Beata Guadalupe Ortiz de Landazuri (1916 – 1975) : Peneliti, Pekerja, Pendoa

251
Beata Guadalupe Ortiz de Landazuri.
[Dok. Opus Dei]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Ia menjalani pekerjaan dengan tulus, penuh kegembiraan, dengan bertitian doa. Ia menggapai kekudusan dengan cara-cara yang biasa, namun berbuah luar biasa.

Barcelona, Spanyol, musim panas 2002. Antonio Jesús Sedano mengalami luka di sudut mata kanannya. Luka itu bak jerawat, yang kadang membuat ayah tiga anak itu meradang. Sakit itu tak kunjung pergi selama beberapa minggu. Tapi, duda berusia 76 tahun itu belum mau berobat ke dokter.

Lambat laun, luka itu membuat penglihatan Antonio terganggu. Ia berkonsultasi di klinik di Barcelona. Ia diduga menderita katarak. Antonio juga berkonsultasi dengan seorang dokter mata. Melihat luka itu, sang dokter langsung merujuk ke rumah sakit. Ia curiga, luka itu tumor.

Kecurigaan sang dokter terjawab. Setelah melalui aneka pemeriksaan, Antonio divonis mengidap tumor kulit ganas pada 30 Oktober 2002. Ia mesti segera menjalani operasi pengangkatan tumor. Sembari menanti jadwal operasi, Antonio mengisi hari-harinya dengan berdoa. Suatu hari, ketika hendak mengikuti Misa, tanpa disengaja, ia menemukan kartu doa dengan perantaraan Hamba Tuhan Guadalupe Ortiz de Landazuri. Selain berisi doa, kartu mungil itu memuat keutamaan hidup Guadalupe.

Entah mengapa, Antonio merasakan kelekatan yang erat dengan pribadi dan spiritualitas yang dihidupi sang Hamba Tuhan itu. Ia pun mulai berdoa melalui perantaraan Guadalupe. Ia memohon agar disembuhkan dari serangan tumor ganas yang bercokol di raganya.

Hari operasi kian mendekat. Antonio bagai dijerat takut yang akut. Suatu malam, ia merasa amat gugup. Tangannya memegang erat kartu doa Guadalupe. Tiba- tiba, ia berkata, “Buatlah agar aku tidak perlu dioperasi!” Setelah itu, ia terlelap dengan tenang.

Keesokan pagi, ia mendapati luka di dekat mata kanannya telah hilang. Ia tak percaya. Ia pun pergi ke dokter untuk memastikan lukanya benar-benar sembuh. “Di mana kamu operasi?” tanya sang dokter. Antonio mengisahkan perihal doanya melalui perantaraan Guadalupe Ortiz de Landazuri. Ia dinyatakan sembuh total. Sejak itu, tumor kulitnya hilang dan tak pernah kambuh lagi. Antonio meninggal dunia 12 tahun kemudian, pada 2014, karena serangan jantung.

Kabar “mukjizat” yang dialami Antonio cepat menyebar dan terus menjadi buah bibir umat di Keuskupan Agung Barcelona. Maka, pada 18 Mei 2007, Keuskupan Agung Barcelona membuka proses kanonik mukjizat yang dialami Antonio. Hasil penyelidikan ini diserahkan kepada Kongregasi Penggelaran Kudus di Vatikan. Alhasil, penyelidikan menyatakan kesembuhan Antonio tak bisa dijelaskan secara ilmiah.

Setelah satu dasawarsa lebih, pada 8 Juni tahun lalu, Bapa Suci Fransiskus, melalui Kongregasi Penggelaran Kudus menyatakan, ada bukti mukjizat yang dilakukan Allah melalui doa dari Hamba Tuhan Guadalupe Ortiz de Landazuri. Guadalupe pun akan segera masuk dalam jajaran para beata. Upacara beatifikasi akan digelar pada Sabtu, 18 Mei tahun ini.

Mahasiswi Kimia
Guadalupe lahir di Madrid, Spanyol, 12 Desember 1916, tepat pada pesta Penampakan Maria di Guadalupe. Ia anak keempat buah cinta pasangan Manuel Ortiz de Landázuri dan Eulogia Fernández-Heredia. Ia putri satu-satunya.

Keluarganya mesti hijrah ke Tetouan, Afrika Utara, lantaran sang ayah yang seorang militer dipindahtugaskan ke sana. Kala itu, Guadalupe baru berusia sepuluh tahun. Pada 1932, keluarganya baru pulang kampung ke Madrid.

Setelah lulus dari Instituto Miguel de Cervantes, Guadalupe mendaftar sebagai mahasiswi kimia di Universidad Central. Dari 70 mahasiswa kimia, hanya ada lima perempuan, termasuk Guadalupe. Meski demikian, Guadalupe termasuk dalam jajaran mahasiswi pandai. Ia pun meniti studi hingga meraih gelar doktor. Rekan-rekannya mengingat Guadalupe sebagai pribadi yang serius namun ramah dan memiliki jiwa petualang.

