Natal Sahaja di Gedono

1674
Para rubiah mengelilingi altar saat Doa Syukur Agung dalam Ekaristi harian.
[HIDUP/Edward Wirawan]
5/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Tak ada isyarat fisik bahwa Natal segera tiba, di Gedono. Beberapa Gua Natal yang dibuat pun sederhana. Di Pertapaan Trappist, Natal bermakna “mengosongkan diri”.

Suster Theresia sedang membereskan ruang makan. Ia lantas menoleh ke arah jendela saat tahu ada yang menatap di balik jendela. Sr Theres langsung menyapa sembari tersenyum. Sr Theres bekerja sebagai seksi tamu di pertapaan para rubiah Ordo Cisterciensis Strictioris Observantie (OCSO) Bunda Pemersatu Gedono, Jawa Tengah. Sebentar menyapa, lalu ia menuntun menuju ruang pertemuan dua, satu ruang sebelah kamar makan.

Sebagian besar dinding ruang pertapaan Gedono dibangun dari batu. Di ruang pertemuan dua tak ada hiasan, hanya foto Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko dan Paus Fransiskus. Di dinding bagian kanan, menampang foto Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Dua foto itu mengapit pataka Pancasila. “Ini ruang tamu resmi, makanya ada gambar para pemimpin negara,” jelas Sr Theres.

Tak lama berbincang, dentang lonceng berbunyi. Sr Theres mengingatkan, sebentar lagi Misa hari Minggu dimulai. Ia menyodorkan jadwal harian di pertapaan itu.

Di pelataran gereja, lebih dari empat puluh umat berjalan menapaki anak tangga. Hari itu, tak kurang dari seratus umat mengikuti Misa. Meski suasana menjadi ramai dan agak mengusik kesunyian pertapaan, namun para rubiah mengaku senang menyambut umat. Jadilah, setiap Minggu dan hari raya lain, banyak umat yang datang mengikuti Misa. “Misa Minggu agak ramai, tetapi mulai malam, nanti kamu akan merasakan kesunyian pertapaan ini,” tutup Sr Theres, lalu menghilang ke bagian belakang (klausura) pertapaan.

Gereja pertapaan di lereng Gunung Merbabu itu, berbentuk huruf “L”dengan altar berpusat di sudut 90 derajat. Ada pagar pembatas antara umat dan altar. Ada sedikit nuansa spesial dalam Misa Minggu kedua Adven ini. Uskup Ketapang Mgr Pius Riana Prapdi sedang singgah di Gedono memimpin Misa dan sempat memberi tiga ceramah kepada komunitas. “Saya besok ke Rawaseneng, mau merayakan 40 tahun salah satu biarawati OP di sana,” jelas Mgr Pius.

Saat ini, komunitas rubiah Gedono terdiri dari 37 anggota; 27 sudah berkaul agung, empat berkaul sementara, lima novis, dan satu postulan. Selain itu, ada satu aspiran, dan empat suster tamu dari pertapaan di luar negeri. Satu ciri yang serupa dari para rubiah Gedono adalah keramahan dan senyuman yang selalu menyapa.

Liturgi Khas
Senja perlahan merayap di antara kabut dan hawa dingin. Sr Theres benar. Keheningan mulai menjalar di seluruh pertapaan, seiring dengan umat yang telah pulang. Hanya ada beberapa orang tamu yang sedang retret pribadi. Dua tamu berasal dari Singapura, lainnya dari beberapa kota di tanah Jawa. Semuanya menjaga keheningan. Percakapan dilakukan dengan berbisik.

Pukul 16:40, lonceng kembali berdentang, tanda Ibadat Sore akan dimulai. Usai pujian, doa, dan mazmur, ada doa hening selama 30 menit. Setiap orang berdoa dalam hati tanpa suara, benar-benar sunyi. Usai Ibadat Sore, masih ada doa hening bersama yang dijalankan setelah ibadat malam dan dimulai pukul 03.15. “Kami bangun tengah malam untuk berdoa, saat dunia sedang tertidur,” jelas Sr Theres.

Total ada tujuh ibadat dalam sehari. Ibadat Pagi dirangkai dengan Misa harian. Pada Masa Adven ini, rangkaian doa ini kental bernuansa Adven. Tujuannya agar seluruh anggota komunitas mengarahkan diri pada misteri penjelmaan Kristus secara lebih dalam. “Hidup kami berpusat pada doa liturgi, maka jelas bahwa persiapan Natal juga berpusat pada liturgi.”

