Beata Sibyllina Biscossi dari Pavia (1287-1367) : Litani Duka Penjaga Betlehem

418
Salah satu lukisan wajah Beata Sibyllina Biscossi dari Pavia di Kapel Induk Biara Dominikan Pavia, Italia.
[vidassantas.com]
4/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Ia hidup dengan sejuta duka. Lewat pengalaman-pengalaman mengesankan itu, Tuhan memilihnya sebagai pendoa ulung di “Betlehem”, tempat bertemu dengan Roh Kudus.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sebutan ini pantas disematkan kepada Sibyllina Biscossi. Ia menjadi yatim-piatu sejak kelahirannya. Sang ayah meninggal saat ia masih dalam kandungan, sedangkan sang ibu meninggal beberapa hari setelah melahirkannya. Para tetangga akhirnya mengambil peran orangtua untuk merawatnya. Mereka benar-benar mencintainya bak anak sendiri.

Saat usianya masih 10 tahun, Sibyllina harus membanting tulang mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya. Saat itu, situasi ekonomi tetangganya pas-pasan, hal ini membuatnya tak ingin tergantung kepada mereka. Sedikit demi sedikit, ia mencoba bangkit dan menjadi pribadi yang mandiri. Kedewasaan diri yang matang membuat ia disenangi orang-orang sekitarnya.

Sayang, kegembiraan gadis kecil ini harus terengut dengan sebuah peristiwa yang membuatnya kehilangan dua matanya. Sibyllina didiagnosa menderita penyakit langka, yaitu penyakit yang juga pernah diderita sang ayah. Di usia 12 tahun, gadis malang ini mengalami kebutaan total. Duka ini membuatnya putus asa, seakan masa mudanya telah terenggut.

Anak Punggut
Namun, Sibyllina tetap menjalankan kewajibannya. Ia bekerja dari rumah ke rumah agar bisa bertahan hidup. Pekerjaan apapun digelutinya, asal bisa hidup. Untung para tetangga terus bersimpati kepadanya. Kendati begitu, ia dikenal sebagai seorang yang bertanggungjawab. Ia tak ingin keterbatasan fisik menjadi penghalang dalam berkarya.

Seketika hidup Sibyllina berubah ketika berjumpa dengan beberapa wanita dari Ordo Ketiga Pengkhotbah (Ordo Praedicatorum/OP) atau Ordo Dominikan di Pavia, Italia. Dalam pertemuan itu, para pengikut Santo Dominikus merasa kasihan kepadanya. Tetapi dibalik itu, ada penilaian positif dari mereka terhadap Sibyllina. Meski buta, Sibyllina seorang yang saleh. Ia tidak pernah melepaskan kewajibannya sebagai orang Kristen. Keutamaan hidup ini membuat Sibyllina diadopsi oleh mereka. Ia pun mulai tinggal di biara Dominikan.

Setelah beberapa tahun menerima belas kasih dari para biarawati tersebut, Sibyllina pun terinspirasi menjadi biarawati. Dalam sebuah kapitel, mereka menerimanya. Penerimaan ini pertama-tama berdasarkan belas kasih daripada mengharapkan sesuatu yang lebih khususnya membantu karya pelayanan.

Sejak itu, Sr Sibyllina membayar kepercayaan saudari-saudarinya dengan corak hidup yang tidak biasa. Ia cepat belajar menyesuaikan diri dengan situasi biara. Meski ia sadar, ia tidak memiliki kemampuan dalam pekerjaan fisik. Sebagai gantinya, ia ditugaskan sebagai pendoa bagi karya pelayanan komunitas. Hidupnya hampir dihabiskan dalam ketekunan doa kepada St Dominikus. Corak hidup kontemplatif dengan iman yang terdidik, handal, dan berbobot menjadi kekhasan spiritualitas Dominikan. Pengalaman mistik bertemu Tuhan dalam doa adalah kekuatan doa Sr Sibyllina.

Mukjizat Mata
Sr Sibyllina yakin akan tiba waktunya, semua doanya akan dikabulkan tepat pada pesta St Domikus. Ia merasa, bahwa akan ada mukjizat yang diterimanya di hari istimewa itu. Hingga tiba hari yang ditunggu-tunggu itu, wanita kelahiran Pavia, 1287 ini menjalani rutinitas doa seperti biasanya. Pagi, siang, dan malam, sang pendoa ini terus bergumul dengan pertanyaan kapan mukjizat Tuhan terjadi padanya. Hingga ibadah malam selesai, tak ada tanda-tanda mukjizat. Pengalaman ini membuat Sr Sibyllina amat kecewa.

