BAGI UMAT KATOLIK, MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA ADALAH PANGGILAN SEJARAH

347
Cosmas Christanmas (14 Mei-1959 - 11 Agustus 2021)
1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – OKTOBER adalah bulan Doa Rosario bagi kita semua umat Katolik. Selain itu, bagi kita orang Indonesia, adalah bulan bahasa. Hal ini mengacu pada peristiwa Sumpah Pemuda di Jakarta 28 Oktober 1928.

Sumpah Pemuda adalah keputusan Kongres Pemuda II yang diselenggarakan di Batavia (Jakarta) pada 27-28 Oktober 1928. Keputusan ini menegaskan cita-cita akan ada “tanah air Indonesia”, “bangsa Indonesia”, dan “bahasa Indonesia”. Sumpah Pemuda adalah salah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat yang menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.

Tiga keputusan kongres tersebut tercantum pada prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, menggunakan ejaan van Ophuijsen:

Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Undang-undang Dasar 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, menulis pada Pasal 36: Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia. Ketentuan tertinggi ini diatur dalam Bab XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Bahasa Pemersatu

Kita pantas bersyukur atas ikrar bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan demikian, kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam setiap komunikasi lisan dan tulisan. Bahasa daerah (dan atau bahasa suku) tetap bebas berkembang, namun setiap warga negara Indonesia yang lahir dan hidup di Indonesia belajar menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Di banyak negara, ada yang menggunakan lebih dari satu bahasa resmi. Semua dokumen negara harus ditulis dalam beberapa bahasa itu, termasuk pada uang kertasnya. Contohnya Singapura menggunakan 4 bahasa yaitu English, Malay, Mandarin, dan Tamil. Swiss menggunakan bahasa Perancis, Jerman, Italia, dan Roman. Belgia menggunakan bahasa Belanda, Perancis, dan Jerman. Dan masih banyak negara lainnya yang berbahasa resmi lebih dari satu.

Bahasa Indonesia adalah salah satu mata pelajaran pokok sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Di dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan di pusat dan sejumlah Balai atau Kantor Bahasa di setiap provinsi. Tugas Badan ini adalah merawat pembakuan bahasa Indonesia dan mengembangkannya seturut perkembangan zaman.

Maka setelah ejaan van Ophuijsen, berkembang tata bahasa Indonesia yang disebut Ejaan Suwandi atau Ejaan Republik yang dipakai sejak bulan Maret 1947. Pada tahun 1967 ada Ejaan Baru yang pada dasarnya melanjutkan usaha yang dirintis oleh panitia Ejaan Malindo (Malaysia Indonesia). Hasil terbesar Badan Bahasa adalah EYD (Ejaan yang Disempurnakan) sejak tahun 1972. Inilah ejaan umum bahasa Indonesia yang kita gunakan sampai sekarang. Contoh yang sangat kasat mata misalnya penggunaan huruf c sebagai pengganti tj (seperti kata “tjontoh” menjadi “contoh”), atau j sebagai pengganti dj (kata “djangan” menjadi “jangan”), atau y sebagai pengganti j (kata “sajang” menjadi “sayang”), dan masih banyak lainnya lagi. Pedoman ini telah disempurnakan tahun 1987 dan 2009.

Dalam era Teknologi Informasi, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun bisa dilihat pada laman https://www.kbbi.web.id/. Aplikasi ini merupakan KBBI Daring (dalam jaringan atau Online) tidak resmi yang dibuat untuk memudahkan pencarian, penggunaan, dan pembacaan arti kata (lema/sub lema).

Bahasa Indonesia Kini

Bahasa Indonesia baku terus dipengaruhi oleh bahasa daerah dan bahasa asing. Hal ini sebagai akibat dari globalisasi bisnis yang didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi.