Sr Lucia, wakil Abdis mengatakan, rangkaian persiapan dimulai dengan Minggu pertama Adven. Pada Sabtu pagi, 2/12, para rubiah mengadakan Misa Syukur Penutupan Tahun Liturgi. “Kami bersyukur atas semua rahmat yang diterima dalam semua pengalaman suka duka sepanjang tahun,” kata suster yang akrab disapa Sr Luci ini.

Pada sore di Sabtu yang sama, para suster mengadakan perarakan mengelilingi rumah dengan membawa empat lilin Adven yang belum dinyalakan. Lilin-lilin itu, nantinya akan ditempatkan pada mahkota Adven di depan altar. Perarakan ini menjadi pembuka Masa Adven. “Itu adalah simbol, kami yang berada di dalam kegelapan, mau dinyalakan dengan kesadaran akan kebutuhan kami, menghidupkan kerinduan akan kedatangan Tuhan,” kata rubiah yang juga menangani seksi kerja Gambar.

Lagu “Datanglah O Imanuel” mengiringi perarakan itu. Di sepanjang rute perarakan, ada perhentian yang diisi dengan doa dan berkat. Usai perarakan, para rubiah menuju gereja lalu menyalakan lilin Adven pertama. Lagu “Rorate Coeli” melengkapi perarakan dan ibadah sore meriah Minggu Adven pertama dimulai.

Corak liturgi yang khas amat tampak dalam nyanyian madah hingga antifon lagu. Corak itu semakin kental terasa ketika Novena Natal dimulai. Sr Cornelia yang menangani seksi Liturgi menyanyikan sebuah antifon “O” yang akan digunakan selama novena. “Jadi antifon “O” kami nyanyikan dengan rentang yang panjang,” katanya sembari mencontohkan antifon lainnya.

Antifon-antifon “O” berasal dari liturgi Abad Pertengahan dan mengungkapkan kerinduan akan kedatangan Mesias dengan memakai gelar-gelar bagi-Nya yang diambil dari Perjanjian Lama: O Kebijaksanaan, O Adonai, O Kunci Kerajaan Daud, O Imanuel. Antifon “O” pada Novena Natal bermakna bahwa masa Adven adalah momen untuk memperbaiki lingkaran-lingkaran hidup kita yang rusak. Bahasa dalam antifon bernada puitis tetapi sarat makna mendalam. Antifon “O” juga menghiasi Kidung Maria dan juga bait pengantar Injil dalam Ekaristi.

Selain antifon “O”, madah dan responsori (lagu singkat sesudah bacaan singkat pada Ibadat Pagi/Sore) juga sangat khas dan indah. Responsori, misalnya, “Ya Kebijaksanaan yang keluar dari mulut Yang Mahatinggi, datanglah”. Semua lagu khas itu, lanjut Sr Cory, merupakan seruan umat yang terluka karena kehilangan rahmat dan martabat karena dosa. Masa menjelang Natal ini, para rubiah banyak latihan menyanyi lagu tradisional tiga atau empat suara. “Biasanya ada lagu baru juga yang dipelajari. Kami semua suka menyanyi,” kata Sr Cory.

Pengajaran para Bapa Cisterciensis, pendiri Ordo tentang Adven juga menjadi landasan komunitas Gedono dalam menyambut Natal. Magistra Novis, Sr Magdalena menjelaskan, sesuatu lain yang khas di pertapaan, yaitu ajaran tentang tiga kedatangan Tuhan. Kedatangan pertama, jelas Sr Magda, terjadi waktu Putra Allah menjelma dalam kelemahan daging di Betlehem 2000 tahun silam. Kedatangan kedua akan terjadi saat Yesus kembali pada akhir zaman dalam seluruh semarak kemuliaan-Nya. Para Bapa Cisterciensis juga mengajar bahwa ada kedatangan ketiga yang tersembunyi di tengah-tengahnya. Kedatangan ini yang terjadi sekarang, setiap hari. Yesus hadir dalam kekuatan Roh saat Sakramen Ekaristi.