Patah hati, membawanya menjatuhkan diri di depan patung St Dominikus. Ia mengharap iba dari mistikus sejati itu. Dalam keterbatasan manusiawi dan keputusasaan itu, sebuah penglihatan terjadi padanya. Sekonyong-konyong, St Dominikus mendatanginya, memegang tangannya, dan berkata, “Anakku, mari ikutlah Aku.”

Dalam keremangan kapel biara itu, Sr Sibyllina diajak untuk menyusuri sebuah jalan sempit dan gelap. Ragu-ragu dan bimbang, Sr Sibyllina pun berkata, “Bapak, saya buta dan tidak bisa melihat. Berikanlah seberkas terang untuk menerangi jalan ini.”

Usai permohonan ini, lambat laun jalan gelap yang dilaluinya menjadi terang. Dalam penglihatan itu, ia diantar mencapai sebuah tempat yang terang benderang. Suara itu kembali berkata kepadanya, “Anakku, kamu harus menanggung kegelapan supaya kelak bisa menikmati terang surgawi.”

Usai pengalaman mistik ini, hati Sr Sibyllina menjadi tenang. Ia merasakan kedamaian yang luar biasa. Sampai titik ini, ia memahami, bahwa kebutaan adalah cara Tuhan memakainya, untuk menyapa mereka yang masih hidup dalam kegelapan. Buta, adalah misteri Ilahi dalam diri Sr Sibyllina, untuk terbebas dari dosa duniawi.

Lewat pengalaman ini juga, ia sadar, Tuhan menegurnya untuk tidak mengeluh dalam keterbatasan fisik. Sr Sibyllina lalu merengkuh salib itu dengan mesra dan memohon maaf atas keluh kesahnya. Ia yakin, tugas maha besar menantinya. Di kemudian hari, tugas itu membawanya meninggalkan biara dan hidup sendirian sebagai pertapa.

Betlehem Kecil
Ia menjadi pertapa dalam usia terbilang muda, 15 tahun. Sebuah panggilan hidup yang tidak biasa bagi anggota Dominikan. Ia tercatat sebagai rasul Dominikan yang menjadi pertapa termuda. Ia membangun rumah mungil di dekat sebuah Gereja Dominikan di Pavia. Di situ, hampir 65 tahun, Sr Sibyllina menghabiskan hidupnya dalam doa dan kontemplasi. Dalam sebuah catatan yang dibuat Ordo Dominikan, dikatakan bahwa Sr Sibyllina hanya dua kali meninggalkan biara mungil itu. Itu pun atas dasar ketaatan kepada perintah.

Sebuah catatan lain menyebutkan, bahwa selama tujuh tahun pertama, Sr Sibyllina mengalami ragam kesulitan. Musim dingin yang berat membuat ia bertahan hidup tanpa api sebagai penghangat. Pakaiannya selalu sama baik musim panas maupun musim dingin. Hanya satu cara agar bisa terus hidup yaitu banyak bergerak. Tak heran, ia mempraktikkan doa dengan gerakan tubuh seperti berlutut, berdiri, tiarap, dan latihan mati raga lainnya.

Di “Betlehem” mungil itu, hanya ada satu jendela yang membuatnya bisa “memandang” dunia luar. Lewat jendela itu juga, ia bisa mendengarkan pinta orang-orang yang mengharapkan doa darinya. Ia dengan sabar dan suka cita memberi nasihat kepada mereka. Ia tidak mengenyam pendidikan formal, tetapi ia dikaruniai kemampuan berbicara. Ia seorang yang bijaksana dan memiliki kejernihan teologis yang mencengangkan. Banyak orang bertobat lewat nasihat-nasihat rohaninya.

Selama itu pula, Sr Sr Sibyllina mendapat wahyu Allah untuk terus mendoakan karya Dominikan. Roh Kudus aktif berkarya dalam dirinya untuk persatuan seluruh umat Kristen. Harihari dijalaninya seakan-akan sedang mengulang peristiwa Pentakosta.

Suster saleh, penuh hikmat ini menjalani hidup dengan tidak biasa. “Mata rohani” Sr Sr Sibyllina mampu menghadirkan terang bagi setiap orang yang memohon pertolongannya. Ia terus berdoa dalam terang Roh Kudus hingga dipanggil menghadap sang “majikan” sejati, Tuhan, pada 19 Maret 1367. Dalam usia 80 tahun, ia menjadi pendoa bersama balai surgawi di Betlehem surgawi.

Sr Sibyllina dibeatifikasi pada 17 Agustus 1854 oleh Paus Pius IX. Beatifikasi ini berdasarkan ragam mukjizat yang dialami para peziarah yang datang berdoa di makamnya. Tubuhnya ditemukan tak membusuk ketika jazadnya digali tahun 1853. Beata Sr Sibyllina dihormati sebagai pelindung para pelayan dan pembantu rumah tangga.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.31 2019, 4 Agustus 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here