Bahasa asing yang paling dominan di Indonesia adalah bahasa Inggris. Sejak investasi asing dibuka tahun 1970-an, banyak perusahaan asing yang membutuhkan tenaga kerja yang mampu berbahasa Inggris. Sejak itu bahasa Inggris menaikkan derajat sosial para profesional, menguasai bahasa Inggris adalah sebuah keunggulan. Orang Indonesia pun semakin memberi perhatian pada penguasaan bahasa Inggris. Kursus-kursus bahasa Inggris dibuka di mana-mana.

Ketika Personal Computer (PC) semakin dikenal di Indonesia pada tahun 1980-an, bahasa Inggris menjadi semakin diperlukan untuk menguasai alat kerja baru ini. Tahun 1990-an saat internet mulai dipakai, orang semakin dimudahkan bekerja secara lintas negara dan waktu, terhubung dengan dukungan bahasa pemersatu internasional yaitu bahasa Inggris.

Memasuki tahun 2000-an, dan semakin berkembangnya teknologi seluler dengan gawai canggih (smartphone) dan aneka aplikasi, istilah dalam bahasa Inggris sudah tak terbendung dan terhindarkan.

Bahasa Inggris semakin menjadi bahasa kedua di Indonesia, menggeser peran bahasa ibu (bahasa daerah). Tidak adanya “polisi bahasa” dan atau kurangnya tokoh panutan yang berbahasa Indonesia yang baik dan benar, membuat bahasa Indonesia semakin dianggap hal biasa saja. Mudah ditemukan, orang tak bisa membedakan awalan “di” yang menyatu dengan kata dasarnya, dengan kata penunjuk “di” yang terpisah dari keterangan tempat. Di beberapa tempat, tertempel tulisan besar-besar tetapi salah seperti “Di kontrakan” tanpa ada yang merasa perlu memperbaikinya.

Di kalangan bisnis, menulis dalam bahasa Inggris dianggap lebih efisien, jelas, dan mudah dimengerti daripada tulisan bahasa Indonesia yang umumnya lebih panjang, dan mengandung terjemahan. Banyak tempat permukiman yang dinamai dalam bahasa atau istilah asing. Masa Menteri Pendidikan & Kebudayaan Wardiman Djojonegoro (Kabinet Pembangunan VI tahun 1993 –1998), sempat ada penertiban tempat yang menyandang nama asing. Namun memasuki era milenium, tampaknya kebijakan semacam itu sudah berkompromi dengan perkembangan di masyarakat.

Di kalangan anak muda, menulis dan bertutur dalam bahasa Inggris, khususnya di perkotaan (urban), dirasa sebagai keseharian. Tak banyak yang peduli dengan ikrar Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menjunjung bahasa persatuan Indonesia. Komunikasi dengan gawai canggih menggunakan aplikasi media sosial seperti Whatsapp, Instagram, Facebook, Line, dan sebagainya, campur aduk segala bahasa dan istilah, asal saling mengerti.

Kebiasaan berbahasa tanpa memedulikan tata bahasa yang baku, terbawa ke dalam penulisan resmi di sekolah. Jika guru dan dosen juga tidak peduli dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka semakin menjalar luas tidak taatnya masyarakat berpendidikan terhadap bahasa Indonesia.

Bagi umat Katolik, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah panggilan sejarah. Hal ini karena hari pertama Kongres Pemuda II pada tanggal 27 Oktober 1928 diadakan di sebuah gedung di Katedral Jakarta.

Mengingat seruan pahlawan nasional Mgr. Soegijopranoto untuk “menjadi Katolik 100% dan Indonesia 100%”, maka umat Katolik semakin ikut bertanggungjawab untuk menjadi pemakai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Serta menjadi contoh bagi masyarakat.

Kegiatan komunitas Katolik perlu lebih mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia daripada bahasa atau istilah asing. Kita bisa mulai dengan penulisan pada spanduk atau brosur kegiatan yang ditemukan di gereja. Belakangan ini suka ditemukan kata-kata asing yang tidak perlu dipaksakan seperti … (kita bisa menemukannya sendiri). Yang sudah umum dipakai adalah kata-kata God Bless You dan thank you.

Cosmas Christanmas, Kontributor (Jakarta)

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here