Berjuang Hingga Akhir Meraih Keharmonisan Keluarga

389
Pasutri Rosa-Intan bersama anak, cucu, dan cicit.
[HIDUP/Karina Chrisyantia]
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Pertengahan Juli lalu, pasutri ini merayakan ulang tahun ke-60 perkawinan. Keutuhan dan keharmonisan keluarga butuh perjuangan dan pengertian.

Langkah Thomas Intan Tjandera sedikit tertatih. Dua bola matanya begitu awas memperhatikan jalan yang terbentang di hadapannya. Meski begitu, Intan yakin, bisa menaklukkan jalan menuju Gereja St Polikarpus, Paroki St Kristoforus Grogol, Keuskupan Agung Jakarta, pertengahan Juli lalu.

Di samping Intan, ada Rosa Mawar Japan. Perempuan itu lebih dari 60 tahun mendampingi dan mereguk manis-getir kehidupan bersama. Rosa menggandeng lengan sang suami. Sesekali, ia membantu pijakan sang arjuna agar tak limbung. Perlahan-lahan, mereka memasuki pintu utama gereja yang terletak di Jalan Dr. Nurdin IV nomor 3.

Guratan bulan sabit menghiasi bibir suami-istri itu. Busana yang mereka kenakan pun amat istimewa hari itu. Intan mengenakan pakaian serba putih. Sementara Rosa memakai gaun berkelir putih gading. Mereka seakan membuka kembali “album” perdana kala mengikat janji sehidup-semati di Katedral St Yosef Bangka, Keuskupan Pangkalpinang, 60 tahun silam.

Buah Cinta
Bila saat menikah dulu Intan-Rosa ditemani orangtua dan wakil keluarga, kini pasangan yang telah berusia senja itu “dikawal” oleh buah cinta mereka. Intan-Rosa dikaruniai sembilan anak, 14 cucu, dan satu cicit. “Berapa pun jumlah anak, itu pemberian Tuhan, terimalah dengan hati tebuka dan penuh tanggung jawab,” ungkap Intan, ketika ditemui di rumah anak keenamnya, Ailis Tjandera, di Jelambar Grogol, Jakarta Barat.

Intan dan Rosa saling mengenal sejak bocah. Mereka bertetangga di Pangkalpinang. Sebelumnya, Rosa tinggal di Koba, Bangka Tengah, Provinsi Bangka-Belitung. Lantaran sang ibu meninggal, Rosa hijrah ke Pangkalpinang. Umur Rosa kira-kira tujuh tahun saat itu. “Pagi-sore selalu ketemu, saya tahu tingkah lakunya. Dia orangnya jujur, nggak gampang marah,” puji pria kelahiran Pangkalpinang, 10 Agustus 1933.

Cinta tumbuh karena perjumpaan. Intensitas perjumpaan mereka pun menjadi lahan subur benih-benih cinta. Kata Rosa, seraya tersipu, Intan-lah yang pertama-tama mendekati dan mengutarakan perasaan cinta kepadanya. Hubungan mereka kian serius kala menginjak usia berkepala dua. Begitu mendapat restu orangtua, Intan-Rosa pun menikah. Kala itu, Intan masih menganut Konghucu. Ia menjadi Katolik pada usia 42 tahun.

Demi menyambung hidup istri dan anak-anak, pria tamatan SMA itu membuat tahu. Usaha ini merupakan warisan orangtuanya, Then Fai Min dan Chi Jun Kim. Intan punya 13 karyawan saat itu. Sayang, usaha tahu tak bisa menjadi penopang ekonomi keluarga. Begitu usaha tahu gulung tikar, Intan banting setir menjadi penjual martabak manis.

Semula, Intan membuka lapak usaha di Restoran Roda, Pangkalpinang. Ia menyewa tempat di sana. Malang, suatu hari si jago merah melumat habis bangunan serta perlengkapan restoran, tak terkecuali gerobak dan peralatan dapur milik Intan. Tak lama setelah kebakaran, bangunan itu direnovasi. Sayang, Intan tak bisa lagi menyambung hidup dan keluarganya di restoran itu.

Biaya sewa yang tinggi, menurut bungsu dari delapan bersaudara ini, adalah alasan utamanya. Tak pelak, agar dapur di rumah tetap mengepul, dan kesembilan anaknya tak putus sekolah, Intan dan Rosa berjualan martabak di emper jalan, sekitar delapan meter dari lokasi awal. “Agar pelanggan mudah menemukan kami,” kenang Intan.

