Romo Antonius Gregorius Angelo Lalu, Sekretaris Eksekutif Komisi Komunikasi Sosial KWI: HIDUP MENJADI CERITA

201
Romo Antonius Gregorius Angelo Lalu (Dok. Pribadi)
Rate this post

HIDUPKATOLIK.COM Bercerita itu sungguh “kita”: bagian dari kekayaan kita, bagian dari bentukan kita, dan bagian dari keberadaan kita sebagai manusia.

HARI Komunikasi Sosial (Komsos) Sedunia ke-54 dirayakan pada ma-sa pandemi Covid-19. Tatkala para pegiat Komsos yang berjibaku me-mastikan pewartaan Kabar Sukaci-ta– tetap berjalan di setiap level Gereja, Paus Fransiskus menyoroti ‘cerita’ da-lam hidup- manusia. Apa sebenarnya yang ingin Bapa Suci sampaikan? Berikut nukilan wawancara HIDUP dengan Sekretaris Eksekutif Komisi Komsos Kon–ferensi Wa-ligereja Indonesia, Pastor Antonius Gre-gorius Angelo Lalu, via WhatsApp, Jum-at, 29/5/2020.

Bagaimana Romo melihat upaya para pegiat komsos yang tetap berjuang dalam pewartaan justru ketika semua orang harus mengurung diri agar se­lamat di tengah pandemi Covid-19?

Pegiat komsos: berkorban demi pela-yanan. Memutus rantai penyebaran Co-vid-19 dengan pembatasan sosial me-nyebabkan umat beriman “menunda” waktu bersekutu dalam Ekaristi dan iba-dah lainnya. Inilah situasi darurat, yang memaksa umat harus mengikuti Mi–sa secara daring. Para pegiat kom-sos ber-tugas melayani dengan meman-faat-kan media komunikasi sosial mo-dern. Kom-sos–Komsos Keuskupan bahkan pa—–ro–ki, harus menayangkan siaran lang-sung pe-rayaan Ekaristi tanpa umat.

Ada komsos yang sangat siap, lengkap de-ngan peralatan canggih, personel kom–plit, manajemen efektif dan men-da-pat dukungan finansial. Namun, ada juga komsos yang masih harus berjuang, peralatan seadanya, bahkan ada yang meminjam, personel sukarela, kebetulan hobi dan tentu berjuang untuk menjadi profesional. Syukur dimaafkan umat ka-lau tiba-tiba putus, sambung lagi, sua-ra putus-putus, terlalu bergema, gam-bar bergerak-gerak, kabur, salah teks dan lain-lain. Tetapi itulah realitas yang ha-rus dihadapi. Para pegiat komsos, de-ngan segala tekad, nekad, niat, dan iman te-rus berusaha memberikan yang ter-baik, sambil memperhatikan protokol yang ditetapkan pemerintah.

Paus Fransiskus mengkhususkan pe­san Hari Komsos tahun ini pada te­ma cerita. Menurut Romo, apakah Komsos di keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki sampai saat ini sudah cukup menenun cerita sesuai harapan Gereja?

Komsos-komsos keuskupan dan paro-ki tentu tidak bisa disamaratakan, tiap-tiap keuskupan berada dalam situasi dan kon-disi masing-masing. Komsos KWI yang ditugaskan mengoordinasi, meng-ani—–masi, dan memfasilitasi Komsos–Kom——sos Keuskupan terus berusaha mem——beri jembatan dan ruang kerja sama an-tar—-Komsos Keuskupan, agar saling ber—-bagi, saling mendukung, dan saling be—la-jar. Dengan demikian, Komsos-Kom—sos di Indonesia boleh membangun se—buah jejaring yang menceritakan ten-tang kebaikan Tuhan secara bertang-gung—jawab dan profesional.

Dalam pesan yang sama, Paus Fran­sis­­kus juga menyebutkan banyak ce­rita kepahlawanan yang diabaikan da­­lam kehidupan sehari-hari. Da­lam ko­munitas Gereja kita cerita ke­pah­la­wanan mana saja yang Romo per­ha­tikan sering terabaikan?

Paus menyebut cerita-cerita heroik yang diceritakan di setiap zaman untuk me-nunjukkan betapa banyak cerita indah dari figur-figur inspiratif yang mem-pengaruhi banyak orang. Dalam hi-dup menggereja, ada banyak cerita ke-pah-lawanan yang harus diceritakan. Ba-nyak kisah orang sederhana yang bernilai dan berharga, karena berkorban demi cinta kasih bagi keluarganya.

Banyak kisah kepahlawanan dalam ke-luarga-keluarga yang setia dalam hi-dup berkeluarga sampai pesta emas. Keluarga-keluarga ini sugguh pahlawan yang memberi kesaksian tentang hidup berkeluarga yang harus diperjuangkan. Tentu ada banyak pahlawan-pahlawan lain dalam Gereja yang harus diangkat dan diceritakan.

Dengan menyoroti cerita pada Hari Kom­sos yang berlangsung di tengah pan­demi ini, apa yang sebetulnya hen­dak Bapa Suci sampaikan?

Setiap tahun Paus menuliskan pesan pada Hari Minggu Komunikasi Sedunia yang sudah diterbitkan setiap 24 Januari pada Pesta St. Fransiskus de Sales. Be-berapa tahun terakhir, Paus banyak me-nyo-roti media sosial: kegunaan, efek, ba-haya, dan tugas orang beriman di media sosial.

