HIDUPKATOLIK.COM – Hari Minggu Palma lalu, saya mengikuti Misa di Gereja Santa Perawan Maria Benteng Gading (SPMBG), Gading Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Seperti biasa, suasana gereja penuh sukacita. Anak-anak dan orang dewasa melambai-lambaikan daun palma, koor menyanyikan “Hosana” dengan semangat, dan homili membawa kita masuk dalam semangat perayaan.
Namun, ada satu bagian kecil dalam Injil hari itu yang begitu membekas di hati saya. Bukan tentang sorak-sorai orang banyak, bukan pula soal Yesus sebagai Raja yang dielu-elukan. Melainkan soal bagaimana Yesus memilih untuk masuk ke Yerusalem bukan dengan kuda perang, tetapi dengan menunggang seekor keledai.
Keledai-hewan yang sering dianggap bodoh, lambat, dan keras kepala. Hewan yang jarang dipakai untuk menggambarkan kejayaan atau kekuasaan. Tapi justru keledai inilah yang dipilih untuk membawa Sang Mesias masuk ke kota suci.
Ini bukan soal kebetulan. Yesus ingin menunjukkan bahwa kerajaan-Nya bukanlah kerajaan duniawi yang penuh kemegahan, tetapi kerajaan yang dibangun atas dasar kasih, kelembutan, dan kerendahan hati. Lewat simbol yang sederhana itu, Ia menyampaikan pesan besar: Tuhan tidak selalu bekerja lewat yang hebat, tetapi lewat yang setia dan bersedia.
Satu ayat yang sangat menyentuh bagi saya adalah Lukas 19:31, ketika Yesus berkata kepada para murid-Nya: “Jika ada orang bertanya, mengapa kamu melepaskannya? Jawablah, karena Tuhan memerlukannya.” Kalimat ini singkat, tapi maknanya sangat dalam. Seekor keledai yang selama ini hanya menjadi hewan beban, ternyata diperlukan oleh Tuhan. Dari situ saya merenung: Bukankah itu juga berlaku bagi kita?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering merasa “biasa saja”. Tidak punya gelar tinggi, tidak memimpin pelayanan besar, tidak viral di media sosial. Tapi seperti keledai itu, mungkin justru kita sedang dipersiapkan untuk menjalankan peran penting dalam rencana Tuhan — bukan karena kita hebat, tapi karena kita mau hadir dan bersedia.
Saya jadi teringat satu pengalaman di lingkungan tempat saya tinggal. Ada seorang bapak— kami biasa memanggilnya Pak Martin — yang tidak pernah mau bicara di depan banyak orang. Ia bukan proaktif seperti ketua lingkungan, bukan pula organisator handal. Tapi setiap kali ada Misa lingkungan, doa rosario, atau kegiatan sosial, Martin selalu hadir paling awal. Ia bantu atur kursi, menyalakan lilin, membereskan peralatan, bahkan kadang menyapu tanpa diminta. Tidak ada yang pernah memintanya secara resmi untuk jadi “petugas tetap”, tapi semua tahu: kalau Pak Martin sudah datang, kami tenang.
Tidak ada yang menulis nama Martin di laporan acara, tidak ada ucapan terima kasih di grup WhatsApp lingkungan. Tapi tanpa kehadirannya, acara kami mungkin tak akan berjalan serapi itu. Dalam diamnya, dalam kesederhanaannya, Tuhan telah memakai dia untuk bekerja bagi-Nya.
Saya yakin, di setiap lingkungan atau paroki, selalu ada sosok seperti ini. Orang-orang yang tidak menonjol, tapi setia. Yang tidak banyak bicara, tapi selalu bisa diandalkan. Mereka seperti keledai dalam Injil hari Minggu Palma—tidak disorot, tapi justru menjadi bagian penting dari karya Tuhan.
Contoh lainnya, di paroki kami sendiri, ada tim konsumsi yang hampir tidak pernah muncul ke depan. Tapi mereka selalu hadir saat ada kegiatan: entah Misa keluarga, retret OMK, atau kegiatan bakti sosial. Dalam diam, mereka menghidangkan makanan dengan senyum tulus. Saya pernah bertanya kepada salah satu dari mereka, “Capek nggak, Bu?” Ibu itu hanya tersenyum dan berkata, “Selama masih bisa dipakai Tuhan, saya senang.”
Jawaban itu membuat saya terdiam. Begitu sederhana, tapi begitu dalam.
Terkadang kita berpikir bahwa untuk melayani Tuhan, kita harus punya talenta luar biasa. Padahal yang paling Tuhan cari adalah kesediaan. Hati yang terbuka. Kesetiaan dalam hal-hal kecil.
Kisah keledai ini mengajak kita untuk melihat kembali peran kita di dalam Gereja dan masyarakat. Mungkin kita bukan imam, bukan pengkotbah, bukan aktivis paroki. Tapi Tuhan tetap bisa memakai kita — lewat telinga yang mau mendengar, tangan yang mau membantu, kaki yang mau melangkah, dan hati yang mau dibentuk.
Jadi, saat kita merasa kecil, tidak penting, atau tak terlihat, mari kita ingat kalimat sederhana yang Yesus ucapkan: “Tuhan memerlukannya.”
Ya, Tuhan memerlukan kita — apapun latar belakang kita, berapapun usia kita, apapun kondisi kita saat ini. Jika Tuhan saja memilih seekor keledai untuk mengantar-Nya menuju Yerusalem, mungkinkah Ia juga sedang memilih kita untuk membawa-Nya masuk ke dalam hati sesama?
Mari kita belajar untuk hadir, setia, dan bersedia, walau dalam hal-hal sederhana. Karena justru dari kesederhanaan itulah, Tuhan kerap memulai karya-Nya yang luar biasa.
“Aku siap, Tuhan. Pakailah aku.”
Etwin Edi Hapsoro umat Paroki Santo Laurensius, Tangerang Selatan