolik, namun mereka memberikan juga pendidikan tentang iman Katolik. Selain itu, keteladan dari orang tua juga diperlukan untuk menguatkan iman anak-anak. “Kalau semua tergantung dari pastornya memang tidak mungkin.”

Saat ini di Keuskupan Agung Merauke berusaha untuk mengembangkan katekese yang berfokus pada keluarga. Mgr Nicolaus menuturkan, usaha ini mencakup pengajaran tentang keluarga Katolik yang murah hati, terlibat, dan beriman.

Felicia Permata H/ Antonius E. Sugiyanto/ Willy Matrona

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here