Pesan-pesan Injil pada Adven, lanjut Sr Magda, adalah untuk berjaga-jaga. Sikap ini penting, karena menurut Surat Pertama St Yohanes, hidup manusia diterpa oleh tiga hal: dunia, kedagingan, dan setan. Ketiga hal ini berusaha memadamkan kesadaran yang telah diterangi oleh Roh Kudus dengan menghembuskan ke dalam kita keinginan buruk, pikiran yang tak teratur, dan aneka godaan yang bisa menggelisahkan dan mengaburkan kita. “Karena itu, perlu berjaga dalam tiga hal: kejujuran dalam tingkah laku, kemurnian hati seperti Yusuf yang tulus hati, dan usaha memelihara kesatuan dengan mengutamakan kebaikan orang lain, menanggung kelemahan diri sendiri dan sesama serta berdoa bagi sesama,” jelas Sr Magda.

Mengosongkan Diri
Masa Adven tak hanya terkait dengan warna liturgi yang khas. “Mengosongkan diri” merupakan subyek yang penting bagi para rubiah. Hal ini dijelaskan Sr Cathrin, Sr Aloysia, dan Sr Miriam.

Mengosongkan diri selama Adven adalah menyediakan ruang untuk menyambut Sang Juruselamat. Sr Cathrin bercerita, hal itu terwujud dalam semakin berkurangnya komunikasi dengan dunia luar, termasuk keluarga sendiri. Sepanjang tahun, komunikasi dengan dunia luar juga terbatas.

Para suster tak memegang handphone, kecuali yang mempunyai tanggung jawab tertentu, misal Sr Theres di bagian tamu atau Sr Catrin sebagai ekonom. Itupun, mereka tidak mengantongi handphone; hanya ditempatkan di atas meja dan sesekali diperiksa. Jika ada pesan bagi seorang suster, mereka akan menyampaikannya dan juga diizinkan untuk menelepon keluarga. Pada masa Natal selama tujuh hari, barulah para rubiah bisa membaca surat, menulis surat, dan bertemu keluarga. “Persiapan hati sangat penting,” tambah Sr Aloysia.

Bentuk lain persiapan itu adalah menyerahkan barang-barang pribadi yang tak dibutuhkan untuk kemudian dibagikan kepada orang yang memerlukan. “Misal, saya mempunyai tiga Rosario, kan saya cuma butuh satu, maka dua lainnya diserahkan untuk disumbangkan,” kata Sr Aloysia sembari menunjukkan Rosario di kantong jubahnya.

Barang-barang itu, lanjut Sr Cathrin, yang adalah ekonom pertapaan, dikirim ke luar Jawa atau stasi yang membutuhkan. Saat Natal tiba, komunitas juga akan membagikan bingkisan Natal kepada sekitar 20 keluarga umat Katolik di sekitar Gedono.

Komunitas juga mencetak kalender Adven untuk membantu anak-anak keluarga Kristiani menjalani Masa Adven. “Kalender Adven ini telah dipakai di beberapa sekolah Katolik dan kelompok bina iman, dalam rangka pembinaan iman,” ungkap Sr Luci.

Dukungan Masyarakat
Selain itu, komunitas Gedono pada Minggu pertama Adven mengadakan pelayanan kesehatan bagi penduduk sekitar. Pelayanan ini yang ditawarkan tetap pada hari minggu pertama setiap bulan dibantu oleh Dokter Wibowo dan dua dokter lain. “Minggu pertama Adven, lebih dari seratus warga mengikuti pelayanan kesehatan,” kata Dokter Wibowo.

Setiap Rabu sore, komunitas juga memberikan pelayanan sosial bagi anak-anak sekolah yang membutuhkan alat tulis, buku, dan perlengkapan sekolah lain. Kasih sayang komunitas ini tak bertepuk sebelah tangan. Warga di lereng Merbabu amat menyayangi para rubiah. Setiap malam Natal, para pemuda Karang Taruna Muslim dari desa sekitar pertapaan menjaga jalan menuju pertapaan. Mereka ikut berpatroli bersama polisi dan membantu umat yang datang mengikuti Misa Natal.

Ketika ada rubiah yang meninggal, masyarakat, meski beda agama, tak sungkan-sungkan masuk ke gereja untuk memberi penghormatan terakhir. Bahkan, saat perayaan 25 tahun pertapaan Gedono, masyarakat mengambil inisiatif untuk ikut merayakannya. Lebih dari seribu orang memadati lapangan parkir di depan pertapaan. “Mereka menyumbangkan beberapa atraksi, termasuk drum band anak-anak sekolah,” jelas Sr Miriam.

