Museum Pusaka Batak

555
Beberapa koleksi di Museum Pusaka Batak Toba, Pangururan, Samosir, Sumatera Utara.
[HIDUP/Antonius E. Sugiyanto]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Museum Pusaka Batak Toba sudah sejak tahun 1997 berdiri sebagai salah satu kekayaan Paroki St Mikael Pangururan, Samosir, Sumatera Utara. Museum ini menempati bagian bawah Gereja St Mikael Pangururan. Koleksi museum ini berupa alat pertanian, alat rumah tangga, alat tangkap ikan, alat perang dan beragam alat untuk kepentingan ritual.

Museum yang didirikan Pastor Leo Joosten OFMCap ini rasanya dapat dinobatkan menjadi salah satu museum Batak terlengkap. Sebagai sebuah pusat untuk menggali kekayaan budaya Batak, pengunjung dapat belajar beragam kekayaan budaya Batak mulai dari bahasa hingga bagaimana sejarah keimanan orang Batak.

Beberapa “Tongkat Tunggal Panaluan” tersimpan dalam museum. Tongkat ini menjadi petunjuk bagaimana karakter kepercayaan tradisional yang dahulu dihidupi orang Batak. Ini menunjukkan, animisme dan dinamisme berkembang dalam kehidupan orang Batak pada zaman dahulu. “Dalam setiap upacara adat Batak, tongkat ini berfungsi sebagai penolak bala,” ujar Dosen Antropologi di STFT St Yohanes Pematang Siantar, Pastor Herman Nainggolan OFMCap.

Sebuah sarkofagus yang juga menjadi koleksi di sini semakin menjelaskan corak animisme dan dinamisme orang Batak kuno. Sarkofagus itu berfungsi untuk menyimpan tulang belulang keluarga yang sudah lama meninggal. “Di satu sisi, orang Batak sangat takut pada orang mati namun juga sangat mencintai,” kata Pastor Herman.

Koleksi lain dari museum ini ada berupa alat tenun tradisional, tempat penyimpanan obat, alat menangkap ikan, dan aneka alah rumah tangga. Dengan mencermati alat-alat ini, setiap pengunjung dapat memahami bagaimana keseharian orang Batak zaman dahulu saat mereka berusaha mencukupi kebutuhan harian mereka.

Kepala Paroki Pangururan, Pastor Maseo Sitepu OFMCap mengungkapkan, sejak 24 Mei 2017, paroki ini telah mendapatkan pengakuan Museum Pusaka Batak Toba sebagai badan hukum. Ia mengungkapkan, sejak pengakuan ini maka paroki berusaha membangun kerja sama dengan pihak pemerintah untuk mengelola. “Dengan adanya museum, menunjukkan, Gereja Katolik memberi perhatian pada budaya setempat,” ujarnya.

Antonius E. Sugiyanto (Samosir)

HIDUP NO.13 2019, 31 Maret 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here