Natal di Tanah Rencong

237
Meriah: Perayaan Natal di Paroki Banda Aceh.
[NN/Dok.Paroki]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Umat Katolik Banda Aceh, warga pendatang. Kebanyakan, etnis Tionghoa dan Batak. Di tengah mayoritas penghayat Syariah Islam secara ka¬ffiah, umat merayakan Natal dengan sukacita.

Penghujung November 2014, memasuki pintu gerbang Gereja Hati Kudus Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussallam, terdengar sayup-sayup senandung lagu-lagu bernuansa Natal. Deru hilir mudik kendaraan di depan gereja, Jalan Jenderal Ahmad Yani nomor 2, berpadu satu dengan suara koor Natal. Bangunan gereja ini sering disebut “Gereja Ayam”. Pasalnya, bagian atas salib gereja terdapat ikon ayam kecil. Dulu, se belum Tsunami 2014, ukuran lambang ayam itu lebih besar.

Sumber senandung Natal itu berasal dari pendapa pastoran. Di dalam ruangan berukuran 6 x 4 meter, sekitar 30-an orang dari empat lingkungan (St Fransiskus, St Klara, St Maria, dan St Bernadet) di Stasi Banda Aceh sedang berlatih koor. Mereka mempersiapkan diri untuk Perayaan Ekaristi Malam Natal. Mereka duduk membujur membentuk empat kelompok sesuai jenis suara: sopran, alto, tenor, dan bass. Dua kelompok perempuan di ruas kiri, dan dua kelompok laki-laki di sisi kanan.

Menjelang Natal, koor lingkungan gabungan yang dikomandani Bunda Yosi ini berlatih tiga kali seminggu, yakni: Selasa, Kamis, dan Minggu. Latihan dimulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB. Kecuali hari Minggu, latihan dimulai usai Misa, sekitar pukul 10.00 sampai pukul 12.00 WIB.

Jumlah Terkecil
Berdasarkan data paroki tahun 2013, umat Paroki Banda Aceh berjumlah 879. Jumlah terkecil di antara seluruh paroki dalam yurisdiksi Keuskupan Agung Medan (KAM). Namun, jangan mengira jumlah umat sedikit lantas memudahkan pe layanan pastoral. Paroki yang ini terdiri dari lima stasi, yakni Banda Aceh, Sabang, Meulaboh, Lhokseumawe, dan Takengon. Jaraknya pun saling berjauhan!

Stasi terdekat adalah Sabang. Jarak tempuh dari paroki, yang berada persis di samping Krueng (Sungai) Aceh menuju ke sana sekitar 3-4 jam. Meski terbilang dekat, paroki yang kini digembalakan seorang imam, dibantu seorang frater, ini harus menumpang Kapal Motor Express (kapal cepat) atau Ferry dari Dermaga Ulee Lheue. Dari sana, mereka turun di Dermaga Balohan, lalu melanjutkan perja lanan dengan motor atau mobil ke stasi yang berada di pusat Kota Madya Sabang. Jarak dermaga dengan gereja stasi kurang lebih 10 kilometer.

Sedangkan stasi terjauh adalah Takengon. Jarak paroki dengan stasi yang berada di Ibu Kota Kabupaten Aceh Tengah ini sekitar 300 kilometer. Waktu yang dibutuhkan menuju Tanah Gayo ini sekitar 8-10 jam lewat jalan darat. Sementara dua stasi lain, Meulaboh di tempuh sekitar 5-6 jam, dan Lhokseumawe sekitar 6 jam dari pusat paroki.

Tiap pekan pastor paroki merayakan Misa di dua stasi. Sedangkan frater memimpin ibadat dan membagikan Komuni ke satu stasi lain berdasarkan jadwal bulanan. Satu stasi yang tak mendapat kunjungan pastor atau frater akan dipimpin katekis. “Minggu pertama, saya memimpin Misa di Banda Aceh pukul 08.00 WIB. Lalu, pukul 20.00 WIB, saya Misa bersama umat Stasi Meulaboh. Jadi dalam satu hari, saya membuat dua kali Misa, pagi dan malam,” kata Pastor Kepala Paroki, Romo Hermanus Sahar.

