Api Kudus dari Makam Yesus

1055
Beberapa gadis saat ikut serta dalam Festival Serangan Air Polandia untuk pada Perayaan Paskah kedua.
[Dok.Delightful]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Paskah telah menjadi perayaan iman terbesar yang dirayakan oleh umat Kristen. Di banyak negara, Paskah membawa keunikan tradisinya. Tujuannya sama, merayakan sukacita kebangkitan Kristus.

Sorak meriah terdengar memenuhi sudut-sudut ruangan gereja yang gelap, bersamaan dengan sepercik api yang mulai menyala. Api itu lalu diteruskan dari tangan ke tangan dengan lilin yang digenggam setiap orang di gereja itu. Dengan api itu, gereja menjadi hidup dalam kobaran cahaya, asap, dan dupa.

Tak lama kemudian, sekelompok anak muda memainkan gendang dan bernyanyi. Kata-kata yang diucapkan terdengar berasal dari bahasa Yunani. “Kami adalah pengikut Kristus. Berada di sini selama berabad-abad dan akan tetap seperti ini sampai selama-lamanya. Amin!”

Selama lebih dari 1200 tahun, Ritual Api Kudus menjadi tradisi yang terus dirawat di Yerusalem. Tradisi ini hadir setiap kali Paskah, yang ditandai nyala api yang “secara ajaib” muncul dari kuburan Yesus yang gelap. Nyala ini melambangkan kebangkitan yang telah terjadi.

Api Kudus
Ritual Api Kudus ini adalah sebuah tradisi kuno namun kontroversial. Konon, tradisi ini sudah ada sejak abad ke-4. Eusebius dari Kaesarea dalam sebuah catatan menceritakan, bahwa pada tahun 162, koster gereja di Yerusalem, yang sedang bersiap merayakan Kebangkitan Kristus, mendapati bahwa mereka tidak punya minyak lagi untuk mengisi pelita. Selanjutnya, Uskup Narcissus dari Yerusalem memerintahkan agar pelita diisi dengan air dan kemudian dinyalakan. Ajaib, pelita itu menyala.

Dalam catatan lain yang ditemukan Kepala Pusat Studi Keagamaan Institut Eropa, Roman Lunkin, ditemukan juga sumber dalam bahasa Arab yang membahas keajaiban ini. Pada abad-abad pertama penyebaran Kristen, terdapat aturan pemberkatan dan menyalakan lampu malam sebelum misa Paskah di Gereja Makam Kudus. Lama-kelamaan, tradisi ini berubah menjadi perayaan dan dikenal sebagai Keajaiban Turunnya Api.

Upacara yang menjadi bagian dari Gereja-Gereja Ortodoks Yunani dan Armenia ini dimulai dengan memadamkan semua lampu di dalam gereja. Pintu ke tempat yang dianggap sebagai lokasi penguburan dan kebangkitan Yesus, menjadi tempat cahaya dan dimeteraikan dengan lilin. Pada salah satu bagian tradisi, para imam berarak mengelilingi makam sebanyak tiga kali sebelum masuk ke dalam.

Setelah menunggu beberapa saat, nyala api pun muncul. Salah satu imam menyalakan lilin di tangannya, dengan api yang berasal dari Makam Suci tadi. Dari sana, api itu dibagikan di kedua sisi makam kepada pembawa obor dari Gereja Ortodoks Yunani dan Gereja Ortodoks Armenia. Pembawa obor itu berlomba menaiki tangga, untuk menjadi yang pertama membawa api ke balkon atas.

Kini, pada Sabtu Kudus (Vigili Paskah), Patriark Gereja Ortodoks Yerusalem, bersama Uskup Gereja Armenia, akan memasuki rotunda Gereja Makam Kudus. Di sinilah diyakini sebagai tempat Kristus dimakamkan dan berdoa.

Api itu sendiri, menurut umat Ortodoks, dinyalakan dalam lampu ikon yang menggantung di atas makam Kristus. Patriark Gereja Ortodoks Yerusalem dan Uskup Gereja Ortodoks Armenia menyalakan ikatan lampu-lampu tersebut dan keluar untuk menyapa umat.

