Fransisco Budi Hardiman : Ajakan Mewaspadai Teknologi Digital

554
Fransisco Budi Hardiman bersama istri dan tiga anaknya/Dok. Pribadi
4.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.COM – Aku fisik bukan aku digital” dikemukakannya sebagai sebuah cara untuk memahami keberadaan manusia sebagai makhluk yang bijaksana menghadapi teknologi.

SEJAK SMA, Fransisco Budi Hardiman sudah berminat pada pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang kosmos, kesadaran, dan Tuhan. Ia menemukan keasyikan ketika bergulat dengan persoalan dimaksud. Kebetulan minat ini mendapat tempat dalam proses pendidikan calon imam yang dia tinggalkan tahun 1991. Kini ia dikenal sebagai penulis buku-buku filsafat, pengajar, dan pembicara publik.

Fransisco Budi Hardiman/Dok. Pribadi

Buku terbarunya, Aku Klik maka Aku Ada. Manusia dalam Revolusi Digital (2021), merupakan buku filsafatnya yang ke-15, selain beberapa buku yang dia editori. Buku ini bukan penolakan terhadap teknologi digital, tetapi ajakan mewaspadai efek pemakaian teknologi digital terhadap  perilaku manusia. Dari 15 buku yang ditulisnya sejak lulus STF Driyarkara 1988 sampai pengukuhan guru besar filsafat di Universitas Pelita Harapan tanggal 8 Desember yang lalu, buku Aku Klik maka Aku Ada adalah pasangan main buku Memahami Negativitas (2005) yang menggunakan metode fenomenologi lunak, yang tidak hanya deskriptif seperti Edmund Husserl tapi juga sedikit memberi penilaian normatif.

Selain tentang era digital, Frangki, demikian panggilan sehari-hari, dalam sebuah wawancara akhir tahun 2021, juga menyampaikan pandangan yang reflektif tentang pandemi Covid-19. Lulusan S2 tahun 1997 dan S3 tahun 2001 dari Hockschule fur Philosophie Munchen, Jerman.

“Manusia Jari”

Suami Imelda Seloadji kelahiran Semarang 31 Juli 1962 ini menjelaskan, dengan Aku Klik maka Aku Ada, dirinya ingin mengingatkan potensi kritis refleksi Descartes yang membedakan antara fiksi dan realitas, meskipun dirinya tidak setuju dengan esensialisme dan substansialisme Descartes. “Buku saya bukan penolakan teknologi digital. Lewat buku itu saya mengajak mewaspadai efek-efek pemakaian teknologi digital pada perilaku yang tidak kita inginkan. Orang menjadi fanatik, membenci kelompok lain, kehilangan rasa malu, menyebar fitnah, melakukan kerusuhan bukan karena intensinya sendiri, melainkan karena dikendalikan buzzers dan bots,” ujarnya.

Di era digital, sebutnya lagi, ketika makin banyak orang menjalankan komunikasi digital, pikiran mulai diisi oleh pesan-pesan dalam telepon cerdas. Luapan informasi dapat menyulitkan kita untuk mengolahnya secara kritis, sehingga pikiran pun menyerah pada dikte pesan-pesan itu yang tidak jarang membengkokkan isi kenyataan.

Ditukarnya “berpikir” dengan “klik” menjelaskan bagaimana kita berubah dari subyek komunikasi menjadi media komunikasi. Dalam arus informasi yang makin menjadi anonim kita tidak lebih daripada penerus pesan. “Dengan buku itu saya ingin mengajak berpikir kembali untuk mengatasi relativisme moral dan rasio kebenaran dengan sikap kritis.”

Homodigitalis (bhs. Latin digital=jari) bukan lagi Ithink, tetapi Ibrowse. Kita berpikir lewat internet. Aku identik dengan aku-online, sementara aku-offline makin surut ke belakang. Diktum aku berpikir diganti dengan aku klik. Pikiran mengerucut di jari. Sarkastis memang, bisa berarti “manusia jari” bukan manusia bijak atau sapiens.

Aku Fisik Bukan Aku Digital

Frangki setuju bahwa saat ini eksistensi “aku” tidak lagi korporeal. Aku fisik berbeda dengan aku digital. Manusia menjadi reflektif tidak lagi introspektif. Inilah kekhawatiran di awal kehadiran digital yang membuat kehidupan manusia mendangkal.

Fransisco Budi Hardiman bersama mahasiswanya/Dok. pribadi

Maka ia menyebutkan hukum kelangkaan juga berlaku dalam komunikasi digital. Sebaliknya, kelimpahan membuatnya kehilangan harga. Itulah yang terjadi jika luapan informasi menumpulkan kejelian untuk memilih mana yang penting dan yang tidak penting. Karya serius tentu bisa dihasilkan, tetapi karena segera diganti karya serius lain, ia cepat dilupakan. Perhatian adalah persoalan kelangkaan dalam komunikasi digital. Harus ada “manajemen atensi”, artinya memperlakukan sebuah karya secara khusus di media digital, misalnya diberi prosedur untuk mengakses karya itu yang tentu disosialisasikan secara bertahap lebih dahulu.