Menjelang Natal atau Paskah, Paroki Banda Aceh minta bantuan ke keuskupan atau para imam di Seminari Tinggi Pematang Siantar untuk melayani stasi- stasi, agar umat bisa merayakan Ekaristi Natal. Minimal dua bulan sebelum perayaan berlangsung, mereka sudah mengirimkan surat permohonan agar ada imam yang bersedia melayani umat stasi. Semua kebutuhan pastor selama berada di stasi, seperti akomodasi, konsumsi, dan stipendium ditanggung oleh stasi masing-masing.

Santap Bersama
Natal di Banda Aceh, menurut Romo Herman, diselenggarakan biasa-biasa saja. Tak semeriah jika dibandingkan dengan daerah lain.Tentu ada perbedaan suasana dibandingkan perayaan Hari Minggu biasa. Saat Natal, biasanya ada tarian dari para siswa Sekolah Katolik Budi Dharma Banda Aceh. Selain itu, dekorasi di dalam gereja lebih semarak dibandingkan hari biasa. “Ketika Natal, gereja terlihat lebih penuh, karena mahasiswa atau pelajar liburan,” ungkapnya.

Imam yang bertugas sejak 3 Mei 2013 di “Gereja Ayam” ini menambahkan, sebenarnya ada tradisi merayakan Natal, yakni makan bersama. Usai Misa Natal, umat menuju aula paroki dan santap siang bersama. Dalam acara ini, ditampilkan aneka hiburan, seperti nyanyian dan tarian dari Anak Sekolah Minggu Katolik (Asmika), Anak Remaja Katolik (Areka), dan Orang Muda Katolik (OMK). Umat yang hadir nyaris tak berbeda jauh seperti saat Misa.

Acara serupa juga terjadi di stasi-stasi lain. Di Meulaboh, menurut katekis Stanley, acara makan bersama dibuat usai Misa Malam Natal. Sedangkan di Takengon, pelaksanaan makan bersama seperti di paroki. Perbedaannya hanya lokasi acara. Di Takengon, umat bersama pastor berjalan kaki menuju tepi Danau Laut Tawar. Di tempat yang menjadi salah satu ikon wisata orang Gayo, mereka bersantap siang bersama.

Meski acara ini diminati banyak umat, Romo Herman ingin mengkaji ulang penyelenggaraannya. Ia menjelaskan, hingga kini acara makan bersama Natal itu menelan dana paroki sebesar Rp 15 juta. Padahal, kolekte umat tiap pekan masih defisit untuk membiayai berbagai urusan paroki bulanan. “Kami masih minta bantuan dari keuskupan untuk menambal kekurangan setiap bulan. Selain itu, ada juga umat yang memberikan sumbangan setiap bulan,” jelasnya.

Natal, bagi umat Katolik Banda Aceh, tak melulu identik dengan kegembiraan. Kini, Natal juga mengingatkan mereka akan tragedi tsunami pada 26 Desember 2004, pukul 07.55 WIB, yang merenggut ratusan ribu jiwa dan meluluhlantakkan wilayah pantai Barat Aceh. Maka, setiap 26 Desember, umat memperingati dan mendoakan para korban tsunami tersebut. Usai Misa, imam bersama umat berkunjung kepemakaman massal di Meurexa, Banda Aceh. Di bekas bangunan rumah sakit itu terbaring 14.879 jenazah korban tsunami.

Di sana, imam memercikan air suci. Umat juga mengenang korban tsunami yang beragama Katolik dengan membangun prasasti kecil di depan pintu masuk gereja. Dalam prasasti setinggi satu meter itu, tertera 49 nama umat Katolik korban tsunami.

Bona Pasogit
Umat Katolik Banda Aceh terdiri dari suku-suku pendatang. Mayoritas berlatar belakang etnis Tionghoa dan Batak, lalu Jawa, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi. Mereka datang ke Tanah Rencong karena berdagang, membuka usaha, atau menjadi pegawai negeri sipil, polisi dan tentara.

Saat Natal tak banyak umat Katolik pulang kampung. Mereka memilih merayakan Natal di Aceh dengan beragam alasan. Biasanya etnis Bataklah yang justru mudik bersama keluarga. Bagi mereka, kembali ke kampung halaman (Bona Pasogit) merupakan tradisi. Puncak perayaan terjadi pada malam 31 Desember, bukan pada Malam Natal atau Hari Raya Natal.

