web page hit counter
Sabtu, 6 Desember 2025
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Menteri Agama Nasaruddin Umar: LP3KN “Bengkel Spiritualitas” Umat Katolik

Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM – “Jiwa kita makin hari makin mengeras, karena kehidupan yang makin keras dan virus globalisasi yang kian masif. Tapi syukur, masih ada nyanyian suci yang bisa melembutkannya.”

Kata-kata itu bukan sekadar pembuka sambutan Menteri Agama RI, K.H. Nasaruddin Umar, dalam Musyawarah Nasional III Lembaga Pembinaan Pengembangan Pesparani Katolik Nasional (LP3KN) bulan lalu di Jakarta. Ia seperti sedang menyentuh sesuatu yang tak kasatmata, namun nyata kita rasakan bersama: kerinduan akan ruang batin yang tenang, dalam kehidupan publik yang kian gaduh dan keras.

Pesparani, yang oleh sebagian orang hanya dikenal sebagai ajang lomba paduan suara umat Katolik, justru menyimpan misi yang jauh lebih mendalam. Ia bukan hanya soal teknik vokal, bukan pula semata ajang prestasi liturgis. Di balik setiap bait Mazmur dan lagu rohani, tersimpan harapan akan bangsa yang lebih damai, masyarakat yang lebih teduh, dan manusia yang lebih manusiawi. Dan di balik semua itu, ada LP3KN — lembaga yang selama tujuh tahun ini diam-diam merawat api kecil itu agar tetap menyala.

Oasis Batin

Kegiatan yang berlangsung di Auditorium H.M. Rasjidi, Kantor Kementerian Agama, medio Mei 2025 lalu bukan sekadar pertemuan biasa, tetapi momen permenungan spiritual. Di forum yang dihadiri perwakilan LP3K-Daerah dari berbagai daerah, Menteri Agama menyampaikan pesan yang melampaui batas acara, sebuah ajakan untuk kembali pada esensi iman, pada kelembutan jiwa, dan pada seni yang mempersatukan.

Dalam sambutannya, Menag mengingatkan bahwa Pesparani bukanlah sekadar lomba atau panggung hiburan rohani. Ia menyebut Pesparani sebagai ruang penghayatan, tempat jiwa-jiwa yang mulai mengeras oleh kerasnya hidup menemukan kembali kelembutannya. “Nyanyian suci dapat melembutkan jiwa kita yang mulai mengeras akibat kerasnya kehidupan dan pengaruh virus globalisasi,” ujarnya.

Baca Juga:  Pertemuan Katolischer Akademischer Ausländer-Dienst (KAAD): Jembatan Ilmu, Iman, dan Solidaritas Pangan

Kalimat itu bukan sekadar metafora. Dalam dunia yang dipenuhi kekerasan informasi, konflik sosial, dan keterasingan eksistensial, nyanyian rohani tampil sebagai oasis batin. Maka Pesparani pun bukan ajang seremonial belaka, tetapi ruang pembentukan spiritual umat yang relevan bagi zaman.

Menag juga menegaskan bahwa LP3KN harus menjadi “bengkel spiritualitas” – tempat memperbaiki jiwa yang retak, bukan sekadar menyusun program atau kegiatan teknis. Ia menyinggung pentingnya seni sebagai sahabat sejati agama. “Jangan pernah mempertentangkan seni dan agama. Seni mempunyai semangat yang sama dengan agama,” katanya. Dalam lanskap Indonesia yang majemuk, pesan ini menjadi penting: iman Katolik mesti hadir dalam bentuk yang menyentuh, membumi, dan mampu berdialog secara terbuka.

Munas III LP3KN memang telah berlalu, tetapi pesannya tak berakhir di sana. Justru, tantangan terbesar kini adalah menerjemahkan semangat itu ke dalam gerakan yang nyata dan berkelanjutan. Ketua Umum LP3KN, Muliawan Margadana, mengajak seluruh pengurus dan umat untuk menjadikan Pesparani sebagai panggilan moral dan spiritual, bukan hanya festival seni suara. “Ini adalah panggilan untuk merawat kasih, memperkuat persaudaraan, dan membangun harmoni dalam keberagaman Indonesia,” ujarnya. Apalagi, lanjutnya, Paus Leo XIV yang baru terpilih pun menekankan pentingnya gereja misioner yang berdialog dengan kasih.

Medium Evangelisasi

Dalam semangat itulah LP3KN kini menyusun arah baru. Bukan semata jadwal lomba atau kompetisi, tetapi program-program pembinaan rohani yang menjangkau seluruh Indonesia. LP3KN ingin menjangkau umat di daerah-daerah terpencil, membina paduan suara di pelosok, dan melatih pelayan liturgi yang bukan hanya bernyanyi merdu, tetapi juga mengerti kedalaman iman yang diwartakan.

