HIDUPKATOLIK.COM – SENIN, 21 April 2025, ketika ummat Kristiani seluruh dunia sedang merayakan Paskah, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, Paus Fransiskus, penerus Santo Petrus yang ke-266, wafat tepat pada jam 12:35 WIB. Beliau akan dikenang oleh dunia pada umumnya, dan ummat Katolik pada khususnya, sebagai sosok seorang Paus yang memiliki keistimewaan nyaris tak ada duanya.
Sejak dia melangkah ke balkon Basilika Santo Petrus pada suatu malam di bulan Maret tahun 2013, dan hanya meminta: “Doakanlah aku,” umat Katolik dunia merasakan awal dari sesuatu yang baru akan terjadi. Benar saja: Sejarah mencatat, beliau adalah Paus dari Ordo Jesuit pertama; beliau Paus dari belahan dunia Amerika yang pertama; dan beliau pula Paus pertama yang memakai nama Fransiskus yang diambil dari nama Santo Fransiskus dari Assisi, seorang santo yang dikenal karena kerendahan hati, belas kasih, dan solidaritasnya dengan orang miskin. Paus Fransiskus bukan hanya mengabadikan nama tersebut, tetapi lebih dari itu: mewujudkan semua karakter sang santo!
Paus Fransiskus adalah sosok yang hadir bukan dengan kemegahan atau kemegahan, tetapi dengan martabat yang tenang layaknya seorang gembala yang berjalan di samping gembalaannya. Dalam dua belas tahun masa kepausannya, Paus Fransiskus menunjukkan kepada dunia bahwa kekuatan sejati Gereja tidak terletak pada kekuasaan atau tradisi saja, tetapi pada belas kasih. Singkatnya, Paus yang merangkul orang-orang terbuang, yang membasuh kaki para tahanan dan pengungsi, dan yang tak henti-hentinya mengingatkan dunia dan ummatnya bahwa “nama Tuhan adalah Belas Kasih.”|
Jorge Bergoglio, nama asli Paus Fransiskus, lahir di Buenos Aires, Argentina, pada tahun 1936, berasal dari keluarga yang sederhana. Sebagai putra imigran Italia, beliau semasa hidupnya adalah tumbuh dan berkembang sebagai seorang pria yang dekat dengan rakyat, bahkan jauh sebelum beliau mengenakan jubah putihnya. Kesederhanaan itu tidak pernah meninggalkannya, bahkan saat ia berjalan di aula marmer Vatikan. Alih-alih tinggal di Istana Apostolik, beliau memilih tinggal di sebuah wisma sederhana, Domus Sanctae Marthae. Seakan memberi contoh bahwa kepemimpinan di Gereja bukanlah suatu hak istimewa, tetapi lebih sebagai pernyataan dan laku pelayanan.
Kepemimpinan Paus Fransiskus tidak kenal takut dibalik kelembutannya. Ia tidak takut untuk berbicara tentang kemiskinan, perubahan iklim, penderitaan para migran, luka yang disebabkan oleh perang dan ketidakpedulian. Kritik beliau terhadap brutalitas genosida Israel di Gaza, Palestina, sangat tajam dan membuat penguasa di Yerusalem marah besar. Beliau menyerukan dunia untuk membangun “budaya perjumpaan” dan mengingatkan dunia yang terpecah belah bahwa dialog, bukan perpecahan, adalah jalan menuju perdamaian. Dalam ensikliknya, Laudato si’ (Puji bagi-Mu) dan Fratelli tutti (Persaudaraan Universal), Paus Fransiskus mengeluarkan tantangan berani untuk merawat rumah bersama umat manusia dan mengakui satu sama lain sebagai saudara dan saudari, melampaui batas-batas dan sistem kepercayaan.
Bagi saya, sebagai seorang Muslim, apa yang dipesankan oleh Sri Paus itu adalah sebuah bukti ketulusan beliau untuk terus melanjutkan dialog lintas-iman yang semakin diperlukan sebagai salah satu ikhtiar mencari berbagai solusi damai bagi dunia yang sedang berada di tubir jurang akibat konflik-konflik yang bersumber dari keserakahan dan ambisi kuasa, khususnya dari Negara-negara adi daya. Paus Fransiskus akan dikenang dalam kehidupan antar umat beragama karena hati beliau yang terbuka lebar untuk semua orang. Ia tidak mengukur kekudusan hanya dengan doktrin, tetapi dengan kasih dalam tindakan.
Diberitakan, pada hari-hari terakhir kehidupan beliau, meskipun tubuhnya semakin lemah, jiwanya tetap kuat. Pada hari Minggu Paskah, sehari sebelum kematiannya, ia muncul di hadapan orang banyak di Lapangan Santo Petrus, memberikan berkat yang cemerlang, isyarat terakhir sukacita, harapan, dan solidaritas. Beliau juga tetap melakukan kebiasaan berkomunikasi melalui telepon dengan umat Kristiani di Gaza Palestina, memberi penguatan doa dan dorongan rohani kepada mereka menghadapi fitnah, kekejaman, dan brutalitas rezim genosidal Israel!.
Beliau telah memilih hari yang paling indah untuk beristirahat dengan tenang, bersatu kembali dengan orang-orang kudus, dan dipeluk oleh Dia yang beliau panggil Bapa. Umat Katolik sedunia tentu sangat berduka atas kepergian Sri Paus, namun hendaknya berusaha juga untuk meneruskan visi kemanusiaan beliau. Bagi Paus Fransiskus, “Gereja agar lebih banyak mendengar daripada berbicara, agar lebih banyak menyembuhkan daripada melukai, dan bagi yang memimpin bukan hanya dari atas, tetapi dari samping.” Selamat jalan Sri Paus, Berkah Dalem!

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 18, Minggu, 4 Mei 2025






