Mengawal RUU Pesantren

265
Anak-anak mengikuti lomba mewarnai yang diadakan Komisi Komsos KAJ di Katedral Jakarta.
[HIDUP/Julius Rendy]
2.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – KWI tidak menolak RUU secara keseluruhan kecuali point-point tertentu yang memiliki daya intervensi dan mengurusi privasi Gereja Katolik. RUU ini harus dikritisi.

Konfrensi Waligereja Indonesia (KWI) mengapresiasi niat baik DPR yang mengusung RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Meskipun demikian, KWI perlu meninjau kembali RUU tersebut. Menurut temuan KWI secara substansial maupun redaksional RUU terdapat banyak hal yang keliru.

KWI juga turut menyesalkan sebagai representasi dari Gereja tidak pernah diajak untuk duduk bersama. Padahal kalau melihat isi materi, RUU ini berlaku untuk semua agama di Indonesia. KWI mempertanyakan RUU yang materinya berbicara tentang agama-agama tertentu, tetapi tidak melalui proses konsultasi dengan agama yang bersangkutan.

Beberapa Kesalahan RUU
Sekretaris Eksekutif Komisi Kerawam KWI, Pastor Paulus Christian Siswantoko mengatakan, beberapa kekeliruan yang dinilai KWI misalnya soal judul, RUU Pesantren dan Pendidikkan Keagamaan. Dalam salah satu konsep dikatakan bahwa pesantren adalah salah satu subkultur. Pesantren sebagai bagian dari pendidikan keagamaan, harusnya tidak boleh menjadi judul melainkan menjadi bagian isi atau pasal di dalamnya. Karena itu merupakan bagian dari pendidikan keagamaan Islam. “Maka kami mengusulkan, judul RUU diubah menjadi RUU Pendidikan Keagamaan, karena membahas semua agama biar tidak terkesan diskriminatif,” ungkap Pastor Siswantoko.

KWI juga keberatan dengan beberapa istilah yang harusnya dipakai agama tertentu, tapi dipakai atau dipaksakan terhadap agama lain. Misalkan saja istilah pendidikan diniyah, ta’awun, tawazun, dan tawasut. Ungkapan-ungkapan ini tidak ada dalam kosakata Katolik. Pastor Siswantoko menuturkan, kesalahan lain menyangkut sumber pendidikan Katolik, yang hanya disebutkan dari sumber Ajaran Gereja atau Magisterium.

Bagian ini tentu masih kurang lengkap, mengingat Gereja Katolik memiliki tiga tiga sumber iman yakni Kitab Suci, Magisterium, dan Tradisi. Selain itu pendidikan Katolik bukan persoalan mendidik untuk menjadi seorang ahli agama. Katekese dalam Katolik adalah memanusiakan manusia, mendewasakan diri dan membentuk karakter.

Pastor Siswantoko menambahkan, dalam materi RUU ini tampak bahwa negara mengintervensi dan masuk ke ruang privat agama. Seharusnya, pendidikkan non-formal seperti Sekolah Minggu, Bina Iman Anak atau Orang Muda Katolik, Bina Iman Remaja atau informal dalam pendidikan keluarga menjadi kewenangan Gereja Katolik. “Pada dasarnya setiap agama memiliki kekhasan masing-masing seperti sekolah Minggu dan semacamnya.”

Menanggapi RUU ini KWI mengambil tiga sikap yakni menerima, merevisi, dan menolak. Pertama, menerima bukan berarti per pasal tapi mendukung niat baik DPR untuk memperhatikan setiap agama supaya mendapatkan pendidikan agama yang baik. KWI juga mendukung RUU karena melihat sisi keadilan, artinya, setiap agama mendapat perlakuan yang sama. Dalam hal ini tidak ada keistimewaan bagi istilah mayoritas dan minoritas. Kedua, merevisi hal-hal yang tidak sesuai. Ketiga, menolak adanya pasal-pasal yang mengintervensi Gereja oleh negara. Apabila nantinya ditandatangi oleh presiden, KWI berharap perlu ada masukan dari lembaga keagamaan. “Secara keseluruhan KWI tidak menolak RUU secara keseluruhan kecuali point-point tertentu yang memiliki daya intervensi dan mengurusi privasi Gereja Katolik. Mari kita kawal RUU ini dan harus kritisi, karena menyangkut pendidikan dan masa depan bangsa,” bebernya.

