Memperjuangkan Keselamatan Integral, Kunjungan Paus ke Kongo

124
Paus Fransiskus mendapat lambaian dan senyuman hangat oleh umat di Republik Demokratik Kongo.
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.COM – “Melayani umat di Kongo tidak hanya menangani keselamatan jiwa semata tetapi keselamatan integral seorang manusia. Rohani dan jasmani.”

ANTUSIASME, kegembiraan, dan semangat misionaris umat Katolik di Kongo memberi oksigen bagi seluruh Gereja. Itulah pernyataan membekas Paus Fransiskus dalam pertemuan terakhirnya di Republik Demokratik Kongo (RDK) pada hari Jumat, 3/2/2023.

“Sebagai sebuah Gereja kita perlu menghirup udara murni Injil, untuk menghilangkan udara tercemar dari keduniawian, untuk melindungi hati muda yang beriman. Begitulah cara saya membayangkan Gereja Afrika dan begitulah cara saya melihat Gereja Kongo ini,” ungkapnya saat bertemu dengan para uskup negara itu seperti dilansir oleh CNA, 03/02/2023.

Paus Fransiskus disambut hangat oleh dua orang anak saat tiba di Republik Demokratik Kongo.

Sebelum terbang ke Sudan Selatan, Paus Fransiskus bertemu dengan 57 dari 74 uskup DRC aktif dan emeritus di markas Konferensi Waligereja Kongo (CENCO). Bapa Suci menyatakan bahwa melihat Gereja di RDK sebagai, “Gereja yang muda, dinamis dan penuh sukacita, dimotivasi oleh semangat misionaris, oleh kabar baik bahwa Allah mengasihi kita dan bahwa Yesus adalah Tuhan.”

Gereja Peduli

Saat menginjakan kakinya di Benua Afrika, pemimpin Gereja Katolik berusia 86 tahun ini tengah mendapati dirinya berpijak di sebuah negara dengan umat Katolik yang memainkan peranan penting dalam pelayanan publik (kesehatan dan pendidikan). Berdasarkan data statistik Vatikan, RDK memiliki lebih dari 52 juta umat Katolik dari total populasi sebesar 90 juta orang. Tercatat RDK memiliki jumlah fasilitas kesehatan Katolik tertinggi di Afrika – dengan 2.185 unit, diikuti oleh Kenya 1.092 unit, dan Nigeria 524 unit.

Awalnya beberapa fasilitas kesehatan didanai oleh Vatikan dan negara-negara barat. Ini karena RDK kekuarangan sumber daya manusia, medis, material dan keuangan yang kronis di fasilitas kesehatan pemerintah. Tidak tinggal diam, gereja lokal juga berupaya serta telah meningkatkan dan mengembangkan fasilitas kesehatan dan mengalokasikan pekerja medis di setiap keuskupan di seluruh negeri.

Lebih dari tiga dekade, masyarakat Kongo telah mengenal perang, terutama di area timur. Hal ini menyebabkan keterbelakangan dan kehancuran infrastruktur yang ada, termasuk rumah sakit dan sekolah. Dengan koordinasi Biro Kedokteran Keuskupan Des Ouvres, Gereja Katolik setempat telah membangun fasilitas kesehatan baru yang dapat diakses oleh semua orang, terlepas dari afiliasi politik atau agama. Gereja percaya pada semangat ekumenisme tanpa diskriminasi.

Selayang Pandang

Melansir Vatican News, 26/02/2023, Katolik Roma berdiri kokoh selama pemerintahan kolonial Belgia di negara yang dipelopori oleh Raja Leopold II dari Belgia (1885-1960). Periode ini menyaksikan kedatangan Misionaris Scheut (juga dikenal sebagai White Fathers) dan biarawati pertama, yang didahului oleh Spiritan Fathers.

Saat itu, penguasa Belgia mengizinkan dan secara aktif mendukung pendirian sekolah dan rumah sakit Katolik. Pada tahun 1954, Universitas Kongo pertama, Universitas Jesuit “Lovanium”, diresmikan di Léopoldville (sekarang Kinshasa).

Pada tahun 1956, tahbisan uskup Kongo pertama, Mgr. Pierre Kimbondo diadakan. Kemudian diikuti pada tahun 1959 penunjukan Uskup Agung Leopoldville, seorang masyarakat asli pertama, Mgr. Joseph Malula. Ia juga menjadi kardinal pertama di negara itu.

Pada tahun 1930, Paus Pius XI membentuk Delegasi Apostolik untuk Kongo-Belgia, yang diangkat menjadi Nunciatura pada tahun 1963, setelah kemerdekaan Kongo.

