Tempat Menaruh Hati

275
Fransisca Tri Susanti Koban.
[HIDUP/Yanuari Marwanto]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Sekolah St Lukas baginya bukan tempat mencari nafkah. Tapi, hidup, rumah kedua, dan tempat ia menaruh hati. Ia bertahan bila ada yang ingin merusak rumah dan keluarganya di sana.

Mentari belum menampakkan rupa utuh. Seorang perempuan bertubuh mungil keluar dari dalam rumah berkelir putih. Ojek yang ia pesan telah datang. Dari tempat tinggal, di Gang Telaga Ratna, Sunter Jaya, Jakarta Utara, Fransisca Tri Susanti Koban meluncur ke Gereja St Yohanes Bosco, Danau Sunter, Keuskupan Agung Jakarta. Jarak antara rumah Sisca, sapaannya, dengan tempat ibadat itu sekitar empat kilo meter.

Misa harian dimulai pukul 06.00. Ada waktu sekitar 20 menit sebelum Misa harian dimulai. Celah waktu itu, Sisca gunakan untuk memeriksa batin. Usai Misa, ia melangkah menuju kapel adorasi, dilanjutkan ke Gua Maria. “Saya nggak ada intensi khusus. Kalau sudah masuk ke kapel adorasi, saya hanya diam. Terserah Tuhan,” kenang Sisca, saat ditemui di kediaman, Senin, 23/7.

Sisca hanya bisa berpasrah. Ia menyerahkan segala yang terjadi pada hari itu ke tangan Tuhan. Menurut Sisca, apa pun keputusan nanti, itulah kehendak Tuhan baginya. Sementara Bunda Maria, menjadi sandaran aneka perasaan dan pikirannya. Gereja, kapel adorasi, dan gua Maria menjadi destinasi Sisca tiap kali akan menjalani persidangan.

Sisca sudah beberapa kali menjalani sidang Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Episode itu dimulai sejak 8 Februari 2019. Ketika Yayasan Pendidikan Umum St Lukas memasukkan perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) ke PN Jakarta Pusat. Dalam perkara nomor 42/ Pdt.Sus-PHI.G/2019/PN.JKT.PST itu, Sisca digugat oleh lembaga yang telah mengkaryakannya selama lebih dari 30 tahun sebagai guru.

Doa Ibu
Theresia Ngaisah tak banyak cakap melihat putrinya memasukkan aneka berkas dan bundelan ke dalam tas jinjing. Perempuan yang seluruh rambutnya telah memutih itu, hanya melontarkan satu kalimat kepada Sisca. “Hari ini, kamu mau ke mana?,” ungkap Sisca, mengulang pertanyaan ibunda.

Setelah mendapat jawaban dari Sisca, Mama Yola, panggilan warga sekitar untuk istri Michael Bala Koban, langsung masuk ke dalam kamar tidur putrinya itu. Di ujung kamar, di hadapan pojok doa, Theresia Ngaisah bersimpuh. Ia memohon kepada Tuhan lewat perantaraan Bunda Maria agar melindungi putrinya. Ia melakukan itu sejak Sisca menjalani proses mediasi.

Sisca tak terbiasa sarapan. Asupannya hanya segelas susu atau kopi susu untuk mempersiapkan dan menjalani tiap persidangan yang amat menguras energi. Lelah sudah pasti. Tapi Sisca bersyukur ada kekuatan yang memotivasinya untuk tekun menjalani semua proses. Kekuatan itu adalah Gabriel, keponakan yang masih balita. “Dia lahir ketika situasi saya benar-benar terpuruk. Hari-hari, dia memberi kekuatan saya,” ungkap kelahiran Jakarta, 52 tahun silam.

Sekitar pukul sepuluh kurang, Ignatius Loyola menjemput Sisca di rumah. Yola, panggilan akrab Ignatius Loyola, adalah adik kandung Sisca. Ia selalu mengantar sang kakak ke PN Jakarta Pusat dengan motor. Yola juga hampir selalu menemani saudarinya itu ke mana pun.

