Vivian Tjung, Duta Budaya Nasional NTT : Tak Sekadar Cinta Sasando

554
Vivian Tjung, Duta Budaya Nasional NTT.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Generasi muda tidak boleh melupakan akar budayanya.

Petikan Dawai Sasando sontak menghinoptis umat Paroki St Fransiskus Asisi, Kupang kala seorang gadis keturunan Tionghoa memainkan alat musik khas Rote Ndao. Keuletan memainkan petikan senar sasando yang khas itu telah mengantarkan kelahiran 3 Februari 1998 yang kerap disapa Vivi ini menjadi Duta Wisata NTT dan Duta Wisata Indonesia 2016.

Kecintaannya pada Sasando bermula dari dorongan sang ibu untuk menggali talenta bermusiknya. Saat itu, sang ibu mendengar seseorang memainkan Sasando yang membawa kesejukan dalam batinnya. Sejak saat itu sang ibu terus mendorong Vivi yang telah aktif melayani di Gereja semenjak usia 11 tahun untuk belajar memainkan Sasando. “Kita harus melestarikan budaya NTT,” ujar sang ibu lembut.

Bagi Vivi Sasando merupakan alat musik tradisional rasa internasional. Alat musik dawai ini dimainkan dengan cara dipetik. Instrumen khas Pulau Rote, NTT ini biasanya dimainkan pada saat upacara adat. Sasando sendiri disebut sebagai sasandu (Rote, artinya bergetar atau berbunyi). Namun akibat pengaruh dialek orang Kupang pengucapannya menjadi sasando. Jika dicermati, alat musik ini mirip dengan kecapi, harpa, atau gitar. Bentuknya terdiri dari tabung panjang bambu dengan ganjalan bernama senda, di atasnya terdapat dawai. Inilah yang membentuk nada-nada dari sasando.

Pada praktis budayanya, sasando tidak dimainkan di sembarang tempat. Sasando biasanya dimainkan untuk pemujaan dalam upacara adat yang sakral. Fungsi kesakralan itu pun ingin di bawa Vivi dalam upacara gerejawi. “Vivi ingin membangkitkan lagi sasando sebagai alat musik gerejawi yang sakral dan dapat dimainkan di gereja saat misa,” ungkapnya.

Sebagai Duta Budaya NTT, Vivi juga ingin mempopulerkan kekhasan Rote agar terus dilestraikan oleh generasi muda. Keindahan alam pulau Rote telah menjadi buah bibir di banyak kalangan masyarakat internasional. Tak dapat dipungkiri, kejernihan lautannya telah memukau siapa saja yang datang melihat meskipun ketiadaan akses dan amenitas kurang di Kabupaten Rote.

Salah satu kebanggaan alam tercermin pada Pantai Nembrala yang pernah menjuarai ajang Anugerah Pesona Indonesia (API) 2016 dengan kategori tempat berselancar terpopuler. Pantai ini disukai para peselancar karena memiliki sembilan gulungan ombak. Selain itu, kuliner lokal sepertu gula lempeng dapat dijadikan ikon kuliner lokal maupun internasional.

Tidak ketinggalan, kain tenun rote yang dewasa ini menjadi tren fashion anak muda juga patut diancungi jempol oleh karena motif khas kesukuaanya. Motif tenun ikat di Rote terbagi menjadi dua aliran utama, Rote Bagian Barat (Henak Anan atau Anak Pandan), sementara Rote Bagian Timur ada Lamaknen atau anak belalang. Terinspirasi dari makanan belalang berupa daun-daun halus.

Kain tenun tidak akan lengkap tanpa Tilangga, topi khas orang Rote. Ciri khas topi ini menyerupai cula atau jambul setinggi 40-60 cm dengan sembilan tingkat. Bagian yang meruncing pada topi tersebut, makin lama tidak akan tegak dan cenderung miring. Konon hal ini mencerminkan sifat asli dari masyarakat Rote yang cenderung keras.

Untuk Vivi, kesemua elemen budaya Rote telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam dirinya. Melalui budaya ini, ia mampu melihat karya Tuhan yang agung. Untuk itu, sebagai anak muda Katolik, menjaga spiritualitas merupakan hal yang terpenting. “Menjadi duta adalah tugas perutusan bagi Gereja dan Negara. Semuanya Vivi lakukan untuk Tuhan,” tandasnya mantap.

Antonius Bilandoro/ Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.02 2019, 13 Januari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here