HIDUPKATOLIK.COM – Caritas Indonesia memulai program Perbaikan Rumah (Retrofitting) pasca erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki dengan upacara adat Loi Glete di Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur (Flotim), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pada tanggal 26 Februari 2025. Dalam program ini, Caritas membantu perbaikan rumah bagi 220 keluarga di empat dusun yang berada di wilayah Keuskupan Larantuka.
Hunian layak merupakan kebutuhan mendasar dan mendesak bagi masyarakat terdampak bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki. Caritas Indonesia bersama Caritas-PSE Keuskupan Larantuka dan Caritas-PSE Keuskupan Maumere memasukkan retrofitting sebagai bagian dari Program Pemulihan Pasca Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki yang dilaksanakan dalam satu tahun ke depan.
Sebanyak 220 keluarga menjadi penerima manfaat program tersebut, yang tersebar di empat dusun di Kecamatan Wulanggitang – Riangwulu, Gemente, Klobong Barat, dan Klobong Timur. Mereka menerima bantuan perbaikan hunian yang mengalami kerusakan parah akibat letusan gunung.

Keempat dusun tersebut, meski hanya berjarak enam kilometer dari pusat erupsi, berada di luar Kawasan Rawan Bencana (KRB) sehingga warga tidak direlokasi. Warga di dua dusun lainnya di wilayah Desa Boru – Podor dan Kampung Baru – harus direlokasi karena terletak di KRB.
Simbol Kekuatan dan Gotong Royong
Upacara Loi Glete menyiratkan simbol kekuatan, gotong royong, solidaritas, dan rasa syukur yang mendalam kepada Tuhan atas keselamatan dan limpahan berkat-Nya. Upacara ini menandakan semangat kebersamaan masyarakat untuk dapat membangun kembali rumah (kehidupan) mereka. Upacara ini juga merupakan bentuk ungkapan terima kasih kepada semua pihak yang peduli dan membantu masyarakat membangun kembali rumah mereka.
Setelah serangkaian upacara adat, Kepala Paroki Hokeng Gereja St. Maria Ratu Semesta Alam, Pastor Stefanus Damur, SVD memberkati material bangunan yang akan diserahterimakan kepada penerima manfaat.
Upacara tersebut juga dihadiri oleh Pastor Gabriel Unto da Silva selaku perwakilan dari Keuskupan Larantuka, Pastor Pey Hurint selaku Direktur Caritas-PSE Keuskupan Larantuka, Alfons Kelasa Soge selaku Kepala Desa Boru, dan Petrus Pehan Tukan selaku pejabat pemerintah Kabupaten Flotim serta perwakilan Polres Larantuka, Danramil Wulanggitang, dan Nelwan Harahap selaku Direktur Penanganan Korban dan Pengungsi BNPB.
Menurut Alfons, sebelum bencana terjadi, Desa Boru merupakan desa mandiri yang ekonominya terus meningkat bahkan menjadi kota kecil sebagai pintu masuk Kabupaten Flotim. Namun erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki mengubah semuanya.
“Warga harus menunda mimpi mereka dan berjuang keras untuk dapat melewati masa-masa sulit pasca bencana,” ujarnya.
Ia mengapresiasi kehadiran Caritas Indonesia dan berharap dapat menumbuhkan kehidupan warga menjadi lebih baik lagi.
Dalam sambutannya, Nelwan mengatakan pemerintah menghadapi berbagai tantangan dalam penyediaan hunian yang layak dan bermartabat bagi warga terdampak. Pembangunan hunian sementara (huntara) telah memperlihatkan perkembangan yang jelas. Namun pembangunan hunian tetap (huntap) bagi warga yang harus direlokasi saat ini belum bisa terlaksana karena masalah pembebasan lahan.
“Shelter adalah kebutuhan dasar yang mendesak pada masa pemulihan ini. Sudah banyak pihak yang mengulurkan tangan untuk membantu kebutuhan dasar lainnya, namun Caritas melakukan hal besar melalui program retrofitting ini. Oleh karena itu, tetaplah semangat dan yakinlah bahwa kasih Tuhan hadir disini melalui Caritas,” tegasnya lagi.
Pemerintah Kabupaten Flotim mengakui peran besar Caritas Indonesia yang selalu terlibat dalam pelayanan kemanusiaan dan penanganan tanggap darurat sejak awal hingga saat ini, demikian pernyataan Petrus. Pemerintah berterima kasih dan bersyukur bahwa banyak pihak yang peduli dan membantu di pasca kejadian bencana ini.
Bentuk Belarasa
Kehadiran Caritas Indonesia di tengah masyarakat yang terdampak bencana menjadi tanda kehadiran Gereja. Menurut Pastor Gabriel, Caritas Indonesia sendiri tidak dapat menyelesaikan persoalan kemanusiaan tanpa bekerja sama dengan pihak lain, baik pemerintah, lintas lembaga, maupun warga masyarakat.
“Solidaritas dan kekompakan adalah kunci dalam penanganan bencana. Ini adalah bentuk belarasa yang berarti panggilan kemanusiaan untuk melayani orang-orang yang dalam kesusahan,” ujarnya.
Ia juga mengatakan Caritas Indonesia hadir melalui program-program kemanusiaan karena menanggapi panggilan belarasa.
Dalam kesempatan yang sama juga dilaksanakan serah terima secara simbolik material retrofitting kepada perwakilan dari empat dusun. Acara berlanjut dengan penandatanganan berita acara serah terima barang antara Keuskupan Larantuka kepada warga Desa Boru.
Acara bertajuk Seremonial Retrofitting Perdana ini berakhir dengan pemasangan atap seng baru oleh pemilik rumah dan perwakilan dari Caritas-PSE Keuskupan Larantuka.
Wahyu Wijaya