Sayangnya, hubungan baik antara Negara dan Gereja mulai memburuk selama masa jabatan panjang diktator Mobutu Sese Seko, yang antara lain memberlakukan nasionalisasi sekolah dan universitas Katolik. Kebijakan tersebut menyebabkan ketegangan dengan Keuskupan Kongo karena vokal mengkritisi rezim Mobutu yang otoriter dan korup.

Dengan demikian, ketegangan dan intimidasi terhadap Gereja berlanjut bahkan setelah Mobutu dipaksa mundur. Bahkan setelah dua Perjalanan Apostolik Paus St. Yohanes Paulus II ke negara Afrika pada awal 1980-an pun Gereja tetap mendapat tekanan. Mendiang Paus asal Polandia ini mengunjungi Zaire pada tahun 1980, untuk peringatan seratus tahun evangelisasi. Republik Zaire adalah nama negara yang berdiri antara 27 Oktober 1971 hingga 17 Mei 1997 yang saat ini Bernama Republik Demokratik Kongo. Kemudian di tahun 1980, Paus Yohanes Paulus II kembali mengunjungi di tahun 1985 untuk Beatifikasi Suster Anuarite Nengapeta, “St. Agnes dari benua Afrika”.

Walaupun diterpa angin kencang, para uskup Kongo tidak jemu-jemu menyuarakan kritik terhadap korupsi yang sedang berlangsung, kekerasan dan pelanggaran yang dilakukan terhadap rakyat Kongo setelah kematian Mobutu dan penggantinya oleh Presiden Laurent-Désiré Kabila pada 1990-an. Mereka bahkan sampai mengorbankan nyawa.

Ini terjadi pada Uskup Agung Bukavu, Mgr. Christophe Munzihirwa yang dibunuh pada 29 Oktober 1996 oleh milisi Rwanda yang bersekutu dengan Kabila, karena mencela ketidakadilan dan proyek perang di wilayah Great Lakes.

Terlepas dari ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung di negara itu, Gereja Katolik Kongo terus menjadi salah satu Gereja terpenting di Afrika. Ini dibuktikan dengan jumlah umat Katolik yang terus bertambah, yang mencapai sekitar 33% dari populasi (90% di antaranya adalah Kristen); kehadiran Gereja yang tinggi bahkan di antara kaum muda; panggilan berkembang; Aktivisme awam Katolik dan kehadirannya yang tersebar luas di masyarakat dan di media.

Vitalitas Gereja

RDK memiliki total 4.602 imam diosesan yang melayani di hampir 1.500 paroki dan 48 keuskupan, dan juga banyak imam Fidei Donum Kongo yang bekerja di Afrika, Eropa, dan Amerika. Mereka dibantu oleh 11.000 kaum religius baik laki-laki dan perempuan Kongo yang terlibat dalam berbagai bidang reksa pastoral dan para pemimpin utamanya dikumpulkan dalam dua badan: ASUMA (Asosiasi Pemimpin Tinggi) dan USUMA (Persatuan Pemimpin Tinggi).

Fitur penting dari Gereja Kongo adalah aktivisme awam, dengan beberapa asosiasi dan gerakan awam berkumpul di Dewan Kerasulan Katolik Awam (CALCC), banyak katekis serta kaum awam yang memberikan kesaksian tentang iman mereka di bidang politik, ekonomi, dan bidang budaya.

Merayakan Misa bersama umat

Oleh karena itu, kaum awam di Kongo memberikan kontribusi yang signifikan terhadap vitalitas Gereja lokal, yang juga secara aktif terlibat dalam bidang komunikasi, dengan memiliki lebih dari 30 stasiun radio, beberapa saluran televisi keuskupan, surat kabar, dan publikasi.

Mitra Pertama Negara

Selain itu, Gereja Kongo adalah aktor sosial terkemuka dan pada kenyataannya, mitra pertama negara di bidang pendidikan dan kesehatan. Gereja Katolik mampu mengkompensasi kurangnya layanan publik melalui jaringan rumah sakit, pusat sosial, dan sekolah terkenal, yang telah dibentuk banyak pemimpin Kongo.

Imam misionaris Xaverian asal Indonesia yang bertugas di Kongo, Pastor Hieronimus Harum, SX membenarkan hal tersebut saat dihubungi HIDUP via zoom pada Kamis, 2/2/2023, bahwa Peran Gereja Katolik di Kongo sangatlah signifikan. “Gereja memiliki suara dan kekuatan untuk mempengaruhi keputusan politik melalui CELCO,” terang imam yang sudah tinggal di Afrika selama 16 tahun ini.

Ia menambahkan, “Gereja Katolik di Kongo begitu terlibat dalam stabilisasi kehidupan politik di dalam negara dan kehidupan masyarakat sehari-hari.” Dikatakan, Gereja Katolik memainkan peran penting ketika pemerintah mandeg dalam hal pembangunan, pendidikan, dan kesehatan.