Sumber Kekuatan
Hari itu, Rabu, 10 Juli 2019, Sisca bersama keluarga, rekan guru dan karyawan, serta kuasa hukum dari Fakta, datang ke PN Jakarta Pusat. Akan ada pembacaan putusan akhir perselisihan antara Yayasan Pendidikan Umum St Lukas dengan Sisca. Ia berharap tak ada lagi penundaan pembacaan putusan yang ketiga kalinya.

Sisca tiba di PN Jakarta Pusat pukul sepuluh lewat. Padahal, dari informasi yang tercantum di situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Jakarta Pusat, sidang akan berlangsung pukul 15.30 WIB. “Kami tetap datang pagi karena harus presensi dulu. Nanti kita dipanggil berdasarkan nomor urut. Jadi, duluduluan,” ujar alumna Sekolah Pendidikan Guru St Maria, Jakarta ini.

Sisca mendapat nomor urut sebelas. Sembari menanti sidang dimulai, Sisca menunggu di kantin, di sebelah pengadilan. Sekitar pukul sebelas lewat, ia kembali ke ruang sidang. Namun, sidang tak juga kunjung dimulai. Menurut seseorang, sidang ditunda hingga pukul 13.00. Baru sekitar pukul 17.45 WIB, perkara nomor 42 dibacakan.

Sisca duduk seorang diri di tempat khusus di samping hakim. Sementara penggugat maupun kuasa hukum tak ada yang hadir dalam ruangan itu. Sisca menyimak tiap kata yang terlontar dari mulut hakim. Di hadapannya ada meja. Ia meletakan seutas rosario berwarna hitam di sana.

Sisca selalu membawa rosario itu tiap kali sidang. Rosario itu selalu ia simpan dalam kantong celana. Namun, saat pembacaan putusan, Sisca meletakan rosario pemberian Yola di atas meja. “Rosario, kekuatan saya di sini. Masuk ke dalam sidang saya bawa ini saja,” ujar lulusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Sarjana Pendidikan Unika Atma Jaya, Jakarta.

Dalam sidang PHI itu, hakim menyatakan, mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian seperti pemberlakuan surat PHK. Hakim mengabulkan PHK dengan alasan disharmonis. Namun, hakim menyatakan, perbuatan yang dituduhkan kepada Sisca mengenai provokasi tidak terbukti. Sehingga pengadilan menghukum penggugat untuk membayar biaya kompensasi terhadap PHK Sisca sebesar Rp 115.235.808. “Masalah PHK, sejak awal saya sudah duga mereka akan pakai alasan disharmonis,” ungkap Sisca.

Sisca berencana membawa persoalan ini ke tingkat kasasi. Ia tak mematok target untuk itu. Ia hanya ingin agar kebenaran bisa ditegakkan dan persoalan ini tak menimpa guru-guru lain di mana pun.

Murid, Karyawan
Sisca sudah lebih dari 30 tahun mengajar di SD St Lukas. Ia sudah mengajar di sana sejak lulus SPG tahun 1985 hingga menerima surat PHK dari yayasan. Ia belum pernah berpindah ke lain hati. Sebetulnya, pada 2012, ia sempat ditawari untuk menjadi PNS. Usulan itu ia tolak.

Bagi Sisca, St Lukas bukan tempatnya mencari nafkah. Ia menganggap, sekolah tersebut seperti hidup dan rumah kedua baginya. Tempat ia menaruh hati. Sehingga, tak mungkin ia ingin merusak rumah sendiri. Sisca juga takkan diam bila ada orang luar yang ingin merusak rumah dan anggota keluarganya di sana. “Saya akan bertahan semaksimal mungkin sampai tak mampu lagi untuk itu,” harapnya.

Selain itu, St Lukas juga menjadi potret kenangan terhadap sang ayah. Ayahnya, salah seorang yang membantu Pastor Hendrikus van Opzeeland SJ (1929-2019) dalam merintis Paroki Pademangan dan Sekolah St Lukas. Namun, yang membuat Sisca bertahan lama di sekolah tersebut adalah para murid dan rekan guru serta karyawan di sana. “Kami guyub sekali,” jelasnya sembari tersenyum.

Yanuari Marwanto

HIDUP NO.31 2019, 4 Agustus 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here