HIDUPKATOLIK.COM – Di banyak wilayah, terutama di berbagai pelosok di Timor, berkembang suatu pandangan umum yang menyamakan arwah leluhur dengan makhluk jahat atau bahkan setan. Ketika seseorang meninggal, misalnya tokoh yang dihormati seperti Bai, Nenek, Bapak, Mama, Saudara, atau Saudari, atau lainnya, terhadap mereka; berlaku keseringan ditakut-takuti dan bukannya dikenang dengan rasa hormat.
Kematian justru menciptakan kecemasan yang mendalam—ketakutan terhadap arwah si mati, seolah-olah mereka berubah wujud menjadi roh jahat yang mengganggu dan menakutkan. Paradigma ini berkembang luas dan diwariskan secara turun-temurun tanpa ditinjau secara kritis dari aspek kemanusiaan maupun teologis.
Kecemasan Irasional
Paranoia arwah pada hakikatnya merupakan bentuk kecemasan irasional—ketakutan tanpa dasar logis. Ketakutan ini tidak berdiri atas bukti empiris ataupun pengetahuan yang valid, melainkan atas sugesti kolektif yang dibangun oleh narasi lokal dan ketidaktahuan.
Ketika seseorang merasa resah karena “merasakan kehadiran arwah”, sering kali itu bukan karena arwah tersebut hadir dalam wujud jahat, melainkan karena pikiran yang telah terlebih dahulu dibentuk oleh ketakutan semu yang diwariskan secara sosial. Ketakutan ini bukan ketakutan sejati, melainkan ketakutan semu, karena ia mengobjekkan kebaikan sebagai kejahatan, dan di sinilah letak kontradiksinya.
Kritik Humanis
Melihat arwah sebagai sesuatu yang menakutkan justru merupakan bentuk pengingkaran terhadap nilai-nilai humanis. Bagaimana mungkin kita yang semasa hidup sangat mencintai dan menghormati orang tua atau nenek moyang kita, tiba-tiba berubah menjadi takut dan merasa terancam setelah mereka meninggal?
Seorang Bai yang dahulu bijaksana, Mama yang penuh kasih, atau Bapak yang bekerja keras demi masa depan anak-anaknya, tiba-tiba diimajinasikan sebagai makhluk jahat setelah mereka wafat. Sikap ini sungguh tidak manusiawi, karena tidak sejalan dengan penghargaan terhadap kebaikan dan jasa semasa hidup. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap memori kasih yang seharusnya dikenang.
Kritik Teologis
Dari perspektif iman Kristiani, setiap jiwa yang meninggal dalam keadaan rahmat dan kebaikan, pasti mendapat bagian dalam kemuliaan surgawi. Bahkan jika jiwa tersebut masih memerlukan penyucian, api penyucian (purgatorium) menjadi tempat pemurnian, bukan kutukan. Maka paranoia terhadap arwah tidak hanya keliru secara psikologis dan humanis, tetapi juga secara teologis.
Ketika kita menganggap arwah sebagai setan, kita sebenarnya menyangkal iman akan surga dan purgatorium. Kita menutup kemungkinan bahwa mereka telah diselamatkan dan kini bersatu dengan Allah. Sikpa dan praktek seperti ini; sesungguhnya merupakan bentuk ketidakpercayaan terhadap belas kasih Allah dan janji keselamatan kekal.
Pengalaman Kontras
Pengalaman di daerah Maumere, khususnya pada tahun 2022 dalam perjalanan dari Nita ke Nelle, memperlihatkan kontras yang menyejukkan. Di sana, kuburan keluarga dibangun tepat di halaman depan rumah atau di teras, bukan untuk menakuti; bukan untuk ditakuti melainkan sebagai simbol kehadiran dan perlindungan arwah.
Para arwah dipandang sebagai penjaga rumah, sebagai bagian dari komunitas yang tetap hadir secara spiritual. Tradisi ini menunjukkan bahwa memori akan orang yang telah meninggal dapat tetap hidup dalam bentuk relasi yang akrab dan penuh hormat. Tidak ada paranoia, melainkan ketenangan dan penghargaan terhadap kehadiran rohani para leluhur.
Menolak Ketakutan Irasional dan Merangkul Iman yang Dewasa
Paranoia terhadap arwah adalah refleksi dari ketakutan yang dibangun tanpa dasar, dan pada akhirnya, merusak penghormatan terhadap memori dan kebaikan orang yang telah meninggal.
Dalam terang iman dan akal sehat, kita diajak untuk meninggalkan ketakutan semu ini dan membangun relasi baru dengan arwah leluhur dalam bentuk penghormatan, doa, dan kepercayaan akan keselamatan kekal.
Masyarakat perlu disadarkan bahwa rasa takut terhadap arwah bukanlah bagian dari iman, melainkan hasil dari miskonsepsi budaya dan psikologis yang harus dikritisi.
Saatnya menumbuhkan budaya memuliakan arwah, bukan mengutuknya dalam paranoia.
Pastor Yudel Neno, imam Keuskupan Atambua