Sebagai contoh, di Paroki Keluarga Kudus Luvungi, Keuskupan Uvira, Kivu Selatan, Kongo, tempat Pastor Ronny, sapaan akrabnya, berkarya, terlihat keterlibatan Gereja di segala lini. “Di paroki kami ada rumah sakit tingkat kecamatan yang sangat terkenal, lalu ada juga lembaga pendidikan mulai dari SD, SMP, SMK. Kami juga menangani pembangunan air minum, membuka pusat nutrisi untuk menangani busung lapar, serta menjadi fasilitator bagi mereka yang mengalami kekerasan,” sebutnya. “Ketika pemerintah belum bisa menangani pembangunan di negara, maka Gereja hadir untuk berperan mendorong kesejahteraan,” imbuhnya.

Kongo memiliki sejarah panjang dengan kekerasan dan disitulah peran Gereja menjadi fasilitator dalam rekonsiliasi. Berdasarkan pengamatannya, perang saudara di Kongo tidak pernah berhenti. Peperangan ini dimotori oleh kelompok pemberontak M23. Selama beberapa tahun terakhir, para Uskup Kongo telah mengulangi seruan untuk perdamaian di provinsi-provinsi Timur, meratapi kehadiran pasukan asing, yang terus mengacaukan kawasan itu dengan kekerasan dan secara ilegal mengeksploitasi kekayaan mineral mereka yang luar biasa, termasuk coltan, komponen kunci perangkat elektronik.

“Karena Kongo diingini oleh semua negara untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alamnya kemudian dihadapkan dengan pemerintah yang lemah, dan masyarakat yang melarat, maka situasi ini amat rentan konflik dan pecah perang,” tuturnya. Contohnya saja, ditempatnya berkarya, ia banyak berinteraksi dengan penambang emas yang hidupnya belum layak. “Biasanya di mana ada kekayaan alam di situ ada perang,” sebutnya.

Ketidakadilan sosial dalam masyarakat ikut disorotnya. Kongo adalah negara kaya SDA dengan tanah yang subur, namun kemiskinan begitu tinggi. “Kita negara kaya, tetapi kekayaan itu tidak pernah kita rasakan. Negara asing dan perusahaan multinasionalah yang mengeruk dan mengambil tanpa berinvestasi kepada masyarakat,” ungkapnya mengutip perkataan Presiden Kongo.

Imam kelahiran Manggarai, 3 Januari 1979 ini menyoroti saat dirinya ditugaskan di area pedalaman Kongo, ia menyaksikan di tengah hutan banyak sekali penggalian emas oleh perusahaan besar, namun sayang di area itu tidak ditemukan jalan, rumah sakit, maupun sekolah. “Penambangan jalan terus tetapi masyarakat tidak pernah berubah, selalu miskin, selalu menderita, tanpa akses. Ini adalah ketidakdilan,” tegasnya.

Melihat ketidakdilan itu, ia berkisah, seorang uskup di Kongo pernah menulis sebuah buku berjudul “Darah di tengah Emas”. Ini menggambarkan begitu kayanya alam Kongo sekaligus begitu kayanya juga penderitaan masyarakatnya. Apalagi dengan peperangan yang tak kunjung berhenti.

Tantangan penting lainnya adalah mencegah kaum muda terlibat dalam kekerasan geng dan beberapa milisi yang bertempur di daerah konflik, yaitu di bagian timur negara itu. “Kita tahu pendidikan adalah kunci perubahan tetapi bagaimana bisa terjadi secara sempurna jika sekolah terus ditutup karena banyak demonstrasi dan hak guru tidak dibayarkan?” ungkapnya berapi-api.

Akan tetapi di tengah keterpurukan itu, Gereja Katolik, ujarnya, senantiasa menjadi garda terdepan untuk menumbuhkan harapan dan mengembalikan mimpi yang terkubur oleh situasi pahit.

Selama 30 tahun terakhir, Konferensi Waligereja Kongo (CENCO) terus mengikuti dengan cermat situasi sosial-politik lokal.  CENCO telah menyampaikan beberapa pesan dan pernyataan di saat-saat kritis, mencela momok korupsi yang meluas, tata kelola yang buruk, dan penyalahgunaan oleh pihak berwenang.

Pastor Hieronimus Harum, SX (kelima dari kanan) di depan sekolah.

CENCO juga telah mempromosikan prakarsa konkret untuk mendidik warga Kongo tentang nilai-nilai perdamaian dan demokrasi serta mendorong umat awam untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik nasional.

