Benteng Injili Dalam Arus Modernitas

396
Alfonsus Jehadut.
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Kemajuan teknologi pada dirinya sendiri netral, tapi membawa dua dampak; positif dan negatif. Alkitab kaya nilai untuk menghadapi benturan negatif anak kandung modernitas itu.

Teknologi, pada dirinya sendiri adalah netral; tidak bisa dikatakan positif atau negatif. Tetapi kalau kita perhatikan, motivasi dari pemakaian alat teknologi itu, baru bisa menilai suatu tindakan positif atau negatif. Hal ini ditandaskan Alfonsus Jehadut, penulis gagasan pendukung tema Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2017 saat ditemui pekan lalu.

Alfons mencontohkan, Kisah Menara Babel yang legendaris. Keinginan mendirikan suatu menara, dalam kisah itu, sah-sah saja. Tetapi motivasinya bisa terlacak, yaitu “Marilah kita mencari nama dan kedua, supaya tidak terserak ke seluruh bumi.”

Motivasi itu bernilai negatif karena bertentangan dengan rencana Allah sebagaimana ditulis dalam kisah penciptaan. Allah menginginkan manusia tersebar, beranak cucu, dan penuhi muka bumi. “Ada motivasi lainnya yang bisa dilacak apakah positif atau negatif,” kata kordinator kursus Lembaga Biblika Indonesia (LBI) ini.

Tema Aktual
Tema BKSN 2017 “Kabar Gembira Di Tengah Gaya Hidup Modern”, menginduk pada ensiklik Evangelii Gaudium. Paus Fransiskus menarasikan arus zaman modern membawa masalah besar yang melanda kehidupan seluruh bangsa manusia, termasuk Gereja. Masalah-masalah besar itu terkait dengan mentalitas negatif budaya modern, seperti konsumerisme, hedonisme, sekularisme, individualisme, kesenjangan sosial, dan fundamentalisme agama. “Maka, Paus Fransiskus menyerukan kepada semua komunitas untuk selalu meneliti dengan cermat tanda-tanda zaman dan menanggapinya secara efektif,” ujar Alfons.

Dalam Pertemuan Nasional LBI 2016, tema ini dibicarakan secara spesifik sebagai bentuk menanggapi seruan Paus. “Dalam konteks itu, LBI serius membahas tema ini supaya gaya hidup modern perlu dibicarakan agar kita bisa menghadapi dengan nilai-nilai Injil,” ungkapnya.

Pemimpin Redaksi Jurnal Wacana Biblika ini melanjutkan, tema ini sangat aktual dalam situasi saat ini. Di satu sisi, ada banyak unsur positif yang dibawa oleh teknologi. Misal, pekerjaan menjadi lebih mudah dan efisien, informasi dan komunikasi menjadi lebih mudah dan cepat. Sisi lain teknologi membawa hal-hal yang negatif. Teknologi komunikasi misalnya, terutama berpengaruh bagi orang muda, yang tidak menggunakan secara bijak. “Teknologi informasi di satu sisi memudahkan komunikasi, pewartaan. Sisi negatif misalnya orang tidak mengikuti misa sambil bermain gadget yang tentu saja mengganggu.”

Alkitab, meski tidak secara gamblang, memiliki nilai yang bisa ditawarkan untuk menghadapi gaya hidup yang begitu bersandar pada teknologi. LBI menjabarkan tema ini ke dalam empat sub tema. Pertama, arus zaman teknologi dan nilai-nilai injili dalam kisah menara Babel (Kej. 11:1-9). Kedua, arus zaman materialisme dan nilai-nilai injili dalam perumpamaan orang kaya yang bodoh (Luk. 12:13-21). Ketiga, arus zaman individualisme dan nilai-nilai injili dalam kisah cara hidup jemaat perdana (Kis. 2:41-47). Keempat, arus zaman hedonisme dan nilai-nilai injili dalam nasihat Yakobus tentang hikmat dan hawa nafsu (Yak. 3:14-4:3). “Melalui keempat sub tema ini diharapkan umat kristiani tidak terseret dan terhanyut oleh arus zaman modern dengan terus berpegang pada nilai-nilai injili,” papar alumnus Teologi Biblis Trinity Theological College Singapura ini.