Jangan Terpancing
Sebagaimana pantauan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), posisi pembahasan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan telah disetujui oleh Paripurna DPR menjadi RUU Usul Inisiatif DPR pada 16 Oktober lalu. Tahap selanjutnya, RUU dikirim ke presiden untuk mendapatkan Surat Presiden (Surpres) yang akan berisi persetujuan presiden. Dari sana akan dilakukan pembahasan bersama antara Pemerintah dan DPR. Dalam Surpres tersebut, presiden akan menunjuk kementerian yang akan membahas dengan DPR pasal demi pasal RUU tersebut. Untuk RUU yang menjadi Usul Inisiatif DPR, maka DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) dari pemerintah yang akan dijadikan acuan pembahasan pasal-pasal dalam RUU.

Peneliti Formappi, Lucius Karus mengungkapkan, sesungguhnya terlalu berlebihan jika negara mau merambahi kehidupan beragama sampai pada keinginan untuk mengatur kegiatan-kegiatan internal agama-agama. Bagaimana kita bisa percaya dengan niat baik negara, di hadapan fakta yang telah lama ada, bahwa jaminan beribadah untuk agama tertentu belum sepenuhnya dilayani? “Kini mereka mau mengatur hal yang bahkan tidak begitu urgen untuk diatur melalui UU, hal-hal yang seharusnya menjadi kebijakan internal,” ungkap Lucius.

Oleh karena itu, lanjut Lucius, sikap yang paling tepat dari Agama Katolik terhadap RUU ini adalah menolak judul “Pendidikan Keagamaan” dalam judul RUU yang kini sedang dibahas Pemerintah dan DPR. “Agama Katolik saya kira tak perlu latah ikut-ikutan mau agar aktivitas seperti sekolah Minggu juga mau diatur negara melalui UU khusus. Kita hanya butuh jaminan negara atas kebebasan beragama/beribadah, sesuatu yang sampai saat ini lebih menjadi komoditas politik, ketimbang sebuah aksi serius untuk melindungi umat beragama,” kata Lucius.

Gereja tidak perlu ikut repot-repot meladeni pemberian masukan soal materi RUU tersebut. Gereja dapat menolak adanya UU khusus yang mengatur pendidikan internal Gereja. Jangan terjebak dalam pusaran kepentingan pengusul dan pembahas RUU itu sebab ancaman pemasungan terhadap kebebasan beragama makin serius ke depannya. “Jika Gereja mengizinkan agar aktivitas intern diatur, itu berarti kita membuka pintu bagi negara untuk leluasa memasuki ranah internal Gereja,” tegas Lucius.

Negara melalui pemerintahannya bukanlah entitas tunggal yang sikapnya bisa dipegang teguh. Sikap terhadap agama dari negara akan berubah sesuai dengan visi dan misi pemimpin yang menjadi penguasa pada waktunya. Lucius menilai, dalam banyak RUU yang disusun DPR, kadang ada “ketakpahaman” pembuat UU. Hal ini berdampak pada kehadiran UU yang tidak berkualitas, sehingga publik masih harus mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. “Bisa juga alasan kepentingan politik tertentu yang akhirnya membuat DPR mengatur sesuatu yang seharusnya tak perlu diatur,” tuturnya.

Lucius menduga, kepentingan politik ini yang mendorong DPR menyusun RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Mereka ingin terlihat peduli pada agama sehingga merasa perlu mengatur banyak aktivitas keagamaan. Padahal, kepedulian ini sesungguhnya hanya semacam trik untuk mendapatkan simpati, terutama di tahun politik seperti saat ini. “Bahaya betul kalau urusan keagamaan ini dibangun di atas interest politik semacam ini. Atas dorongan kepentingan seperti itu, alih-alih memperkuat pendidikan keagamaan, kehadiran UU ini justru bisa berdampak pada pengekangan aktifitas keagamaan karena negara mau mengatur semuanya. Maka KWI harus mengawal RUU ini,” tegasnya.

Willy Matrona

HIDUP NO.48 2018, 2 Desember 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here