Mereka bekerja hampir sepanjang hari. Tak ada keluhan yang terlontar dari mulut mereka. Intan-Rosa sadar, lelah dan peluh adalah konsekuensi pekerjaan. Tapi ada satu motivasi yang membuat pasangan itu tak “melempar handuk”, yakni pendidikan anak-anak. “Mereka bisa sekolah agar mendapat pekerjaan yang layak,” kata Rosa.

Di Bangka, tambah Rosa, banyak anak yang tak mengenyam pendidikan. Mereka, lanjutnya, tak sedikit yang menjadi kuli. Rosa tak ingin buah hatinya bernasib seperti itu. Ia ingin putraputrinya mencecap pendidikan tinggi, tak seperti orangtua mereka yang mentok di bangku SMA dan SMP.

Berjuang Bersama
“Musuh” utama para pedagang kaki lima adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Beberapa kali usaha martabak suami-istri itu terjaring Satpol PP. Intan- Rosa pun kerap kucing-kucingan dengan aparat. Kondisi seperti itu memang tak bisa menciptakan iklim yang bagus untuk berjualan. Mereka lantas menjual babi dan emas untuk menyewa tempat.

Uang itu ditambah pendapatan martabak hanya sanggup menutup kontrak lapak selama dua tahun. Tak ada uang lagi, mereka kembali berjualan di emper toko. Demi menyiasati kebutuhan hidup yang terus melonjak, ditambah biaya pendidikan sembilan anak, Rosa membuat dan menjual bakpia.

Sialnya, para distributor yang mengambil bakpia Rosa kerap kali tak pernah membayar. Usaha bakpia itu pun tak berumur panjang. Bukan untung yang didapat Rosa, tapi justru buntung. “Pusing, apa lagi saat itu anak sambung-menyambung kuliah di Yogyakarta,” ujar Rosa, menahan haru.

Kebahagian utama orangtua adalah ketika melihat anak-anaknya berhasil. Segala kegagalan dan kelelahan yang dirasakan Intan-Rosa selama berjualan sirna ketika melihat satu per satu putra-putri mereka mengenakan toga. “Usaha martabak kami tak besar. Tapi kami mati-matian bekerja,” terang Intan.

Tak sekadar berusaha, Intan-Rosa pun tak lupa bersyukur dan memohon bantuan kepada Tuhan, melalui Bunda Maria. Tiap beranjak dari peraduan, suami-istri itu tak pernah absen berdoa kepada-Nya. Intan-Rosa 30 tahun berjualan martabak manis, kerja keras mereka pun berbuah manis. Kini usaha martabak manis mereka dilanjutkan keponakan.

Intan-Rosa juga mengakui, selain masalah keuangan, selisih pendapat di antara mereka juga ikut menciptakan konflik. Kata Intan, mengalah merupakan resep yang selama ini ia pakai jika bertengakar dengan sang istri. Sementara Rosa, meski mangkel dengan suaminya, cinta dan perhatian kepada Intan tak pernah pudar. “Saya selalu mengingatkannya untuk makan, atau jangan terlambat makan, menanyakan keadaannya, dan lain-lain,” beber Rosa.

Komunikasi dan kejujuran juga menjadi penyelamat biduk rumah tangga Intan-Rosa hingga kini. Mereka selalu berembuk jika menemukan masalah. “Kami juga tidak suka berlarut-larut dalam masalah.”

Pengakuan itu juga datang dari anak-anak mereka. Ardjuna Tjandera, anak ketiga, mengakui, jika ibu marah, ayahnya mengalah. “Mama kalau bad mood, tidak mau masak, nah di situ Papa yang masak buat kami,” kenangnya.

Anak kedua, Aini Tjandera mengatakan, soal mencari dan mengatur keuangan ayahnya hebat. Sementara yang semangat dan rajin mengurus sekolah dan rumah tangga adalah ibunya. Ailis Tjandera, anak keenam menambahkan, meski orangtua mereka tak aktif di paroki, tapi ayah-ibunya mendorong mereka terlibat dalam kegiatan Gereja.

Tak Menua
Bagi orang yang saling mencinta, waktu adalah abadi. Demikian hal dengan Intan-Rosa. Intan-Rosa mensyukuri segala nikmat hidup. Sebab setiap duka dan kesulitan, selalu ada suka dan jalan yang menanti di ujung sana.

Kata Intan, dirinya dan Rosa mengawali dan membangun rumah tangga dengan senang. Maka, mereka berjuang menutup lembaran kisah perjalanan hidup bersama pun dengan gembira. Misi itu tak instan, perlu perjuangan hingga akhir.

Karina Chrisyantia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here