Stefanus Wahyu Sigit Rahadi : Kawan Capung Indonesia

693
Berburu capung: Sigit sedang memotret capung di sungai.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Stefanus Wahyu Sigit Rahadi tak segan menyusuri tepian sungai, sawah, dan hutan untuk berburu dan memotret capung. Ia meninggalkan profesi sebagai guru untuk menggeluti dunia percapungan. Ia dijuluki Presiden Capung Indonesia.

Capung, serangga bersayap dua pasang dan berbadan panjang itu telah diakrabi Sigit sejak kanak-kanak. Ia kerap bermain-main dengan capung. Capung ditangkap, ekornya diikat dengan benang, lalu dilepas terbang bebas di alam. “Capung teman bermain saya saat masih kecil,” kenang pria kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, 3 Agustus 1969 ini melalui surat elektronik.

Sigit pun rela keluar masuk hutan, berjalan di pematang-pematang sawah, atau menyusuri tepian sungai. Ia seperti tak risau, tatkala harus berkawan dengan lumpur dan terik mentari. Satu yang ia cari, yaitu capung.

Berburu capung
Beranjak dewasa, Sigit mulai gemar berjalan-jalan di alam bebas. Ia juga tertarik membidik objek apapun dengan kamera. Satu yang membuat Sigit tertantang adalah memotret capung, serangga yang menjadi kawan bermainnya kala kanak-kanak. Sigit, yang ketika itu bekerja sebagai guru sosiologi di Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) St Albertus Malang, Jawa Timur, juga tertantang untuk menunjukkan beragam jenis capung kepada para muridnya.

Mulailah ia mencari dan memotret capung. Masa kanak-kanaknya seperti terulang kembali. Ia memotret beraneka jenis capung yang ada di sekitarnya. Capung-capung hasil bidikan kamera itu ia tunjukkan kepada anak-anak didiknya di sekolah.

Selain memotret capung, Sigit juga mulai mengumpulkan informasi mengenai beragam jenis capung yang hidup di Indonesia. Saat itulah, ia mengalami kesulitan. Ia prihatin, lantaran informasi mengenai per-capungan di Indonesia amat kurang. “Data tentang pengetahuan capung di negeri ini sangat minim. Saya sulit menemukan bacaan yang berkait dengan capung,” jelas pria berambut gondrong ini.

Namun Sigit pantang mundur. Dari rasa penasaran itu, ia terus menggali pengetahuan tentang capung dari aneka sumber. “Saya mencari-cari referensi dari luar negeri,” cerita pria yang memiliki perawakan tinggi besar ini.

Sigit pun kian gencar berburu capung. Selain berburu dan mencari referensi, ia juga aktif menjalin dialog dengan para akademisi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan Institut Pertanian Bogor. Dari situ, pengetahuan Sigit tentang capung semakin bertambah.

Serangga yang kadang luput dari perhatian ini, menurut Sigit, memiliki peran dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Serangga ini juga memainkan peran dalam dunia pertanian. Capung sering menjadi predator yang efektif untuk mengendalikan serangga berstatus hama, seperti wereng coklat, kutu daun, lalat, nyamuk, dan lain-lain.

Menurut Sigit, capung yang memiliki beragam jenis warna dan ukuran ini juga memberi warna keindahan dalam alam semesta. Sigit mengaku, banyak belajar dari capung. “Saya belajar dari capung yang selalu menebarkan keindahan dan menciptakan kedamaian, walaupun berasal dari latar belakang yang berbeda-beda,” kata alumnus Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini.

Selain itu, papar Sigit, bentuk capung yang indah juga bisa menginsiprasi dunia seni kreatifitas dan industri untuk membuat motif batik, interior rumah, wallpaper, sulam, serta kerajinan tangan yang lain. “Kemampuan terbang capung yang gesit dan lincah juga mengajarkan saya, agar selalu semangat dalam setiap menjalani kegiatan,” imbuhnya.

Presiden capung
Sejak empat tahun silam, Sigit memutuskan berhenti mengajar. Ia meninggalkan profesi guru dan bergelut dalam dunia capung. Ia mendedikasikan hidup untuk mencintai dan meneliti capung. Pada 15 September 2010, ia mendirikan Indonesia Dragonfly Society (IDS), sebuah komunitas pecinta capung Indonesia. Kegiatan komunitas ini diwadahi di sebuah lahan kosong milik Ordo Karmelit yang terletak di Jalan Gresik No.14 Malang, Jawa Timur.

Melalui komunitas ini, Sigit menularkan pengetahuan tentang capung kepada masyarakat. Ia juga mengajak rekan-rekannya, para pencinta capung, untuk melakukan penelitian tentang capung. Komunitas yang telah memiliki enam pengurus harian ini juga menjalankan program pendidikan lingkungan berbasis capung kepada masyarakat, sekolah, dan komunitas anak. “Pada Mei 2014 ini, kami akan menyelenggarakan Jambore Capung Nasional yang pertama,” urai Sigit.

Agenda utama komunitas IDS, ujar Sigit, adalah melakukan pendataan, penelitian, edukasi, dan kampanye mengenai capung. Hasil penelitian komunitas ini telah diterbitkan dalam dua buah buku: Capung Teman Kita (2011) dan Naga Terbang Wendit (2013). Selain itu komunitas pencinta capung ini juga turut membidani komunitas pecinta capung di Banyuwangi, Yogyakarta, Semarang, Malang, Jakarta, serta di beberapa perguruan tinggi.

Umat Paroki St Petrus Paulus Temanggung ini berharap, melalui komunitas yang ia dirikan ini, semakin banyak orang mencintai dan mengenali kekayaan serta keanekaragaman capung di Indonesia. Ia juga melayangkan asa agar masyarakat mau berupaya menjaga lingkungan. “Jagalah perairan agar selalu bersih, karena di situlah rumah bagi perkembang-biakan capung. Selain itu, jangan tebangi hutan atau tanaman di sekitar perairan, karena akan menghilangkan sumber air sebagai habitat capung,” tegas pria yang dijuluki “Presiden Capung Indonesia” ini.

Stefanus Wahyu Sigit Rahadi Aditya Wijaya

TTL : Temanggung, Jawa Tengah, 3 Agustus 1969

Pendidikan:
• Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universtas Sanata Dharma Yogyakarta

Pekerjaan:
• Guru Sosiologi SMAK St Albertus Malang (2004-2010)
• Ketua Indonesia Dragonfl y Society (2010-sekarang)

Penghargaan:
• Juara pertama Photo Competition pada International Congress of Odonatology di Odawara, Jepang (2012)

Aprianita Ganadi

HIDUP NO.09 2014, 2 Maret 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here