Pada momen ini, ribuan peziarah serta orang-orang Kristen setempat dari semua denominasi, berkumpul di Yerusalem. Umat mengambil bagian dan menyaksikan acara tahunan ini. Selanjutnya, dengan penerbangan khusus, Api Kudus ini dibawa beberapa negara di mana terdapat umat Gereja Ortodoks Yunani dan Gereja Ortodoks Armenia. Pada abad yang lalu, Api Kudus juga dibawa dari ke seluruh dunia dengan kapal uap ke Odessa melalui Laut Hitam.

Kemeriahan tradisi Api Kudus ini terlihat seperti laporan Aleteia pada 10 April 2017. Ketika itu, sekitar 3000 umat yang berasal dari berbagai denominasi Kristen ikut serta dalam tradisi tahunan ini. Peziarah Kristen Ethiopia bertugas memegang lilin selama upacara Api Kudus atau “Cahaya Suci” di Biara Sultan (Dir Al-Sultan) yang terletak di atap Gereja Makam Suci Yerusalem, Palestina.

“Cahaya ilahi” itu muncul pada pada Sabtu 8 April 2017 pukul 16.10 waktu Yerusalem. Nyala api itu lalu menyalakan ribuan lilin yang berada di setiap genggaman peziarah. Persebaran api itu tidak berhenti sampai ke jalan-jalan sempit dan rumah-rumah Kristen di Kota Yerusalem.

Tradisi Polandia
Polandia dikenal sebagai negara dengan ciri khas Katolik yang kuat. ‘Wielkanoc’ (Paskah) menjadi perayaan paling penting. Memasuki Minggu Suci sebelum Paskah, masyarakat di pedesaan akan menggunakan kesempatan untuk mengecat lumbung mereka sebagai pralambang pembersihan.

Kekhidmatan itu kian nampak ketika lonceng gereja tidak dibunyikan mulai pada Kamis Putih hingga Minggu Paskah pagi. Keheningan ini juga diikuti oleh sikap yang dibangun setiap umat untuk menyambut Paskah. Di negara asal St Yohanes Paulus II, ini setiap gereja bahkan membangun replika makan Yesus. Keluarga Katolik Polandia akan mengunjungi representasi makam Kristus yang dibangun kembali di setiap gereja. Selama itu umat setia berdoa dan berjaga-jaga.

Setelah Ibadah Jumat Agung, umat Polandia memiliki kebiasaan untuk tetap berjaga di gereja. Umat berkumpul dekat patung Yesus pada saat itu akan diturunkan dari salib. Saat itu adalah waktu doa hening untuk meratapi kematian Yesus sekaligus menjadi penantian kebangkitan kembali.

Paskah di Polandia berpuncak pada Sabtu Suci, saat masyarakat Polandia membawa sekeranjang makanan ke gereja untuk diberkati secara khusus oleh imam. Tradisi ini dikenal dengan nama ‘święconka’.

Isi keranjang ini di antaranya berisi telur rebus yang dihiasi yang dalam masyarakat Polandia disebut ‘Pisanki’. Telur ini sebagai simbol kebangkitan Kristus, kemenangan hidup atas kematian. Umat juga membawa roti di dalam keranjang itu yang melambangkan keberuntungan. Di mana dalam iman Kristiani, roti adalah simbol tubuh Kristus yang pertama dan terutama.

Kue atau permen yang berbentuk seekor domba juga termasuk dalam keranjang. Keduanya merupakan representasi Anak Domba Allah (Agnus Dei). Sementara itu, sejumlah garam juga dibawa sebagai lambang pemurnian, di mana dulunya diyakini bisa menjauhkan semua kejahatan. Di dalam keranjang itu masih ditambah lobak sebagai simbol pengorbanan pahit Kristus. Selain itu ada juga daging asap (ham dan sosis) sebagai simbol kesehatan dan kesuburan, dan keju mewakili persahabatan antara manusia dan alam.

Isi święconka bervariasi sesuai tradisi keluarga dan wilayah, namun patung domba, telur, roti, sosis, dan garam selalu ada. Keranjang yang sudah diberkati dibawa kembali ke rumah dan tetap tidak tersentuh hingga Minggu Paskah pagi.