Sangat Relevan
BKSN tahun ini genap berusia 40 tahun. Di jejak panjang usianya, BKSN selalu relevan dengan kebutuhan iman umat. LBI, selalu menyajikan tema aktual yang sesuai dengan kondisi Gereja Indonesia. Pun begitu juga dengan setiap Keuskupan dalam mengkonkretkan tema ke dalam pelbagai kegiatan. “BKSN masih sangat relevan, supaya umat berpegang teguh dengan nilai-nilai Injili, apalagi di arus zaman modern ini,” urai Alfons.

Kitab Suci merupakan pedoman tertinggi ajaran Gereja selain tradisi dan magisterium. Ini pulahlah yang menjadi ihwal lahirnya BKSN. Kitab Suci, dalam Konsili Vatikan II (KV II) dibahas oleh para bapa Konsili yang kemudian melahirkan dokumen Dei Verbum. Dalam Dei Verbum artikel 22, para Bapa Konsili menganjurkan agar jalan masuk menuju Kitab Suci dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman.

Jalan itu terwujud dalam bentuk menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa setempat, dalam hal ini Bahasa Indonesia. Dei Verbum menjadi semacam peneguhan bagi Gereja Indonesia dalam upaya menerjemahkan Alkitab. Pasalnya, jauh sebelum KV II, pada 1956, beberapa imam Fransiskan mengambil inisiatif untuk menerjemahkan Kitab Suci Perjanjian Lama ke dalam bahasa Indonesia.

Inisiatif para Saudara Dina ini disetujui Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI, saat ini menjadi KWI) di Surabaya. Suatu panitia pun dibentuk untuk misi itu. Panitia ini akhirnya berhasil menerjemahkan sebanyak delapan jilid. Dalam perjalanannya, Perjanjian Baru juga ikut diterjemahkan.

Tapi KV II menganjurkan agar diusahakan terjemahan KS ekumenis, yakni terjemahan bersama oleh Gereja Katolik dan Gereja denominasi lainnya. Lantas, Gereja Katolik Indonesia memulai kerja sama dengan Lembaga Alkitab Indonesia. Kerjasama dua lembaga ini menghasilkan Kitab Suci terjemahan resmi yang diakui, baik oleh Gereja Katolik maupun Gereja-Gereja Kristen di Indonesia. Tetapi terjemahan itu hanya untuk Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Kitab-Kitab Deuterokanonika tidak menjadi bagian dalam kerjasama karena tidak diakui oleh Gereja-gereja Kristen.

Meneruskan semangat “membuka jalan lebar” KV II itu, pada 1970, MAWI secara resmi mendirikan Lembaga Biblika Indonesia (LBI). Tugas lembaga ini adalah memperhatikan kepentingan-kepentingan Gereja di bidang penerjemahan, produksi, dan distribusi Kitab Suci. Selain itu, lembaga ini juga bertugas untuk selalu memajukan kecintaan umat terhadap Kitab Suci.

LBI lantas melakukan banyak usaha memperkenalkan Kitab Suci kepada umat, sekaligus mengajak umat untuk mulai membaca Kitab Suci. Dalam konteks inilah, LBI mengemukakan gagasan sekaligus mengambil prakarsa untuk mengadakan Hari Minggu Kitab Suci secara nasional. LBI mengusulkan dan mendorong, agar Keuskupan-keuskupan dan Paroki-paroki seluruh Indonesia mengadakan ibadat khusus dan kegiatan-kegiatan sekitar Kitab Suci, pada hari Minggu tertentu.

Para Uskup dalam Sidang MAWI tahun 1977 menetapkan satu Minggu tertentu dalam tahun Gerejani, sebagai Hari Minggu Kitab Suci Nasional. Hari Minggu yang dimaksud adalah Minggu Pertama dalam September. Tetapi dalam pelaksanaannya, satu minggu dinilai tidak cukup untuk mengadakan kegiatan seputar Kitab Suci.

Maka dicanangkanlah BKSN yang dilaksanakan setiap bulan September. Setiap September, di setiap Keuskupan, Paroki hingga Lingkungan, jamak kita temui umat mengadakan kegiatan-kegiatan seputar Kitab Suci. Misal sarasehan, seminar seputar Kitab Suci, pendalaman Kitab Suci, hingga aneka lomba tentang Kitab Suci. Rangkaian kegiatan itu memang diharapkan Gereja, agar nilai-nilai Injil menjadi napas umat Katolik, dalam mengarungi abad modern dengan segala kecanggihannya ini.

Edward Wirawan
Sumber: Buku Pedoman Kitab Suci 2015

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here