Baca Juga:  Pesan Paus Leo kepada Para Seniman: ‘Dalam diri orang miskin, Tuhan Terus Berbicara kepada Kita’

Bersama OMK, sekolah-sekolah Katolik, komunitas lintas iman, dan para seniman rohani Katolik, LP3KN merancang sinergi yang lebih luas. Nyanyian liturgi akan menjadi medium evangelisasi, dialog, dan peradaban kasih. Melalui pelatihan-pelatihan, workshop seni, dan kolaborasi kreatif, LP3KN berharap dapat membentuk generasi Katolik yang bukan hanya terampil secara musikal, tetapi juga berjiwa profetis.

Dalam penutup refleksinya, Menteri Agama menekankan pentingnya kesadaran spiritual di tengah kompleksitas zaman. “Manusia tidak akan pernah menjadi malaikat, tapi jangan juga menjadi iblis. Di antara keduanya, ada ruang kesadaran yang harus terus diasah,” katanya. Pesparani, menurutnya, adalah alat pengasah itu – sebuah jalan sunyi untuk menjaga agar jiwa tetap lembut dan peka terhadap nilai-nilai luhur agama.

Di tengah hiruk pikuk pembangunan fisik dan kompetisi ekonomi, suara nyanyian rohani yang jujur dan tulus menjadi penyeimbang. Ia mungkin tak memekakkan telinga publik, tapi mampu menenangkan hati. Dan justru di situlah kekuatannya.

Refleksi spiritual juga disampaikan dalam Misa Pembukaan Munas, yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal KWI, Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM, dan dihadiri oleh Mgr. Valentinus Saeng, CP. Dalam homilinya, Mgr. Paskalis menekankan bahwa Pesparani harus dipahami bukan sekadar acara liturgis, melainkan pesta iman yang menyatukan umat Katolik dari seluruh Indonesia dalam semangat persaudaraan dan kesatuan. “Musik liturgi bukan hanya sarana ekspresi iman, tetapi juga kekuatan untuk membangun jembatan antargenerasi dan antarbudaya,” tuturnya.

Ia juga mengingatkan bahwa dalam menyanyikan lagu-lagu liturgi dengan hati, umat tidak hanya memuliakan Allah, tetapi juga menyatukan diri dengan sesama. “Pesparani harus menjadi gerakan rohani yang menyentuh hidup nyata umat, menyembuhkan yang lelah, menguatkan yang rapuh, dan mempererat yang tercerai,” ujarnya. Refleksi ini sejalan dengan ajakan Paus Fransiskus dan Paus Leo XIV agar Gereja menjadi ruang perjumpaan, bukan hanya ritual.

Baca Juga:  Kongregasi FCh Rayakan 34 Tahun Kemandirian dan Hidup Membiara di Palembang

Sementara itu, Ketua Panitia Munas III LP3KN, Reginal R. Capah, mengamini pesan Menag dan Ketua Umum LP3KN. Ia menambahkan bahwa Munas ini bukan hanya ajang administratif, tapi juga menjadi momentum spiritual untuk menyegarkan kembali arah pelayanan. “Kita tidak sedang membangun struktur organisasi semata, tetapi menata ulang semangat pelayanan. LP3KN harus menjadi ruang pembinaan batin, bukan sekadar biro kegiatan,” ujarnya. Menurutnya, Pesparani dapat menjadi cara baru umat Katolik untuk memperlihatkan iman secara lebih inklusif dan kontekstual dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk.

Reginal juga menekankan pentingnya sinergi lintas kelompok dalam Gereja dan lintas iman di luar Gereja. “Pesparani harus menyentuh lebih banyak lapisan umat. Tidak semua orang punya akses ke pelatihan musik atau liturgi, terutama di daerah-daerah tertinggal. Kita punya tanggung jawab memperluas jangkauan misi ini,” katanya. Dalam banyak hal, Pesparani bisa menjadi pintu masuk pembinaan iman yang kontekstual dan penuh empati.

Ia menyebutkan, setelah Munas III berakhir, pekerjaan sesungguhnya baru dimulai. LP3KN tak hanya ditantang untuk menyelenggarakan event, tetapi untuk menyalakan bara spiritual umat Katolik di seluruh penjuru negeri. Dengan kesadaran itu, Pesparani bukan hanya selebrasi liturgi, tetapi suara iman yang meneduhkan dan meneguhkan kebangsaan.

Yustinus Hendro Wuarmanuk

Sumber: Majalah HIDUP, Edisi No. 24, Minggu, 15 Mei 2025

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles