web page hit counter
Minggu, 6 Oktober 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Abdi Gereja dan Negara

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Melayani kerohanian para prajurit memiliki tantangan tersendiri. Untuk itu, gembala prajurit juga dituntut memiliki jiwa kesatria agar terbentuk pembinaan rohani yang mumpuni.

Momentum kedatangan Paus Yohanes Paulus II ke Tanah Air pada tahun 1989 meninggalkan kenangan membekas pada sanubari Romo Bernardus Hari Susanto. Memori itu bukan menyangkut kunjungan Bapa Suci, melainkan permintaan dari Uskup Agung Semarang, Mgr Julius Darmaatmadja SJ.

Saat itu, Mgr Darmaatmadja juga merangkap sebagai Uskup Ordinariatus Casterensis Indonesia (OCI) meminta kerelaan Romo Hari untuk melepaskan tugas sebagai pamong dan staf pengajar di Seminari Mertoyudan. Mgr Darmaatmadja mengalihkan tugas Romo Hari menjadi imam di OCI terhitung mulai tanggal 1 Desember 1990.

Romo Hari kemudian diangkat dan dipekerjakan sebagai calon Pegawai Negeri Sipil (PNS). Lalu tepat pada Hari Lahir Pancasila di tahun 1992, ia diangkat menjadi PNS tetap.

Beberapa tahun sebelumnya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) sudah tidak mencantumkan pangkat Tituler. Maka Romo Hari yang menjadi anggota Mabes TNI AU bersama dengan empat imam lainnya (Romo C. Padmaka Sigid – Anggota Disbintalad; Romo Heribertus Warnoto – Anggota Pusbintal TNI); Romo Albertus Hendaryono – Anggota Mabes TNI AL;
Romo C. Winarno MSF – Anggota Mabes POLRI) diangkat menjadi anggota organik TNI dengan status PNS seutuhnya. Kelima pastor militer ini mengharapkan, agar rekan sesama anggota organik dapat meningkatkan disiplin, sportivitas, dan semangat pengabdian yang total.

Membangun relasi kebersamaan dalam tugas-tugas dinas secara selaras, seimbang dan serasi untuk menghasilkan kinerja yang optimal juga menjadi harapan mereka. Sebagai seorang imam, mereka juga menyadari untuk melanjutkan kehadiran Gereja melalui pelayanan di lingkungan kategorial TNI/POLRI yang cukup lama mengalami kekosongan.

Terbersit dalam benak imam kelahiran 2 September 1957 ini ketika mendapat tugas perutusan untuk berjuang tanpa batas menjadikan sesama anggota organik yang beragama Katolik sebagai 100 persen prajurit dan 100 persen Katolik.

Lama telah menjalankan tugas sebagai Imam Militer Organik, Romo Hari yang sudah memasuki masa pensiun sebagai Pasmil Organik menyadari peran penting sebagai bagian dari Binrohkat untuk bisa menjembatani antara kehidupan di lingkungan militer dengan kehidupan warga sipil dibawah naungan iman, harapan dan kasih sejati. “Kekatolikan kita membuat kita dapat ambil bagian dalam karya penyelamatan Tuhan ‘di mana saja’, ‘kapan saja’, kepada ‘siapa saja’ dengan menggunakan ‘keutamaan apa saja’ sejauh sesuai dengan kehendak-Nya,” tulisnya kepada HIDUP.

Imam Berbau Tentara
Berbeda dengan kelima imam sebelumnya, Romo Paulus Nasib Suroto mengikuti jejak pemimpinnya, Romo Yos Bintoro menjadi 100 persen imam dan 100 persen TNI. Sejak dilantik menjadi perwira tepatnya pada 15 Mei 2018, ia langsung diutus menjadi pastor militer aktif bagi Keuskupan TNI-POLRI (OCI).

Melayani OCI cukup membuatnya bingung karena keunikan keuskupan ini yang tidak memiliki batas teritorial yang jelas. Namun dari OCI, Romo Nasib belajar untuk berkomunikasi menembus batas dan sekat. “Hierarki itu sangat kentara. Maka saat ini saya belajar menempatkan diri saya menjadi jembatan antara Gereja dan institusi militer untuk karya ini,” tuturnya.

Ada kejadian lucu yang dialami Romo Nasib. Pada suatu pagi, ketika Romo Nasib berjalan, tiba-tiba ada teriakan dari jauh “selamat pagi romo” dengan hormat terlebih dahulu. Romo Nasib kaget dan langsung menyambut salam itu dengan lantang sambil hormat. Kemudian, tentara yang memberinya hormat berlari menuju kearah Romo Nasib lalu keduanya bersalaman.

Tak lama kemudian, Romo Nasib menyadari, tentara tadi adalah seorang Perwira Tinggi Tentara Negara Indonesia dengan pangkat bintang dua. Ia tidak menyangka, seorang perwira tinggi memberi hormat terlebih dahulu kepadanya yang masih berpangkat Letnan Dua.

Romo Nasib tentu saja paham, di dunia militer, hal ini adalah masalah besar. Penasaran, Romo Nasib segera menanyakan maksud tindakan sang jenderal. Jawaban yang didapat Romo Nasib sontak membuat rahang terbuka, “Saya melakukan hal itu bukan karena pangkat tetapi karena statusmu sebagai romo,” ujar sang perwira tinggi.

Romo Nasib menyadari masalah hierarki terkadang menjadi pergumulan batin. Ia mengaku ada perasaan “tidak enak” sebagai seorang Letnan Dua harus memimpin perayaan Ekaristi dihadapan atasan yang mempunyai pangkat lebih tinggi. Disatu sisi mereka adalah pimpinan, tetapi disisi lain mereka adalah umat. Maka dalam hal ini Romo Nasib harus mampu menempatkan diri, kapan sebagai Letnan Dua, kapan sebagai seorang gembala (pastor) bagi umat baik sipil maupun militer.

Terbawa suasana haru, Romo Nasib mengenang peristiwa Natal di tahun 2017. Di saat para imam merayakan Ekaristi bersama umat, ia sebagai seorang imam sama sekali tidak merayakan Ekaristi. Rasa hancur dan kerinduan yang luar biasa untuk merayakan Ekaristi menguasai nuraninya. Namun pengalaman itu ia maknai sebagai kelahiran baru sebagai seorang imam dan militer aktif.

Berkaca dari peristiwa itu, sebagai seorang imam, Romo Nasib menanamkan dalam diri paling tidak seminggu sekali merayakan Ekaristi. “Ekaristi adalah sumber dan kekuatanku sebagai seorang beriman. Jangan pernah meninggalkan Ekaristi apalagi sebagai seorang imam,” akunya tegas.

Bukan Sekadar Membantu
Pastor Rofinus Neto Wuli adalah imam yang diperbantukan di lingkungan militer dan polisi (Pasbanmilpol). Sejak akhir Desember 2014, imam yang akrab disapa Romo Roni ini mulai mendampingi para parajurit TNI di Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia di Sentul, Bogor, Jawa Barat, yang sedang dipersiapkan untuk berangkat dalam misi perdamaian Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).

Sebagai Pasbanmilpol, Romo Roni tak hanya menjalankan pelayanan untuk urusan seputar altar. Ia kerap diundang Pusat Bimbingan Mental (Pusbintal) TNI di Markas Besar (Mabes) Cilangkap, Jakarta Timur, Mabes Polri, dan Lembaga Ketahanan Nasional untuk membawakan materi-materi seputar pembinaan mental dan pembinaan rohani bagi prajurit.

Romo Roni juga ikut melakukan misi pewartaan Gereja dengan menulis di majalah-majalah keluaran Pusbintal dan Pusbinroh seperti antara lain Pinaka Baladika Utama, Pinaka Wiratama, dan Rafael. Ia memakai media ini untuk menulis dari perspektif Katolik terutama ajaran dari Konstitusi Apostolik Spirituali Militum Curae.

Tidak jarang Romo Roni mengunjungi prajurit-prajurit Katolik. Kunjungan-kunjungan pastoral terutama di wilayah perbatasan seperti Motaain, Nusa Tenggara Timur; Skouw, Papua; dan Entikong, Kalimantan Barat. “Ketika saya menjumpai prajurit-prajurit kita dengan pangkat bintara dan tamtama, bukan perwira, mereka adalah keluarga Katolik yang sederhana, begitu teguh bertahan di tengah tantangan. Mereka teguh, tekun menjalani panggilan perutusan sebagai tentara yang menjaga tapal batas negeri, melayani negeri, mengabdi pada masyarakat, bangsa dan NKRI,” ungkapnya saat ditemui di Pastoran Gereja St Valentino Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Kamis, 19/9.

Bagi imam diosesan Keuskupan Agung Ende ini, para prajurit di daerah terpencil di perbatasan negeri mengajarkan pelayanan dan pengabdian yang luar biasa atas dasar spirit keimanan Katolik dan spirit kebangsaan. “Semangat inilah yang semakin mewujudkan 100% Katolik, 100% Indonesia,” ujarnya.

Siap Sedia
Kelak OCI akan membutuhkan tambahan Pasbanmilpol untuk meluweskan gerak pelayanannya. Maka, setelah tamat dari pendidikan Program Pasca Sarjana Prodi Damai dan Resolusi Konflik di Universitas Pertahanan (Unhan) tahun 2018, Romo David Lerebulan diminta oleh Romo Yos Bintoro membantu OCI. Walaupun belum memiliki surat resmi, imam asal Keuskupan Bogor ini senantiasa melaksanakan tugasnya dengan penuh dedikasi.

Meskipun sudah terbiasa bergaul dengan kalangan militer ketika mengenyam masa pendidikan di Unhan, Romo David mengakui masih perlu beradaptasi kala melayani di lingkungan TNI-POLRI. Ia mengakui bingung, panggilan apa yang sepantasnya ia berikan ketika berinteraksi dengan para prajurit terutama mereka yang memiliki kedudukan tinggi. “Saya bingung, harus manggil bapak/ibu atau komandan ketika berkhotbah?,” ujarnya sambil tersenyum.

Felicia Permata Hanggu/Hermina Wulohering

HIDUP NO.39 2019, 29 September 2019

ARTIKEL SEBELUMNYA
ARTIKEL SELANJUTNYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles