Ikut-ikutan? Nanti Dulu!

187
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – Mengikuti atau mencontoh adalah aktivitas yang wajar dalam proses belajar. Kita menguasai sesuatu diawali dengan mencontoh untuk memahami prosesnya dan akhirnya kita bisa menghasilkan kemampuan baru dalam hidup kita. Maka, ikut adalah proses yang baik, jika didahului pertimbangan yang baik dan alasan yang benar.

Nah bagaimana dengan ikut-ikutan? Apa bedanya ikut dan ikut-ikutan? “Ikut” kelihatannya lebih bisa dipertanggungjawabkan. Sementara “ikut-ikutan” konotasinya sekadar terbawa arus tanpa benar-benar mempertimbangkan atau memahami alasannya.

Dalam dunia psikologi dikenal istilah “konformitas” yaitu sikap mengubah perilaku agar sesuai dengan norma kelompok. Hal ini dilakukan karena kebutuhan untuk diterima dan disukai, atau menghindari penolakan dari orang lain atau kelompok.

Sayangnya lantas ada kecenderungan muncul solidaritas semu, yang tidak berdasar pada nilai-nilai yang baik, namun hanya karena sebagian besar orang melakukannya.

Sementara kita tahu, hanya karena banyak orang melakukan sesuatu, bukan berarti sesuatu itu benar. Di sinilah diperlukan keberanian untuk tampil beda. Beda tetapi benar.

Resikonya memang bisa dijauhi atau dianggap aneh. Tetapi itu hanya sementara, sebab bila kebenaran sudah terkuak, maka yang berbeda itu justru yang menyelamatkan, dan akan mendapat pujian.

Sebenarnya ikut-ikutan pun bisa membangun dan produktif. Kuncinya adalah, apa dasar kita memilih untuk ikut sesuatu atau ikut-ikutan berbuat sesuatu. Alasan yang dilatarbelakangi pertimbangan moral yang benar dan baik, membuat keputusan kita mengikuti sesuatu menjadi berkat bagi hidup kita dan orang lain.

Pertimbangan yang baik akan membawa manfaat yang baik, sementara bila proses pertimbangan itu absen atau tidak dilakukan dengan baik, hasil dari ikut-ikutan bukan saja tidak bermanfaat, tetapi juga bisa mendatangkan situasi tidak kondusif bagi sesama maupun lingkungan. Kita pun bisa terombang-ambing seperti orang yang tidak mempunyai pendirian.

Ikut yang didasari moral kebaikan dan keluhuran bukan hanya baik, tetapi wajib hukumnya, misalnya ikut teladan Yesus, atau ikut-ikutan para pecinta lingkungan memunguti sampah ketika sedang berjalan-jalan di pantai dan mendaki gunung. Namun ikut-ikutan tanpa direnungkan apa dasarnya atau apa akibatnya, bisa melahirkan kemandekan pertumbuhan pribadi, bahkan bisa menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain.

Dunia media sosial di jaman ini menciptakan suasana yang sebegitu rupa, sehingga proses untuk merenungkan apa dasar dari kita memilih mengikuti sesuatu, menjadi minim. Kita terbiasa ikut meng-klik “like” untuk banyak hal, seperti otomatis, tidak dibaca dan direnungkan dulu baik-baik apakah suatu postingan memang layak mendapat “like”dari kita.

Di kesempatan lain, orang beramai-ramai merutuki sosok yang dianggap bersalah atau kontroversial, kemudian saling berlomba memposting komentar yang bernada mencela untuk suatu kejadian yang viral, tanpa lebih dulu mencermati apa yang sebenarnya terjadi, dengan mengumpulkan informasi tentang latar belakang peristiwa itu.

Dalam dunia media sosial, penghakiman tanpa dasar menjadi jamak, dan kebiasaan berhenti sejenak untuk merenungkan sebuah kejadian sebelum memberikan reaksi, menjadi makin langka.  Beberapa waktu lalu telah terjadi tawuran maut di kota Tangerang, dan tawuran itu diawali oleh saling ejek di media sosial. Ikut-ikutan emosi sangat mungkin menjadi salah satu pemicu kejadian yang menyedihkan ini.

Kadang ikut-ikutan sudah dianggap umum dalam dunia maya, sehingga kita tidak merasa risih lagi. Contoh yang sederhana adalah menyalin teks ucapan selamat dari salah satu anggota grup Whatsapp, untuk disampaikan kepada anggota grup yang lain yang sedang merayakan sesuatu. Hal itu membuat sebuah ucapan bahagia tidak lagi mempunyai nuansa personal, melainkan sekedar pengulangan dan sekedar ada. Yah, karena situasinya serba mudah dan instan.

Situasi yang meminta untuk cepat-cepat direspons tanpa sempat berpikir panjang, di tengah kebutuhan kita merespon seribu satu postingan lain yang menanti untuk kita lihat di berbagai platform media sosial. Relasi yang natural dan genuine (tulus, asli) dalam kehangatan dan kedalaman, berganti menjadi relasi serba cepat dan seragam. Massal, masif, namun dangkal makna dan kering kesan.

Ada lagi bahaya ikut-ikutan yang sangat merusak negeri ini, yaitu ikut-ikutan korupsi. Karena begitu sering dilakukan di semua lini, korupsi sampai sudah dianggap biasa dan seolah-olah tidak berdosa lagi. Tentu saja ini mengerikan, dan semuanya berawal dari situasi di mana kita makin sering mengabaikan pentingnya berhenti sejenak, berusaha dulu mencari data dan fakta, serta merenungkan segala sesuatu, sebelum memilih mengikuti sesuatu bagaikan otomatis.

Kitab Suci sudah memberikan teladan yang dapat kita jadikan acuan agar kita mempunyai prinsip yang benar, tidak mudah ikut-ikutan, dan tidak takut untuk berbeda, jika itu adalah kebenaran.

Dalam Mat 16:13-20, Yesus bertanya kepada para murid-Nya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Maka para murid menjawab, “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, dan ada pula yang mengatakan: Yeremia, atau salah seorang dari para nabi”.

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Perhatikanlah bagaimana Petrus memberikan jawaban yang berbeda dari pendapat orang-orang di sekitarnya.

Petrus tidak asal berpendapat dan menjawab sekedar sama dengan pendapat orang. Sebelum jawaban tepat itu diberikannya, tentu kita membayangkan ada proses yang Petrus lalui. Selama relasi dan kedekatannya dengan Yesus, tentulah ia mengamati, merenungkan dengan hati, dan menilai dengan pikirannya, sehingga akhirnya ia bisa menarik kesimpulan dengan benar.

Kita tahu, setelah pengakuan Petrus mengenai siapa Yesus itulah, kemudian Tuhan Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas Petrus Sang Batu Karang, Gereja yang terus bertahan hingga hari ini, dan alam maut tidak akan menguasainya, seperti janji-Nya. Betapa berharganya mempunyai prinsip yang benar, berani tampil beda demi kebenaran, dan tidak sekedar terbawa arus. Kita ingat ada pepatah yang mengatakan, ‘only dead fish go with the flow’ (hanya ikan yang mati yang bergerak bersama arus, alias, ikan yang hidup akan berenang melawan arus itu).

Akhirnya, kita juga dapat belajar dari Bunda Tuhan kita Yesus, Bunda Maria, yang merenungkan segala sesuatu dalam hatinya, sehingga Maria dapat senantiasa merespon dengan sikap iman yang benar terhadap segala hal besar yang harus dilaluinya dalam hidupnya, yang tidak seluruhnya ia pahami.

Caecilia Triastuti Djiwandono

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here