Pada hari yang paling penting, Minggu Paskah, umat pergi ke gereja jam enam pagi untuk merayakan kebangkitan Kristus. Usai Misa, setiap keluarga akan pulang dan berkumpul bersama sambil membagikan potongan telur paskah yang diberkati dari keranjang. Pada momen ini, setiap anggota keluarga saling bertukar harapan dan sukacita (‘Wesołego Alleluja’).

Di Polandia, Paskah masih berlangsung pada hari Senin (Paskah kedua). Pada hari ini, pria Polandia, baik dewasa, anak, atau remaja, akan melemparkan air kepada para gadis dan perempuan dewasa. Tindakan ini pun sebagai bentuk sukacita. Permaianan ini mengingatkan mereka pada salah satu liturgi Paskah, yakni pembaharuan janji baptis. Dengan percikan air suci ini mengingatkan mereka akan pembaptisannya.

Tradisi Prancis
Umat Kristen di Perancis menjadikan cloches volantes atau lonceng terbang, sebagai simbol. Cloches volantes akan membawa hadiah bagi anak-anak. Di Prancis, saat Jumat Agung hingga Minggu Paskah, tidak ada lonceng gereja yang berdentang untuk memperingati kematian Yesus.

Selama Misa Paskah semua lonceng di gereja Prancis berdentang dengan keras penuh sukacita dalam perayaan kebangkitan Yesus. Sesuai tradisi, ketika dibunyikan pada Hari Paskah, orang-orang saling berpelukan.

Pada Paskah kedua di Kota Bessieres, sekitar 10.000 orang berkumpul untuk membuat telur dadar raksasa. Perayaan kebersamaan ini membutuhkan setidaknya 15.000 telur segar, loyang dengan diameter empat meter, 40 koki, dan tongkat pengaduk ekstra panjang.

Tradisi yang unik ini berawal dari pengakuan Napoleon Bonaparte dan pasukannya yang bermalam di dekat kota itu. Setelah puas dengan masakan telur yang ia santap, keesokannya harinya Napoleon meminta seluruh penduduk desa mengumpulkan semua telur agar dibuat telur dadar raksasa.

Tradisi Italia
Pada hari Minggu Paskah setiap tahun di Kota Florence mengadakan tradisi Scoppio del Carro atau ‘peledakan gerobak’. Tradisi ini sudah ada sejak 350 tahun lalu. Sebuah gerobak berukiran yang dibuat pada tahun 1622, berdiri menjulang setinggi dua hingga tiga lantai. Gerobak itu ditarik oleh sepasang lembu yang di dekorasi dengan karangan
bunga. Gereobak itu lalu diarak melalui jalan-jalan Florence ke alun-alun antara Baptistry dan Katedral.

Tradisi ini bermula dari kisah seorang penduduk Florence bangsawan muda Pazzi bernama Pazzino. Berdasarkan legenda, Pazzino mengikuti Perang Salib pertama di Tanah Suci pada 1099. Ia adalah orang pertama yang mengukur tembok Yerusalem dan meningkatkan panji Kristen.

Ketika Pazzino pulang, ia membawa kembali tiga batu api dari Makam Suci yang ia terima atas tindakan keberanianya. Batu api ini telah menghidupkan perapian para bangsawan Florence, lilin Paskah, dan lampu gereja saat Malam Paskah selama berabad-abad. Sekarang relikui ini disimpan di gereja Santi Apostoli.

Festival ini dimulai sekitar jam sepuluh pagi. Seorang imam menggosokan tiga batu api Pazzino bersama-sama hingga api muncul lalu menyalakan lilin Paskah. Lalu, api ini digunakan untuk menyalakan beberapa batu bara yang ditempatkan dalam wadah di atas gerobak. Iringan gerobak ini disertai oleh penabuh genderang, pelempar bendera tokoh-tokoh yang mengenakan kostum sejarah, pejabat kota, dan perwakilan imam.

Paskah telah menjadi perayaan iman terbesar yang dirayakan oleh umat Kristen. Paskah memberikan pembuktian bahwa Yesus Kristus sungguh menang atas maut. Ia adalah 100 persen manusia 100 persen Allah. Ia menderita bagi keselamatan umat manusia. Ia adalah Allah yang menyejarah dalam kehidupan umat manusia.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.16 2019, 21 April 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here