“Aku yang tidak korporeal” yang dikenal phubbing (sikap seseorang yang lebih asyik bermain gadget dan mengabaikan orang orang), sisi antisosial digital ini terjadi karena banyak faktor. Frangki setuju bahwa kecenderungan antisosial mendapat ruang dalam phubbing. Sebaliknya orang yang awalnya tidak memiliki kecenderungan itu, karena terbiasa phubbing, mulai memiliki sikap antisosial. Faktor psikologis ikut bermain. Dibutuhkan latihan pengendalian diri lepas dari perilaku phubbing, tetapi hal itu tidak mudah karena lingkungan kerap mentoleransi perilaku cuek. “Kita berharap agar sekolah, lembaga keagamaan dan keluarga dapat membantu mengurangi perilaku itu dengan jadwal kegiatan dietgawai bersama,” ungkap Frangki.

Frangki juga mengkritisi realitas para pengguna internet di Indonesia yang sebagian besar untuk hiburan. Dengan tegas ia menjelaskan ada kelemahan serius jika teknologi digital dipakai hanya untuk hiburan. Kebenaran bisa menakutkan. Namun pengguna gawai segan melihat kebenaran yang menakutkan, kecuali jika kebenaran itu diubah dahulu dalam format hiburan. Karena itu hiburan di media sosial akan berkata: “Jangan lihat kebenaran karena menakutkan. Lanjutkan menikmati hiburan, juga kalau hal itu tidak benar”.

Hiburan hanya salah satu aspek teknologi digital. Teknologi apa pun, termasuk teknologi digital, diciptakan untuk meningkatkan kapasitas manusia. Lewat teknologi digital kita bisa belajar lebih cepat dan mudah. Multidimensionalitas kapasitas manusia didukung oleh teknologi ini. Jadi, terserah pemakainya mau fokus ke mana.

Bahasa Kepedulian

Ditanya apa sumbangan filsafat dalam situasi pandemi yang sudah berlangsung dua tahun ini, spontan Franki jawab “filsafat itu bukan ilmu teknis”. Filsafat merefleksikan secara kritis hubungan teknologi dan kondisi kemanusiaan kita. Filsafat merefleksikan kaitan pandemi dan cara-cara berpikir yang menghasilkan krisis ekologis yang disebabkan cara berpikir yang memperlakukan alam sebagai benda untuk dieksploitasi.

Dengan pandemi untuk pertama kalinya bencana dialami dalam skala global, dan berkembangnya bahasa kepedulian. “Filsafat dapat berkontribusi memikirkan etika kesehatan publik, seperti hak-hak dan kewajiban publik untuk menjamin kehidupan bersama yang sehat,” ujarnya.

Frangki menambahkan, pandemi Covid-19 memberi pelajaran penting. Manusia mahluk rentan yang menghadapi ketidakpastian. Pandemi mengajarkan “bahasa kepedulian”. Manusia tidak dapat diam dengan fakta kesenjangan global dan nasional yang telah memperburuk situasi. Pandemi juga melatih manusia untuk sharing economy dan pembukaan akses distribusi langsung ke petani, nelayan, dan pekerja. Serial lockdowns dan dampaknya telah membuka mata dunia. Kapitalisme harus mengkalkulasi faktor kesehatan publik dalam bisnis dan mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomis.

Memang “kekitaan” yang terbangun masih dalam rangka ancaman bersama. Itu baik karena memungkinkan kita menyadari sebagai anggota umat manusia, bukan sekadar anggota jemaat, suku, atau bangsa. Pengalaman organisasi kemanusiaan selama pandemi dapat menjadi titik tolak memperkuat bentuk-bentuk kerjasama lain. Pandemi memungkinkan bangsa-bangsa berbicara dalam bahasa kepedulian.

Frangki membeberkan, saat ini muncul banyak sofis sensasional di media sosial. Agar tidak menjadi game of mind seperti itu, filsafat perlu bekerjasama dengan disiplin ilmu yang lain. Tidak melulu spekulatif seperti di abad-abad lalu, filsafat kontemporer menjalin hubungan dengan ilmu-ilmualam dan ilmu-ilmu sosial, sebagaimana dilakukan oleh fenomenologi dan Teori Kritis.

Di lain sisi, dengan refleksi filosofis ilmu-ilmu empiris dapat terbantu mengkonstruksi model yang lebih holistis bagi temuan mereka. Filsafat dan ilmu pada dasarnya adalah bentuk-bentuk pengetahuan manusia untuk membantu memahami manusia, masyarakat dan dunianya, termasuk memahami kondisi terjangan pandemi. Di Indonesia filsafat masih sebagai ilmu yang relatif muda, tetapi saya lihat minat studi filsafat meningkat seperti Philofest yang diadakan tiap tahun diikuti banyak orang muda selama pandemi. Perlu ada kegelisahan intelektual yang mengantar pada pertanyaan-pertanyaan filosofis.

St. Sularto

<<<Box>>>

Fransisco Budi Hardiman

Ttl        : 31 Juli 1962
Istri      : Imelda Seloadji
Anak   : Aletheia, Virto, Ariela

Pendidikan

  • Magister di Hochschule fur Philosophie di Munich, Jerman (1997)
  • Doktor di Hochschule fur Philosophie di Munich, Jerman (2001)

Pekerjaan

  • Dosen Program Studi Liberal Arts (Sejarah Pemikiran, Etika, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan di Universitas Pelita Harapan

Beberapa Karya

  • Kritik Ideologi dan Menuju Masyarakat Komunikatif
  • Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (2005)
  • Filsafat Fragmentaris (2007)
  • Trilogi Habermas – salah satunya Demokrasi Deliberatif (2009)
  • Humanisme dan Sesudahnya (2012)
  • Alam Moncong Oligarki (2013)
  • Seni Memahami (2015)
  • Filsafat untuk Para Profesional (2016)
  • Aku Klik maka Aku Manusia dalam Revolusi Digital (2021)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here