Tahun ini, Paus sungguh menyorot satu tema yang sangat aktual dan sung-guh tepat direfleksikan di tengah ben-cana pandemi Covid-19, “Hidup Men-jadi Cerita, Supaya Kamu Dapat Men-ceritakan kepada Anak Cucumu”. Paus menggarisbawahi, manusia itu pencerita, punya cerita, suka cerita, dan dibentuk oleh cerita. Ia menenun hidupnya lewat cerita demi cerita kehidupan. Tuhan pun diceritakan dalam Kitab Suci sebagai Sang Narator utama. Kitab Suci menjadi cerita dari segala cerita, yang terutama menceritakan tentang kehadiran dan ke-pedulian Allah kepada manusia. Allah masuk dalam sejarah manusia lewat kehadiran Yesus Sang Putra.

Yesus pun hadir sebagai cerita Allah dan menceritakan tentang Sang Bapa, le-wat pengalaman-pengalaman hidup sehari–hari. Yesus tidak mengajar lewat khot-bah-khotbah atau pidato-pidato abstrak. Ia menceritakan cerita-cerita hi–dup sehari-hari lewat perumpamaan-pe-rumpamaa-Nya yang terkenal. Dengan de-mikian sungguh hidup menjadi cerita yang harus diceritakan turun-temurun.

Di antara berbagai hal yang Bapa Suci sam­paikan dalam Hidup Menjadi Ce­rita, apa satu pernyataan yang sa­ngat penting untuk kita hayati?

Setiap Cerita Bernilai: Berceritalah. Pesan Paus sarat makna. Salah satu yang bagi saya sangat penting adalah per-nyataan bahwa setiap cerita itu ber-nilai, tidak ada cerita yang tidak ber-harga. Menjadi sangat penting karena di bagian awal Paus sudah mengingatkan betapa tidak semua cerita itu baik, tetapi kemudian mengatakan semua cerita ber-nilai?

Bagi Paus, setiap cerita sungguh ber-nilai apabila di dalamnya ditempatkan kasih. Sehingga cerita buruk sekalipun akan menjadi bernilai jika diceritakan atau didengarkan dengan penuh kasih. Apalagi dalam iman, kita yakin cerita pe-ne-busan Yesus telah mengubah cerita manusia. Ia menenun kembali cerita–ce-rita manusia sehingga diangkat men-ja-di cerita Ilahi yang berharga dan ber–nilai. Pernyataan Paus ini sungguh men—jadi ajakan kepada setiap orang apa—lagi orang beriman untuk bercerita. Ber–ceritalah, ceritakanlah cerita kehi-dupan-mu, karena hidupmu adalah cerita yang harus diceritakan.

Dalam pengalaman kadang kita mene-mu-kan satu lembaga Gereja yang sangat susah untuk dimintai keterangan untuk ditulis di media, atau pemimpin Gereja yang terus menolak untuk bercerita. Padahal ada banyak kegiatan, usaha-usa-ha yang baik di lembaga atau paroki itu. Entah mengapa seperti tidak mau ber-ce-rita. Ceritakanlah cerita-cerita ba-ik kita su-paya dunia makin dipenuhi ceri-ta–cerita positif, sebab bila kebaikan kurang diceritakan maka “kosa kata cerita” du-nia akan dikuasai oleh cerita-cerita palsu yang memecah-belah dan cerita-cerita hoax yang menyesatkan.

Lalu kepada siapa dan melalui media apakah hendaknya kita bercerita?

Berceritalah pada Tuhan, jahit kembali yang putus dan terbelah. Bapa Suci me-narik perhatian kita pada aktivitas ber-cerita tetapi bukan hanya bercerita ke-pada sesama atau lewat media so-sial, tetapi bercerita kepada Tuhan; mem-buka diri untuk masuk dalam tatapan belas kasih Ilahi. Setiap manusia diminta untuk bercerita kepada Tuhan dan ber-sa-ma-Nya menjahit kembali yang pu-tus dan terbelah dalam kehidupan. De-ngan demikian persaudaraan dan ke-se-jahteraan umat manusia sungguh ter-cipta.

Dewasa ini banyak cerita tidak baik yang berseliweran. Bagaimana kita se­ha­rusnya melihat cerita buruk itu dan memberikannya makna baru kem­­bali?

Bagi orang Kristiani, setiap cerita ha-rus kita pandang dari kaca mata kasih. Cerita buruk yang dilihat dengan kasih memberi ruang bagi penebusan dan pe-rubahan. Karena bagi saya, ada dua hal penting yang harus kita pertimbangkan di hadapan sebuah cerita buruk: motivasi dan perspektif.

Setiap pencerita yang bermotivasi egois–me akan menggiring setiap pers-pek-tif cerita pada segala sisi, yang menguntungkan dirinya meski harus membangun frame yang tidak sesuai dengan fakta. Sebaliknya, setiap pen-ce-rita yang dimotivasi oleh kasih dan demi kepentingan banyak orang, akan terus menerus menempatkan perspek-tif kebaikan di hadapan sebuah kisah “buruk” atau “bencana”. Mereka yang memanfaatkan cerita-cerita buruk se-ba-gai lahan untuk mendapatkan keuntung-an pribadi tentu tidak bertanggungjawab atas akibat buruk yang ditimbulkan oleh pelbagai “bombardir” isu-isu yang men-cemaskan, menakutkan, bahkan me-ma-tikan.

Baiklah setiap orang Kristiani men-ceritakan hal-hal positif, yang mem-bangun, tidak memecah belah dan mem-bangun persatuan sebagai sebuah habi-tus atau kebiasaan dalam hidupnya.

Hermina Wulohering

HIDUP NO.23, 7 Juni 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here