Sepenggal Kisah dari Gunung Putri

247
Uskup Bogor,Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM (tengah) bersama tokoh umat beragama Bogor. (Dok HIDUP)
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – PENANTIAN panjang umat Katolik di Gunung Putri, Keuskupan Bogor yang terbentuk dalam iman dan kesetiaan, akhirnya memetik hasil. Uskup Bogor, Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM menetapkan Stasi St. Vincentius a Paulo menjadi paroki pada Selasa, 25 Januari 2022.

“Pada hari ini, bertepatan dengan pesta bertobatnya Rasul Paulus, harapan dan ketekunan umat yang diwujudkan dalam devosi kepada Bunda Maria Penolong Abadi terjawab sudah. Keuskupan Bogor merasa sudah saatnya umat Gunung Putri menjadi Gereja yang mandiri,” kata Uskup dalam khotbahnya.

Momen sukacita ini diawali dengan pembacaan Surat Keputusan Peresmian Paroki oleh Pastor Marselinus Wisnu Wardhana, Sekretaris Keuskupan Bogor, dilanjutkan dengan Misa oleh Mgr. Paskalis didampingi Pastor Alexander Ardhiyoga sebagai penanggung jawab stasi ini dan Pastor Marselinus Wahyu Dwi Harjanto, Kepala Paroki Keluarga Kudus Cibinong.

Usai Misa, Uskup Paskalis menandatangani prasasti, lalu seremonial pembukaan tirai perubahan nama dari Kapel St. Vincentius menjadi Gereja Paroki St. Vincentius a Paulo. Setelahnya, seremonial pelepasan burung merpati sebagai simbol menyambut era pastoral dan dinamika umat yang baru.

Gereja yang Menyapa

Salah satu penekanan penting Mgr. Paskalis adalah paroki ini hendaknya dilihat sebagai “rumah bersama”. Semua orang dari berbagai suku, agama, dan bahasa berperan aktif dan positif dalam menyumbangkan jasa bagi pembangunan dan kemandirian Gereja ini. “Tidak ada seorang  pun atau kelompok mana pun yang merasa atau menganggap dirinya paling berjasa. Gereja bertumbuh karena peran kita semua,” ujarnya.

Mgr. Paskalis juga berharap dari paroki baru ini lahir spirit belaskasih, penerimaan satu sama lain tanpa syarat, serta kesediaan untuk saling mencintai, memaafkan, dan meneguhkan. “Inilah keutamaan yang harus dihidupi umat Gunung Putri. Keutamaan ini akan membuat umat terus bergembira dan berjalan bersama umat beragama lain di sekitar lingkungan gereja guna memajukan Gereja yang berbela rasa dan penuh damai,” tuturnya lebih jauh.

Diyakini bahwa umat Gunung Putri sedang dalam perjalanan menuju terwujudnya Gereja yang terbuka dan peduli kepada sesama. Terlihat ada berbagai macam tantangan yang dihadapi komunitas perdana tetapi tidak mematahkan semangat mereka untuk menghadirkan wajah Allah. Kata Mgr. Paskalis, tentu ini juga berkat belaskasihan dari banyak pihak termasuk saudara-saudari yang beragama Muslim di Kecamatan Gunung Putri.

Soal ini, Camat Gunung Putri, Didin Wahidin angkat bicara. Dalam wawancara, Kamis, 27/1/2022, ia menegaskan sudah ada undang-undang yang mengatur umat beragama bebas menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya. “Selama pengurusan bangunan ibadah sudah sesuai dengan aturan yang ada, maka silakan saja. Pemerintah akan mendukung semua proses itu,” ungkapnya.

Didin mengakui bila dalam proses ada yang kurang setuju atau aksi sebagian orang, hal itu merupakan kepentingan pribadi. Ada orang yang sebenarnya tidak mau menerima perbedaan atau memiliki kekuatan dan bukti hukum yang jelas terhadap sesuatu yang bermasalah.

Khusus di Gunung Putri, Didin mengatakan pihaknya akan terbuka dan membangun kerja sama dengan para pemimpin Gereja. Pihaknya ingin mengawal hak setiap umat beragama untuk beribadah sesuai imannya. “Semua ini bukan karena keinginan saya sebagai camat tetapi sudah diamanatkan oleh undang-undang,” ujarnya.

Didin menjelaskan dirinya pernah mendengar persoalan pendirian gereja ini. Dari beberapa informan, ia menarik kesimpulan bahwa salah satu persoalan utama dari kasus ini adalah karena ketidakmampuan para pemimpin agama dalam membangun komunikasi interpersonal. Bisa saja persoalan datang dari sebagian kecil umat Muslim, tetapi juga disadari bahwa sebenarnya kritik bagi para pemimpin Gereja agar pandai membangun komunikasi dan diskusi dengan umat beragama lain.