Gereja Katolik telah terlibat dalam penyelenggaraan pemilu nasional dengan pemantaunya sendiri, dan telah menegaskan kembali perlunya menjamin independensi efektif Komisi Pemilihan Nasional (CENI) untuk mencegah perselisihan yang terjadi tepat waktu setelah setiap putaran pemilu.

Penyebaran Sekte

Di sisi lain, Gereja Kongo juga menghadapi beberapa tantangan. Keyakinan dan praktik takhayul, santet, dan sihir masih tersebar luas bahkan di komunitas Katolik. Selanjutnya, sekte independen menyebar di negara ini.

Imam yang ditahbiskan di Padang, Sumatera Barat, pada 7 September 2013 ini menuturkan kehadiran sekte-sekte ini didukung oleh pendidikan yang rendah, ekonomi yang lemah, dan yang paling dominan kuatnya tradisi seperti perdukunan. Umumnya sekte menjanjikan kekayaan. Tidak dapat dipungkiri, banyak juga umat Kristen dan Katolik yang tergiur meskipun pada akhirnya mereka akan kembali juga ke pangkuan Gereja.

Kuatnya isu perdukunan dan santet turut menyebabkan masyarakat hidup dalam ketakutan. Akibatnya relasi dengan sesama terganggu dipenuhi kecurigaan. Menjembatani ini, imam berusaha membangun pastoral kedekatan.

“Kami menenangkan umat yang cemas dengan doa, menumpangkan tangan atas mereka yang sakit, memberkati rumah, membuka ruang konseling, dan mengunjugi mereka,” jelasnya. Tindakan tersebut sedikit demi sedikit membantu umat menyadari keagungan Tuhan Yang Mahabesar dan Mahakuasa.

“Sebagai imam, pengalaman bagaimana Tuhan memakaiku, hamba yang penuh kelemahan untuk mewartakan Kabar Baik ini begitu berkesan,” akunya. Hadir seutuhnya bagi mereka dalam suka dan duka adalah sebuah pelayanan yang memiliki dampak besar. Misionaris Xaverian yang fasih berbahasa Prancis dan Swahili ini pun menandaskan, “Melayani di Kongo tidak hanya menangani keselamatan jiwa semata tetapi keselamatan integral seorang manusia. Rohani dan jasmani.”

Ritus Zaire

Imam yang senang dengan fotografi ini juga mengungkapkan bahwa salah bentuk inkulturasi yang paling kental di Kongo adalah adanya Ritus Zaire. Ritus ini, jelasnya, menekankan pada relasi dengan leluhur. Leluhur dianggap sebagai mereka yang telah menghidupi, meskipun belum seorang Katolik, tetapi telah menghidupi nilai-nilai injil. Ada relasi antara yang hidup dan leluhur dan melihat Tuhan sebagai pemimpin.

Pada tahun 1988, Kongregasi Ibadat Ilahi dan Disiplin Sakramen menyetujui “Misal Romawi untuk Keuskupan Zaire.” Meskipun pengerjaan ritus Zaire dikatakan telah dimulai pada tahun 1961, proyek tersebut baru berakar setelah Konsili Vatikan Kedua.

Pastor Hieronimus Harum, SX

Dalam dokumennya tentang liturgi, “Sacrosanctum Concilium,” Vatikan II memberi para uskup dan umat Zaire saat itu—yang sekarang dikenal sebagai Republik Demokratik Kongo—keyakinan dan dukungan teologis yang mereka butuhkan untuk mewujudkan ritus itu. “Salah satu kontribusi utama Vatikan II,” ungkap Paus Fransiskus dalam pesan videonya, “tepatnya mengusulkan norma-norma untuk menyesuaikan dengan karakter dan tradisi berbagai bangsa.”

Pada tahun 1969, para uskup Zaire membentuk sebuah komite penelitian untuk mengumpulkan seperti apa ritus yang asli dan sesuai dengan pengalaman orang-orang Zaire itu. Hasil penelitian dipresentasikan kepada kantor Vatikan yang bertanggung jawab atas liturgi dan sakramen dan pada tahun 1973, ritus Zaire kemudian diperjelas untuk penggunaan eksperimental. Lima belas tahun dan usai dua Paus kemudian, pada bulan April 1988, ritus tersebut secara resmi diakui dan disetujui oleh St. Yohanes Paulus II.

Ritus ini bukanlah produk laboratorium, tetapi kehidupan Gereja untuk mengekspresikan Katolik dan Afrika. Untuk memahaminya, seseorang tidak hanya harus membaca buku tetapi juga membenamkan diri dalam konteks Afrika, di mana Gereja pertama-tama dianggap sebagai “Keluarga Allah”, menurut ilham Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium III, 27.

Felicia Permata Hanggu

HIDUP, Edisi No.08, Tahun ke-77, Minggu, 13 Februari 2023

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here