Pada 1936, Spanyol dikoyak perang saudara. Ayahnya dipenjara dan ditembak mati. Guadalupe dengan tulus memaafkan mereka yang telah merenggut paksa nyawa sang ayah. Ia pun tinggal bersama ibunda serta saudara lelakinya, Eduardo dan Manolo di Valladolid sampai akhir perang pada 1939. Mereka pun kembali ke Madrid. Guadalupe mulai mengajar di sebuah sekolah.

Menemukan Panggilan
Minggu, medio Januari 1944. Selepas mengikuti Misa, Guadalupe merasa “tersentuh” oleh rahmat Allah. Ia pun menceritakan pengalaman rohani itu kepada seorang rekannya dan menyatakan ingin sekali bertemu dengan seorang imam. Teman itu membantu Guadalupe dengan memberikan nomor telepon seorang imam bernama Pastor Josemaría Escriva.

Pada 25 Januari 1944, Guadalupe bersua Pastor Escriva di sebuah pusat kegiatan perempuan Opus Dei di Jorge Manrique Street. Pastor Escriva adalah pendiri komunitas Opus Dei.

Pertemuan dengan Pastor Escriva amat berarti bagi Guadalupe. Ia berkata, “Pertemuan itu merupakan penemuan akan panggilan Yesus agar saya mencintai segala melalui pekerjaan dan kehidupan biasa.”

Setelah pertemuan itu, Guadalupe kian rajin berdoa dan menghabiskan beberapa hari untuk retret rohani. Pada 19 Maret 1944, ia memutuskan untuk menjawab “ya” kepada Tuhan dengan masuk sebagai anggota Opus Dei. Semenjak itu, ia kian tekun berdoa. Ia menggenapi tugas-tugas hariannya dengan penuh kasih, serta berusaha menghabiskan waktu berlama-lama di hadapan Sakramen Maha Kudus.

Pada tahun-tahun awal di Opus Dei, Guadalupe membantu mengurus asrama siswa yang sedang didirikan di Madrid dan Bilbao. Ia mendedikasikan diri untuk pekerjaan ini selama beberapa tahun. Medio 1947-1948, ia juga mengurus asrama mahasiswa Universitas Zurbarán. Ia melakukan aneka pekerjaan dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Ia juga tak segan membantu kehidupan akademik dan pribadi para mahasiswa.

Lantaran dedikasinya yang tulus, Pastor Escriva, sang pendiri Opus Dei, mengutus Guadalupe ke Meksiko pada 5 Maret 1950. Ia menerima tugas itu penuh sukacita. Guadalupe senantiasa mengerjakan tugas-tugasnya dengan bersenandung, meskipun suaranya tak terlalu bagus.

Di Meksiko, Guadalupe mendampingi mahasiswa. Ia selalu berpesan, agar para mahasiswa fokus belajar. Ia juga mengajak para mahasiswa agar rela membantu masyarakat di sekitarnya, terutama mereka yang miskin dan tersingkir.

Bersama seorang rekan dokter, Guadalupe membuat klinik kesehatan keliling bagi warga miskin. Ia juga mendampingi para petani di daerah pegunungan dan terpencil. Pendidikan tak luput dari perhatian Guadalupe, dengan mendirikan Montefalco School dan perguruan tinggi pedesaan di El Peñón.

Cinta dan Sukacita
Setelah enam tahun berkarya di Meksiko, Guadalupe dipanggil ke Roma, Italia. Ia diberi tugas mendampingi Pastor Escriva mengurus Opus Dei. Tapi itu hanya berlangsung dua tahun, lantaran kondisi jantungnya tak sehat. Ia pun kembali ke Madrid.

Meskipun kondisi jantungnya terus memburuk, Guadalupe tetap berkarya. Ia menyelesaikan disertasi doktoral di bidang kimia, dan menjadi pelopor Centro de Estudios e Investigación de Ciencias Domésticas (CEICID), sebuah pusat studi dan penelitian ilmu pengetahuan. Ia juga masih berkarya di Opus Dei.

Sebagai seorang peneliti, Guadalupe terus berupaya mengembang ilmu pengetahuan, terutama kimia. Ia bahkan memenangkan hadiah Juan de la Cierva untuk sebuah penelitiannya. Di sela tugasnya yang menumpuk, ia masih bertekun dalam hidup doa.

Pada 1975, kondisi jantungnya kian terpuruk. Ia mesti menjalani operasi di Clínica Universidad de Navarra pada 1 Juli 1975. Lepas operasi, kondisinya membaik. Namun Tuhan punya rencana lain. Tepat pada Pesta Maria dari Gunung Karmel, 16 Juli 1975, Guadalupe menghembuskan napas yang terakhir pada usia 59 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pamplona, Spanyol.

“Dia perempuan yang jatuh cinta dengan Tuhan, penuh iman dan harapan. Keceriaan menjadi cirinya, bahkan dalam situasi yang sulit. Dari Guadalupe, kita belajar untuk menghadapi aneka hal dengan penuh antusias, cinta, dan sukacita,” ujar Prelat Opus Dei, Mgr Fernando Ocáriz.

Y. Prayogo

HIDUP NO.14 2019, 7 April 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here