“Saya harus mengatakan bahwa kadang-kadang para pemimpin Gereja atau para tokoh agama terlalu nyaman dengan diri sendiri, jemaatnya dan lupa pada perjuangan umat sekitar. Nampak masih banyak tokoh agama yang sulit membuka diri kepada masyarakat sekitar, ngajak ngopi umat beragama lain, atau silahturahmi ke rumah warga,” sebutnya.

Didin mengharapkan dalam pandangan umat Katolik atau Protestan tidak muncul pandangan atau menjeneralisasi umat Muslim. Jauh leih banyak umat Muslim yang moderat, menerima perbedaan sebagai bagian dari kekhasan bangsa. “Sebenarnya umat dan warga perlu sapaan hangat agar merasa diperhatikan,” imbuhnya.

Dialog Bukan Monolog

Hal yang sama disampaikan Ahmad Baabullah, seorang warga yang berada di dekat gereja St. Vincentius. Saat dijumpai di kediamannya, ia mengaku tidak terganggu dengan kehadiran gereja di dekat perumahannya. Justru sebaliknya, ia merasa senang dan bersyukur bisa mengenal lebih dekat orang-orang Katolik, mendengarkan lagu-lagu Misa, termasuk bisa mengenal sosok pastor.

“Setiap hari Minggu, saya sengaja olahraga pagi dengan jalan kaki dekat gereja, hanya untuk mendengar lagu pujian umat Katolik, mengenal umat dan pastornya sendiri. Saya penasaran kenapa pastor itu tidak menikah. Suatu hari saya pasti bertanya langsung kepada pastornya, ” cerita kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 11 Januari 1976.

Ia mengakui pada akhirnya semua orang akan sampai pada kesimpulan bahwa perlu terbuka dan menerima perbedaan.

Ia mengambil contoh di tengah pandemi Covid-19, semangat solidaritas datang dari berbagai agama, suku, dan bahasa. “Kita lihat begitu banyak masyarakat kita melaksanakan solidaritas sosial. Orang Katolik memberi paket sembako atau bantuan kepada orang Islam, Hindu, Budha, Konghocu, dan Kristen. Begitu sebaliknya sehingga semua orang merasa bersaudara. Tidak pernah ada warga yang bertanya paket datang dari mana atau gereja mana,” katanya.

Di tempat terpisah, Kepala Desa Bojonangka, Kecamatan Gunung, Putri Amir Arsyad mengapresiasi perjuangan umat Katolik hingga berdirinya gereja. Ia mengatakan, dengan berdirinya gereja ini mau menegaskan komitmen kebangsaan masyarakat untuk saling menghargai satu dengan yang lain.

Amir mengatakan, toleransi harus terjadi antardua pihak dan tidak terjadi hanya kepada satu pihak. Menurutnya, dialog terjadi antardua pihak bukan monolog yang hanya satu orang berbicara. Maka, ia menegaskan, penting sekali menyelesaikan masalah dengan dialog. “Saya berpikir manusia terlahir sebagai mahkluk sosial yang saling membuka diri kepada sesama,” ujarnya.

Amir menegaskan, “Para pendiri bangsa telah mengajarkan supaya kita saling menghargai, tolong menolong, toleransi, dan menerima perbedaan. Bangsa ini tidak terbentuk dari satu agama atau suku saja tetapi dari ragam suku dan agama. Maka saya pastikan umat beragama di Desa Bojongnangka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan iman, sejauh itu tidak bertentangan dengan aturan.”

Kearifan Lokal

Sementara itu anggota Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Bogor, Habib Novel Kamal Alaydrus juga menyinggung soal dialog. Ia mengatakan, masyarakat Indonesia tumbuh dan berkembang dalam budaya saling menghargai dan hal itu tercipta dalam dialog. “Kita sama-sama membuktikan bahwa persoalan pelik apapun dapat diselesaikan melalui komitmen yang kuat untuk memperjuangan kebaikan seperti cara-cara yang bijaksana dengan mengedepankan musyawarah mufakat sebagai warisan kearifan lokal,” ujarnya.

Musyawarah hendaknya melibatkan semua elemen masyarakat agar bersama-sama mencari jalan keluar dari sebuah persoalan. Kalau dialog ini tercipta, persoalan beberapa gereja yang sulit mendapatkan IMB atau sudah memiliki tetapi sulit membangun, kata Habib Kamal hendaknya bisa kolaborasi antarelemen masyarakat agar tidak muncul isu yang menyentuh aspek sensitifitas sosial. “Berbahaya jika sudah menyangkut agama, apalagi tidak ada dialog di situ. Saya merasa resolusi konflik yang berdimensi sosial keagamaan sangat membutuhkan partisipasi pemangku kebijakan,” ujarnya.

Habib Kamal berpesan, dialog yang tulus tidak pernah berujung kebencian. Jika semua elemen membangun komitmen, menjalani keberagaman melalui proses dialog, mediasi, diskusi, dan menghargai perbedaan, tentu persoalan IMB bukan konsen utama dalam persoalan keagamaan.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP, Edisi No.07, Tahun ke-76, Minggu, 13 Februari 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here