Domu Simbolon, pria kelahiran Samosir, 14 Agustus 1965, menuturkan, ia bersama keluarganya pulang ke Samosir pasca 26 Desember, jika ada rejeki. Mereka lalu kembali lagi ke Aceh setelah 3 Januari. Baginya, Bona Pasogit  berarti kembali dari perantauan, pulang ke kampung halaman, mengunjungi saudara, dan makam leluhur.

Pada 31 Desember, menjelang pukul 00.00, Simbolon mengisahkan, orang Batak berkumpul dengan keluarganya masing-masing. Mereka duduk melingkar, bercerita tentang segala sesuatu yang dialaminya, dan rencana tahun baru. Setelah itu, tiap orang mengevaluasi diri dan saudara-saudaranya, meminta maaf, dan berdoa bersama. “Jadi saat itu, setiap anggota keluarga wajib bersuara, termasuk anak-anak yang sudah bisa bicara,” terangnya.

Suami Hotdinta boru Tohang ini mencontohkan doa yang lazim didaraskan saat malam pergantian tahun. Doa itu memuat dua unsur, yakni syukur atas berkat tahun lalu dan mohon berkat di tahun baru. Mauliate godang hupasahat hami tuadopanmu ale Amang Debata. Ala naung dipatolhas Ho hami sian taon Naburuki taripar tu Taon Nambaruon. Sai pabarima hami di Taon Naimbaruon. Mauliate ma di Ho ale Tuhan Debata nami (Syukur kami haturkan kehadapan-Mu, ya Bapa Yang Mahakuasa atas berkat-Mu hingga kami melewati tahun lama menuju tahun baru ini. Berkatilah kami menjalani tahun baru ini. Terima kasih ya Bapa. Amin).

Usai doa, Simbolon menambahkan, kaum perempuan mengedarkan makanan, seperti Lemang dan Kembang Loyang. Lemang adalah ketan yang dimasak dengan santan di dalam bambu. Sedangkan Kembang Loyang adalah kue berbentuk kembang yang terbuat dari tepung, dan digoreng.

Khas Tionghoa
Berbeda dengan Robertus Wirjana. Pria keturunan Tionghoa ini selalu merayakan Natal bersama keluarganya di Banda Aceh. “Kami sekeluarga tidak kemana-mana saat Natal. Hanya di paroki, makan bersama dengan pastor, frater, suster dan umat,” terang umat yang didapuk sebagai Wakil Ketua Dewan Paroki Banda Aceh ini.

Pria kelahiran Banda Aceh, 30 Agustus 1964 ini mengaku, tak ada acara khusus yang dibuat keluarganya ketika Natal. Mereka hanya berkumpul dan makan bersama. Namun karena dalam suasana sukacita, keluarga atau warga etnis Tionghoa di Banda Aceh menyajikan makanan, seperti Cah Siu dan Nyek Piaw. Cah Siu adalah babi panggang merah. Sedangkan Nyek Piaw merupakan kue yang terbuat dari tepung atau terigu yang dibentuk bulat berisi kacang hijau. Sebelum di panggang, bagian atas kue tersebut diolesi kocokan telur. Menurut Robert, kue Nyek Piaw dahulu kala digunakan sebagai medium pembawa pesan. Agar rahasia pesan tetap terjaga sampai di tujuan, orang Tionghoa memasukkan pesan atau surat ke dalam kue. “Ini hanya kebiasaan saat hari raya. Setiap tamu yang datang, kami menyuguhkan kue ini,” imbuhnya.

Yang utama dari pesta Natal ini adalah berjumpa dan mengencangkan tali silaturahmi antarumat dan keluarga. Aneka ragam acara dan makanan hanya pelengkap sukacita itu.

Yanuari Marwanto

1 COMMENT

  1. Apakah saya bisa mendapatkan Majalah Hidup edisi pertama th 2005 yg judulnya “Misa Pertama di Banda Aceh setelah Tsunami”?
    Saat itu misa diadakan di pastoran gereja dan saya salah satu yg ikut bersama sekitar 15 tentara asing.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here