Gua Natal
Meski Natal telah tiba, pertapaan Gedono tak berubah. Tak ada pohon Natal, apalagi lampu kerlap-kerlip. Tak ada isyarat fisik bahwa Natal telah tiba. Itu karena pertapaan Gedono merayakan Natal dalam kesahajaan. Namun, hari-hari menjelang Natal, kita akan temukan banyak Gua Natal.

Gua utama ditempatkan di depan altar gereja. Tiap tahun, bentuk dan tema gua berbeda. Tema gua tahun ini adalah “Lihatlah Rajamu datang, untuk menyelamatkan kita dari maut”. Atap gua tahun ini terbuat dari cemara kering, menggantikan jerami. Kerangka gua menggunakan kayu bekas, dan ditutup dengan dus bekas botol plastik yang dicat membentuk dinding bata. Di sekitar gua ditakhtakan pot-pot bunga hidup. Karena sahaja, proses pembuatan gua hanya berkisar dua minggu, menggunakan waktu bebas setiap hari.

Pada Hari Minggu Masa Natal, anak-anak dipersilakan maju ke depan menyaksikan gua Natal dari dekat, memberi salam kepada Bayi Yesus di palungan. Kata Sr Monica, mereka ingin agar anak-anak bisa membangun kesadaran akan arti penjelmaan Tuhan menjadi manusia sejak kecil. “Anak-anak diantar orangtua, ada yang berlutut berdoa khusyuk. Para suster bergembira melihat mereka yang lucu.”

Selain gua utama, setiap seksi kerja juga membuat gua Natal masing-masing. Itu adalah ekspresi iman, bahwa Yesus lahir dan hadir dalam setiap aktivitas; di tempat kerja, di dapur, hingga di alam luas. Bentuk kandang Natal beragam, sesuai kreativitas masing-masing seksi. Misal, di tempat pembuatan hosti, gua natal menggunakan bekas potongan hosti. “Bisa membentuknya menjadi tiga raja, domba, dan yang lain. Jadi, ada ciri khasnya masing-masing.”

Biasanya ada sekitar 20 gua yang tersebar di setiap seksi kerja. Pada salah satu sore, usai Natal, para rubiah akan berziarah dari satu gua ke gua lain sambil memegang lilin dan menyanyikan lagu Natal. “Cahaya lilin adalah penanda tegas bahwa Yesus sebagai Terang hadir menghalau kegelapan dunia. Di setiap perhentian kami berdoa,” tutup Sr Monica.

Menyapa Umat
Romo Bismoko, dosen teologi moral di Seminari Tinggi St Paulus Kentungan Yogyakarta akan hadir merayakan Misa Natal di Gedono. Hingga kini, Misa di pertapaan dilayani para imam Keuskupan Agung Semarang. Perayaan dimulai dengan Ibadat Malam menjelang Hari Raya Natal pada pukul 10.30. Sesudahnya, ada doa hening sekitar 20 menit, yang disusul dengan perarakan para suster muda, yang meletakkan patung Bayi Yesus di gua Natal. Misa Malam dimulai pukul 24.00.

Usai Misa, seluruh komunitas menyampaikan “Selamat Natal” kepada semua tamu satu per satu dan kemudian mereka diajak minum susu coklat hangat dan makan beberapa potong kue kering sebelum pulang. Segenap komunitas, juga masuk ke ruang makan mereka dan menyantap hidangan serupa dalam suasana hening. Lalu mereka kembali tidur untuk kemudian bangun untuk Misa Fajar pukul 06.00 dan selanjutnya ada Misa Siang pukul 10.00.

Penginapan di pertapaan Gedono hanya terdiri dari delapan kamar dengan daya tampung 15 orang. Umat harus memesan jauh-jauh hari jika mau merayakan Natal di Gedono. Untuk menyikapi banyaknya umat, penginapan disulap jadi lebih luas. Kamar yang berdaya tampung dua disulap menjadi empat dan seterusnya. Praktis penginapan bisa menampung sekitar 30 umat.

Namun, saat umat yang datang berlebih, komunitas Gedono akan memberikan ruang di Pondok Kartini yang berjarak 500 meter dari gereja. Pondok yang digunakan sebagai ruang klinik pelayanan kesehatan dan aktifitas sosial lainnya; juga disulap menjadi penginapan sementara. Natal di Gedono dibalut kesahajaan. Dalam nuansa inilah, makna inti Natal bisa kita tangkap.

Edward Wirawan (Gedono)

Baca juga “Harapan Kegembiraan Natal”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here